webnovel

Cinta sama dengan Sekarah

Toro berdecak tipis melihat kawan karibnya yang sekarang murung lagi. Sudah seminggu Neo terlihat seperti itu. Belum lama ini Neo terlihat begitu ceria sampai Toro takut bibir Neo sobek tersenyum terus tiap detiknya.

"Kenapa lagi lo?" tanya Toro dengan cibiran kecil.

Neo menggelengkan kepalanya. "Bukan apa-apa." Neo menunduk. Untungnya laki-laki itu selalu bisa profesional setiap bekerja. Entah gimana perasaan hatinya, dia selalu bisa menyelesaikan projectnya. Tapi wajah murung dan sesekali kedapatan melamun tidak dihindarkan.

"Bella tuh!" ujar Toro lagi sambil memantik rokok miliknya.

"Enggak mempan," jawab Neo tanpa mendongak sedikitpun.

"Bel! Ngapain lo disini, bahaya tahu enggak?" Toro berdecak tipis pada perempuan itu membuat Neo mau tidak mau akhirnya mendongakkan kepalanya.

"Iya, lagi gabut. Nyasar sini."

Neo sempat melihat Bella beberapa saat. Perasaan takut menyakiti Bella lagi membuat Neo diam. Toro menyadiri aura itu. Membuat pria itu perlahan mundur tanpa memilih pamit.

"Masih marah?" tanya Bella menyenggol lengan laki-laki itu.

"Aku harusnya yang nanya gitu? Kamu masih marah?" tanya Neo balik.

Bella menarik nafasnya beberapa saat. "Sorry gue kebaperan waktu itu."

Neo melirik Bella sekilas kemudian tersenyum. "Maaf juga aku terlalu berlebihan. Padahal kita bukan suami isteri lagi."

Bella menatap Neo beberapa saat sebelum perempuan itu tersenyum tipis pada akhirnya. Neo juga ikut tersenyum pria itu lega dengan perasaannya itu. Ia tidak pernah menduga Bella akan secepat ini memaafkannya hari ini. Dia tidak pernah menyangka Bella akan menemuinya lantas mengajaknya berbaikan untuk kali pertamanya.

"Ehm, kamu benar hanya sedang gabut?" tanya Neo.

Bella menganggukkan kepalanya. "Amora sedang sibuk mikirin konsep rancangan dia buat show."

Neo menganggukkan kepalanya mendengar perkataan seperti itu. "Mau ke apartemen enggak?" tawar laki-laki itu.

Bella mengerutkan keningnya. "Ngapain?"

"Enggak ada."

Bella tersenyum tipis. "Ehm, boleh."

Membuat Neo langsung mengusap kepalanya mendengar jawaban perempuan itu. Laki-laki itu tidak bisa menyembunyikan senyumnya sama sekali. Membawa Bella dan melambaikan tangannya pada Toro tanda dia berpamitan.

"Aku enggak pacaran dengan Anka. Seriusan enggak pacaran. Kita sudah sama-sama tahu alasannya kenapa."

Neo menganggukkan kepalanya. Memasangkan Bella helm membuatnya tidak bisa untuk tidak berhenti tersenyum terus-terusan setiap hari. Ia akan menjadi seperti itu. Tidak pernah dia berhenti mencintai Bella dan dia selalu bahagia dengan keadaannya itu.

"Di apartemen ada apa aja?"

Neo menggelengkan kepalanya. "Maunya makan malam apa?" tanya Neo lagi.

Bella menggelengkan kepalanya. "Enggak tahu. Kalau steak?" tanya Bella pada Neo.

"Beli bahannya dulu."

Perempuan itu tersneyum langsung menganggukkan kepalanya. Mereka mampir sebentar ke pusat perbelanjaan memilih daging sesuai dengan kesukaan Bella. "Tapi nanti lo yang masakin ya?" pinta Bella dengan senyuman tipisnya.

"Kangen aku yang masakin?" balas Galas lagi.

Bella hanya tersenyum kecil. Dia kemudian memilih makanan pendamping lain. tidak lupa juga membeli bahan kebutuhan harian. Seolah tahu stok di rumah Galas sudah habis. Sebenarnya bukannya selah tahu, tapi sepertinya Galas sering melupakan membeli bahan kebutuhan harian untuk dirinya sendiri. Beberapa kali singgah di apartemen Galas membuat Bella sadar dengan hal itu. Pria itu haya fokus memenuhi isi kulkas. Mungkin karena kalau Bella bosan ia menjadi alasan untuk kejadian semua itu.

***

"Nka," nyonya Claiment, menghampiri puteranya yang sedang melamun di beranda itu.

"Hm?" tanya dosen itu sekilas. "Kenapa, Ma?" lanjut Anka memperhatikan kesantunan menoleh wajahnya pada orang yang sudah melahirkannya itu.

"Sudah datu minggu semenjak terakhir kali Bella kesini," komentarnya.

Anka tersenyum tipis. "Ini nih yang membuatku malas membawa teman-temanku bertemu mama. Mama pasti akan salah mengartikannya gimanapun juga aku menjelaskannya."

Perempuan itu memainkan bibirnya. "Mama hanya merasa cocok."

"Tidak, Ma. Bella sudah punya seseorang."

Mama mengerutkan kenignnya. "Bukannya dia mengaku pada mama dia masih sendiri? Dia memang pernah menikah tapi sudah bercerai dari suaminya bukan?" tanya mama Anka lagi.

"Tidak sepenuhnya bercerai." Anka berkata sambil mencoret makalah mahasiswanya sambil menggelengkan kepalanya.

"Tidak sepenuhnya bercerai? Maksud kamu?" tanya mamanya sambil mengulang apa yang dia katakan.

"Bella masih berhubungan dengan mantan suamina itu. Memang bukan hubungan pernikahan, tapi hubungan teman biasa saja tapi masih ada cinta dihati mereka. Di hati Bella sekalipun dia memiliki perasaan benci terhadap mantan suaminya itu."

Nyonya konglomerat itu menggelengka kepalanya. "Kan mereka tidak menjalin hubungan. Masa kamu tidak ingin berusaha? Tidak ada sedikitpun perasaan terhadap Bella?"

Anka tersenyum. "Aku menghargai Bella kareana aku melihat mama dalam dirinya. Bella juga tahu itu. Kami berdua tidak memiliki hubungan yang demikian. Lagipula susah tahu ma menjalin hubungan dengan seseorang yang masih memiliki perasaan dengan mantannya?"

"Kamu menyindir mama?" wanita itu menyipit.

"Aku hanya belajar dari pengalaman." Anka cengir lebar menaikkan alisnya pada sang mama membuat wanita itu mendengus kecil. Anka tertawa. Bukannya merasa bersalah sama sekali melihat tampang protes wanita itu.

"Aku tidak mau membuat Bella merasa menghormatiku atau sekedar mencintaiku. Aku dan suami mama itu sama. Aku beda dengan Dad. Aku tidak menerima hanya sebatas disayangi."

Mama Anka itu menyerngitkan hidungnya. "Lantas kamu akan memilih siapa?"

"Siapapun yang menurut hatiku nanti. Ayolah! Mama tahu aku mewarisi darah siapa."

Mama Anka spontan memutar bola matanya. "Tapi kamu masih suka perempuankan?"

Anka tertawa kecil. "Masihlah."

"Trus?"

"Ya, sekedar suka aja. setelahnya tidak menarik lagi. Ma, aku belum menemukan sesuatu yang memercikkan aku api agar aku tamak dengan seseorang itu. Belum pernah sama sekali."

Perempuan itu menyerah. "Benar-benar tidak ada Bella?"

"Untuk sekarang aku bisa katakan tidak. Maaf sudah mengecewakan mama."

Perempuan itu akhirnya masuk ke dalam kamarnya meninggalkan Anka yang sedang sibuk dengan tugasnya. Pria itu menggeleng-gelengkan kepalanya sekilas. Dia sudah menduga akan seperti itu pada akhirnya. Mama memang menikah dengan orang yang dicintainya. Tapi perjalanannya tidak smeudah itu. Anka masih mengingat walaupun samar-samar sedikit liku perempuan itu.

Bukannya Anka tidak bahagia dengan hubungan kedua orang tuanya yang sekarang, hanya saja Anka tidak ingin mengulang kesalahan yang sama. Dari mereka Anka belajar bahwa cinta akan memenangkan segalanya. Ia tidak pernah berhenti menyerah sebelum mendapatkan apa yang diinginkannya. Pandangan Anka soal cinta hampir bersamaan maknanya dengan kata serakah.

Mamanya sudah membuktikan. Perempuan itu percuma saja berkoar-koar sudah melepaskan perasaannya dari Claiment puluhan tahun yang lalu. dia juga hanya menunjukkan omong kosong dia hanya ingin selamanya dengan mendiang suami pertamanya. Seseorang yang Anka panggil dengan sebutan Dad sampai sekarang.

Kenyatannya, jika perceraian tidak mampu merobohkan hatinya, maut yang memisahkan dua orang itu. Akhirnya mama Anka tidak bisa mengelak untuk kembali pada laki-laki itu. Pria berengsek yang pernah meninggalkannya tanpa kata lalu kembali seenaknya untuk memiliki semuanya. Dirinya dan Anka. Itulah defenisi serakah bagi Anka.