webnovel

Part 09

      Yewon bungkam. Dirinya hanya bisa menunduk terdiam. Tidak ada lagi alasan yang bisa ia katakan untuk menjawab pertanyaan ibunya. Yewon linglung. Menggaruk kepalanya yang tak gatal seraya mempuoutkan bibirnya ke depan. Malu hati, sungguh. Kalau saja wajahnya bisa ditutup dengan bahu lebar Seokjin, mungkin dia buru-buru menutupinya. Menyembunyikan wajah polos yang malu itu.

"Bagaimana? Sudah puas melepas rindu dengan Yoongi itu, hm?" ucapan itu akhirnya keluar dua kali dari mulut ibunya.

.

.

.

.

.

.

.

.

"T- tidak bu. Aku kesana tidak untuk bertemu dengan Yoongi, kok. Hanya kebetulan."

Oke, Yewon berbohong lagi.

Ibunya tersenyum miring, "Ah----jadi hanya kebetulan ya? Mengejar, lalu menghampiri Yoongi duluan dan akhirnya bicara lama di ujung sana." Jeda, "Kim, dari tadi ibu memperhatikanmu, lho. Masih berani berbohong?"

"Oke, aku jujur. Aku memang rindu Yoongi." Jeda, "Apa itu salah, bu?" Yewon menunduk. Merasa bersalah dengan ibunya.

Ibunya tersenyum menatap sang anak. Mengusak pucuk kepala anak gadisnya, "Mau dengar nasihat ibu, tidak?"

Yewon mengangguk.

"Jauhi Yoongi, nak. Ibu tidak suka padanya. Sering kali ibu bilang ini kan? Bahkan mungkin teman-temanmu dan Namjoon juga bilang seperti ini. Dan kamu----masih ingin mengejar Yoongi juga?" ujar sang ibu.

     Yewon hanya terdiam. Masih ingin mengetahui mengapa alasan ibunya yang tidak pernah menyukai pria itu. Dari dulu. Bagi ibunya, Min Yoongi juga tidak pernah baik di matanya. Entah kenapa? Hanya karena hal sepele? Oh, Ayolah----Yewon itu sudah dewasa. Dia sudah mengerti mana hal yang masuk akal dan mana yang tidak. Jujur, Yewon sebetulnya muak sekali mendengar celoteh sang ibu. Tapi kali ini, rasanya dia menginginkan ibunya memberi alasan yang lebih logis lagi. Lebih masuk akal untuk ia terima.

"Bu, beri aku satu alasan mengapa Yoongi itu selalu rendah di mata ibu?" ucap Yewon. Akhirnya dia bisa membuka suara juga setelah lama mendengar ibunya mengoceh sedari tadi. Dan pasti tidak jauh dari nama Kim Namjoon itu. Biasa, meninggi-ninggikan dirinya.

Ibunya mendengus. Semakin kesal pastinya. Tidak perlu ditanyakan lagi kan, alasannya? "Karena dia berasal dari keluarga miskin, Kim." Jeda,

"Sekarang inginnya ibu kamu berfikir begini, . Kalau saja misalnya kamu menikah dengan pria itu, apa kamu bisa menjamin kehidupan kamu kedepannya? Bukan. Ibu bukannya merendahkan Yoongi. Tidak ada sama sekali niatan ibu menjelek-jelekkan keluarga itu." ucap sang ibu panjang lebar.

"Jadi selama ini maksudnya ibu apa, selalu melarangku mendekati Yoongi?" lirih gadis itu.

     Sungguh, dia sebetulnya sudah bosan menangis di hadapan ibunya yang kesekian kali. Hanya karena Min Yoongi.

"Ibu bilang begini supaya kamu sadar, nak. Ibu hanya takut anak gadis satu-satunya ibu salah memilih pasangan. Seorang ibu khawatir pada anaknya, wajar kan? Ibu sudah tahu bagaimana latar belakang keluarga Min Yoongi, sudah tahu cara dia menyikapimu selama ini seperti apa. Dan----apa dengan semua itu kamu pikir ibu bisa percaya kalau dia akan membuatmu bahagia, Kim?" Jeda,

"Ibu hanya ingin yang terbaik saja untukmu. Kalau ada pria selain Yoongi, lebih baik mencari yang lain. Ibu sarankan dengan sahabatmu, Namjoon. Dia lebih perhatian ke kamu. Anaknya ramah, dan punya sopan santun. Hidupmu bisa terjamin kalau kamu menikah dengan Namjoon. Pintar, kaya, dan dia juga baik. Jauh berbeda dengan Yoongi itu."

     Yewon terisak. Rasanya ada ribuan pisau tajam menghantam dalam dadanya. Sakit. Cinta pertamanya tidak membuatnya bahagia. Banyak halangan yang terus saja menghalangi. Tidak ada orang yang berpihak padanya, tidak ada keyakinan disana untuk meyakinkan perasaannya sendiri. Yewon serba salah. Dia seperti gadis tempramental sekarang. Ah----bahkan selalu. Setiap kali membahas soal pria itu.

     Tidak ada lagi orang yang bisa membuat keyakinannya menetap. Memilih untuk tetap mencintai Yoongi, atau meninggalkannya? Please, Yewon benar-benar membutuhkan seseorang yang mengerti perasaannya sekarang. Seseorang yang bisa memberinya jalan keluar yang tepat sekaligus memberinya ketenangan. Tidak dengan ucapan ibunya.

"Kim, jangan melamun. Pikirkan ucapan ibu benar-benar, nak." ujar sang ibu. Atau----lebih tepatnya mengejutkan gadis itu.

Yewon mengagguk. Tetapi tidak menatap wajah sang ibu. Pandangannya kosong. "Iya, bu. Aku akan pikirkan baik-baik lagi."

"Jangan hanya peduli dengan seberapa rasa cintamu saja. Tapi, kau harus peduli juga hidupmu kedepannya, nak. Pikirkan kebahagiaanmu sendiri. Cinta itu tidak dapat diukur dengan apapun. Dan sekarang, kau sudah harus berfikir logis. Ini bukannya cinta remaja lagi, Kim." Jeda, "Kau sudah dalam masa percintaan yang harus mulai serius sekarang. Pikirkan juga kehidupan dan kebahagiaanmu kedepan. Ini akan menyangkut masa depan." Ibunya kembali berceloteh.

Kini, pandangannya sudah beralih menatap sang ibu. "Jadi, menurut ibu aku harus jauhi Yoongi?" ujar Yewon. Ucapannya masih tidak yakin dengan hatinya kali ini.

"Ya. Bila perlu melupakannya. Jangan pernah lagi anggap dia cinta pertamamu. Lagipula, dia tidak pernah buat kamu bahagia kan? Jadi, buat apa masih mengejarnya?" Jeda, "Anak ibu tidak bodoh, kok. Dia tidak buta hanya karena cinta kan, hm?"

Yewon tersenyum mengangguk seraya menatap ibunya. Dan----, dibalaslah senyuman manis itu. "Nah, begitu dong. Ini baru namanya anak ibu."

"Bagaimana? Mau belajar mencoba mencintai Namjoon?"

Gadis itu tersenyum. Mengangguk seraya menatap sang ibu.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Selesai.

     Malam sudah semakin larut. Akhirnya Yoongi telah menyelesaikan semua pekerjaan itu. Lelah. Sungguh sangat melelahkan. Diingat, jika kebanyakan orang-orang sudah puas berlibur seharian di akhir minggu ini dari pagi. Tapi, Yoongi tidak. Dia sudah lelah seharian. Lelah bekerja maksudnya. Bukan lelah liburan. Di hari Minggu saja dia masih ingat bekerja. Ambil lembur lagi. Dan esoknya, sudah hari senin. Kembali ke sekolah lagi.

     Ck, begitu saja alur hidupnya! Yoongi sampai bosan. Lelah, sungguh. Benar-benar hampir gila bekerja Min Yoongi itu. Kalau saja ia berfikir tidak terlahir miskin, mungkin dia berhasil ikut audisi dan menjadi artis seperti kebanyakan orang yang beruntung pada umumnya. Karena jika dilihat dari segi kemampuan, Yoongi juga tidak bisa di skip begitu saja kan? Sayang jika tidak ada agency yang merekrutnya. Tidak apa kalau memang takdirnya bukan harus menjadi idol. Sepertinya, komposer juga menyenangkan?

"Ah---Min Yoongi, kenapa angan-angannya datang lagi? Tidak bosan menghayal terus?" Yoongi meringis di dalam hatinya. Memaki diri sendiri, mengukur standar kenyataan dengan ekspetasinya. Konyol, bukan?

_____***_____

Sampai rumah.

Baru saja membuka pintu, membanting tubuhnya ke sofa seraya memejamkan mata sejenak, Yoongi sudah disambut manis oleh sang adik yang entah sejak kapan sudah ada di sampingnya. "Hyung?"

Yoongi segera membuka mata, "Kenapa belum tidur? Tidur, sana! Besok kau harus sekolah kan?"

"Aku belum bisa tidur kalau hyung belum pulang." Jeda, "Kenapa pulang selarut ini? Hyung lembur lagi?"

Pria itu kembali menutup mata. Kepalanya pun ikut kembali ditidurkan di sandaran sofa, "Mau bagaimana lagi? Katanya besok kau harus membayar semua tunggakan sekolahmu? Jika aku tidak ambil lembur, mau dapat uang dari mana?"

     Adiknya hanya terdiam. Sudah malas menasehati sang kakak yang urusannya akan jadi tambah panjang lagi. Pasti masih keras kepala. Jungkook tidak mau membuat keributan atau setidaknya perdebatan lagi disini. Dia tahu, kakaknya lelah. Lagi pun, ini sudah larut. Waktunya semua orang beristirahat. Jungkook hanya tidak ingin rumahnya dilempari batu bata oleh tetangga karena membuat keributan malam-malam begini. Dia memilih untuk diam.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Besok aku akan datang ke sekolahmu. Melunasi semuanya, paham?" ujar pria Min itu.

"Sudah gajian?"

Yoongi mengangguk. Tanpa ekspresi apa-apa disana. Matanya pun masih dipejam, tidak ingin dibuka rasanya. Ngantuk. Lelah juga pasti.

"Ibu sudah tidur?"

"Sudah. Tadinya mau menunggu sampai hyung pulang. Tapi, ku suruh saja istirahat duluan. Kasihan, aku tidak tega. Akhirnya tidur juga." sahut sang adik panjang lebar.

Yoongi hanya mengangguk, "Hm, bagus. Kau juga masuk kamar, Jeon. Istirahat. Besok harus bangun lebih pagi. Aku akan ke sekolahmu dulu. Setelah itu, aku langsung berangkat."

Jungkook mengangguk.

"Hyung ingin makan dulu?"

     Yoongi langsung membuka matanya perlahan. Wah, baru kali ini seorang Min Yoongi tertarik ketika diajak makan. Jika biasanya, selalu menolak. Lebih tertarik langsung tidur. Entah? Mungkin hari ini benar-benar melelahkan. Yoongi sampai ingat jika perutnya masih ada rasa lapar.

"Ibu masak?"

"Hanya sup Kimchi dan Jiggae." sahut sang adik.

"Ibu pegang uang?"

"Sepertinya iya. Tapi, sedikit. Hanya sisa uang bulan kemarin."

Yoongi hanya mengangguk. Sudah jelas tidak ada yang perlu ia jawab lagi. "Masih ada sisanya?"

"Habis. Ibu masak sedikit tadi." sahut adiknya.

"Kau sudah makan?"

Jungkook menggeleng, "Tadinya ibu menyuruhku makan duluan. Tapi, ku bilang aku sudah makan di luar. Padahal belum. Dan akhirnya hanya cukup untuk ibu makan."

Yoongi menghela nafasnya kasar. Hanya bisa pasrah dengan keadaan hidupnya yang begini. Mau bagaimana lagi? Daripada tidak makan. "Mau masak ramyeon?" usul Yoongi.

Dia tahu adiknya lapar. Karena itu juga dia mungkin tidak bisa tidur.

     Tersenyum sumringah. Sepertinya lelaki itu sangat senang bisa bersama sang kakak. Walaupun waktu yang mereka punya sangat sedikit. Bahkan jarang. Suka saja berkumpul, berbicara, bertukar cerita dengan sang kakak. Jarang sekali kan bisa begini dengan kakaknya?

"Mauuuu"

     Yoongi segera bangkit dari sofa. Tapi sebetulnya, dia lelah. Sangat ingin merebahkan tubuhnya. Namun, perutnya kali ini tidak bisa diajak kompromi. Demo minta diisi. Apapun itu makanannya, seberapa pun porsinya. Yoongi akan makan itu selagi bisa dimakan. Tipe macam Yoongi memang agak sulit makan. Tapi, dia juga tidak pernah memilih makanan. Simple sih, orangnya. Karena kelewat simple, susah ditebak juga keinginannya. Betul, tidak?

"Baiklah, ayo." ajak sang kakak yang langsung beranjak menuju dapur.

.

.

.

.

.

~ to be continued ~