webnovel

Part 03

"Eunghh, Y---Yoon?"

"Tidak ingin pulang?" Yewon terkejut bukan main saat tiba-tiba pria itu sudah berada di sampingnya.

Mengucek matanya perlahan, Yewon segera mengumpulkan nyawanya yang masih setengah sadar ketika merasakan tangan Yoongi mengusap surainya perlahan.

"Y---Yoon? Sudah selesai semua?"

Yoongi tersenyum mengangguk menatap gadis itu. Oh, Tuhan. Ada apa dengan Min Yoongi ini? Sikapnya sulit sekali ditebak. Tadi siang cueknya luar biasa. Namun, mengapa sekarang begitu manis padanya?

Yewon menepuk pipinya berulang kali. "Ini bukan mimpi kan?" pertanyaaan itu terus hadir dalam otaknya. Gadis itu hampir tidak percaya jika ini Yoongi. Mungkin dia orang lain, tapi menyamar jadi Yoongi.

Serius. Baru kali ini Yoongi tersenyum padanya. Ini sama sekali membuatnya tidak percaya. Selama ini, Yewon hanya mengenal wajah dingin dan cuek dari pria itu. Oh, ini benar-benar keajaiban! Yewon sampai senyum-senyum sendiri dibuatnya. Melihat kenyataan yang mustahil begini.

"Tuhan, aku tidak ingin bangun sekarang---biarkan aku bermimpi seperti ini. A- Aku, senang sekali." ujar Yewon tanpa sadar.

Yoongi mengerenyitkan dahi. Aneh, dan--- Apa yang dia katakan? Mimpi?

Yoongi akhirnya memutuskan untuk mencolek pundak gadis itu. "Hei, ingin pulang tidak? Mau ku tinggal?"

Yewon sontak tersadar dari lamunannya. "Ah, maaf Yoon. Iya, kita pulang sekarang ya?"

"Tapi maaf, sepertinya kau pulang duluan saja." ujar Yoongi.

Gadis itu sontak membulatkan pupil matanya lebar-lebar. "Hm--- kenapa Yoon?"

"Aku harus pergi ke suatu tempat lagi." jawab Yoongi datar.

Yewon mempoutkan bibirnya ke depan. Menyesal, sungguh. Kecewa dengan pria Min itu. Dari siang menunggunya, setelah selesai ingin ditinggal begitu saja? Jika kalian di posisi Yewon, apakah masih ingin mengejar cintanya? Atau--- sekiranya mendekati tipe pria kulkas macam Yoongi?

"Aku ikut."

Yoongi menghela nafasnya kasar. Raut wajahnya terlihat lelah. Yewon tahu itu. Namun, dia hanya ingin membuat pria Min itu bisa melepas bebannya sedikit. Menghibur, mengajaknya jalan-jalan.

"Kim Yewon, ini sudah malam. Sebaiknya kau pulang." tegas Yoongi.

Sebenarnya gadis itu kesal bukan main. Tapi, dia masih bisa sabar. Sering diperlakukan begini padanya. Pada pria Min itu. Tidak heran lagi jika tiba-tiba bersikap baik, tiba-tiba juga bersikap cuek seperti ini. Sulit ditebak. Yewon sudah paham sekali.

Kesabaran seperti apa lagi yang harus gadis itu lakukan? Apa selama ini masih kurang untuk meluluhkan hati Min Yoongi itu?

Sungguh, ini adalah cobaan terberat bagi Yewon. Gadis itu tetap memperlihatkan senyumnya pada Yoongi. Sebetulnya kesal. Tapi apapun itu yang Yoongi katakan, dia akan senantiasa melakukannya.

'Ya Tuhan, bagaimana lagi aku bisa bertahan menghadapinya? Apa yang dikatakan teman-temanku benar, bahwa aku bukan yang terbaik untuknya? Atau--- ku lepas saja pria ini?'

'Tuhan, aku tidak tahu. Apakah masih sanggup berpura baik-baik saja seperti ini? Sesak---- disini rasanya sesak. Aku tidak kuat lagi.'

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Sekarang Yewon hanya bisa terus meringis di dalam hatinya. Ingin menyerah pada pria itu. Yewon tahu diri. Mungkin memang dia tidak pernah membuat Yoongi tertarik padanya. Walaupun itu sedikit. Sering kali Yewon merasa putus asa begini. Tapi, entah apa yang membuat gadis itu akhirnya lebih memilih tetap bertahan sampai sekarang ini.

Padahal, Yoongi jarang---- Ah, bahkan tidak pernah membalasnya dengan perlakuan manis untuk gadis itu.

Yewon cukup dibilang sudah kebal untuk lebih memilih bertahan mengejar pria Min itu. Sering kali dia menangis sendirian karena tidak kuat lagi bertahan.

Seperti sekarang ini. Rasanya ingin sekali dia berlari atau kabur meninggalkan pria itu. Air matanya tidak kuat lagi ia tahan. Hatinya sangat sakit. Akhirnya--- perlahan mengalir di pipinya.

"Ah, ya sudah tidak apa. Kalau begitu aku pulang, ne? Kau juga hati-hati Yoon." seru Yewon dan kemudian berusaha tersenyum seraya melambaikan tangannya.

"Hm. Oh ya, tunggu!"

Yoongi sontak menarik pergelangan tangan mungil gadis itu yang membuat dirinya berhenti dan berbalik badan menatap Yoongi.

"Ada apa, Yoon?"

Meraih kantong plastik sisa makan siang yang tadinya sengaja untuknya, kemudian diberikan kembali pada gadis itu. "Maaf, makanannya tidak sempat ku makan. Aku lupa." jawab pria itu datar. Tanpa rasa bersalah.

_____***_____

Yah, sudah biasa diabaikan begitu. Apapun yang dia beri untuknya, pasti tidak pernah diterima. Namun, gadis itu tak pernah bosan bersikap baik padanya.

Gadis itu masih tetap tersenyum menanggapinya. "Iya, tidak apa Yoon. Aku bawa pulang lagi tidak masalah. Lain kali, jangan lupa makan begini ya."

.

.

.

.

.

.

Benar-benar hati baja.

Selalu saja mengucap 'baik-baik saja' begitu. Tidak tahu sakitnya seperti apa disana. Oh, Astaga----pria seperti dia mana mungkin peduli hatinya?

Peduli dengan sikap baiknya saja tak pernah Yewon terima. Lantas, bagaimana bisa dia peduli perasaannya yang sesakit ini?

"Hm"

"Ya sudah, aku pamit Yoon."

Yoongi tidak menjawab. Hanya memandang tubuh mungil itu yang lambat laun semakin menjauh dari hadapannya. Tidak lama, pria itu juga meninggalkan tempat kerjanya. Ini sudah larut malam. Yoongi sebenarnya sangat lelah. Tapi, dia memutuskan untuk tidak langsung pulang ke rumah.

.

.

.

.

.

.

.

Pemakaman.

Yoongi berkunjung ke tempat pemakaman selarut ini. Tidak masalah tubuhnya yang ingin sekali direbahkan di kasur kesayangannya. Matanya pun sebetulnya juga tak kuat lagi terjaga. Rasanya ingin dipejamkan sekarang. Menguap berkali-kali, karena memang ini waktunya istirahat.

Pria Min itu kemudian berhenti di sebuah nisan dihadapannya. Menaruh seikat bunga mawar di atas nisan yang kini sudah tertulis rapih menjadi kenangan. Air matanya perlahan mengalir di pipinya. Yoongi menangis.

"Ayah, aku datang." ujarnya lirih.

Yoongi mengusap nisan itu yang sudah basah air matanya. "Kau tahu, ayah? Disini aku sedang tidak baik-baik saja. Lelah. Semenjak ayah pergi, aku yang menjadi tulang punggung mereka. Banyak yang harus ku pikirkan. Menjaga ibu dan Jungkook---, membantu ibu mencari uang untuk membayar uang sekolahku dan juga Jungkook."

Pria itu kemudian perlahan mengusap foto ayahnya yang masih tergeletak bagus di hadapannya. "Ayah, usia ibu akan terus bertambah. Aku tidak bisa membiarkan ibu terus bekerja seperti sekarang. Aku takut ibu tidak kuat dan akhirnya jatuh sakit. Jika ibu sakit,----" ucapnya terhenti. Yoongi sudah tak kuasa lagi membendung air mata di bola matanya.

"A--- Ayah, aku tidak mau juga harus kehilangan ibu. Aku masih membutuhkannya, yah. Cukup, aku hanya kehilangan ayah saja. Tidak untuk ibu." lirih pria Min itu.

_____***_____

Min Yoongi sudah ditinggal ayahnya pergi semenjak ia duduk di sekolah taman kanak-kanak. Ya, semenjak sang adik Jeon Jungkook masih bayi.

Ayahnya meninggal karena kecelakaan mobil saat bekerja. Dulu, ayahnya hanya seorang supir taksi. Namun, musibah memang tidak bisa dihindari. Sampai ayahnya pergi terlebih dulu meninggalkan sang istri, Yoongi dan juga Jungkook.

Karena dari dulu keluarga Min Yoongi cukup dibilang sangat sederhana, akhirnya mau tidak mau ibunya lah yang bekerja menggantikan posisi sang ayah. Dan sekarang, ketika putra sulung mereka sudah besar--- jadi Yoongi yang membantu ibunya bekerja menambah penghasilannya untuk keluarga. Sebetulnya tidak hanya Yoongi.

Bahkan, Jungkook pun sekarang sering kali meminta izin membantu Yoongi bekerja. Dia kasihan dengan kakaknya. Lelah. Sering melihat sang kakak sampai rumah dengan wajah pucat karena kelelahan.

Tapi, Min Yoongi ini sangat keras kepala. Tidak pernah mengizinkan adiknya bekerja, membantu sang kakak menambah penghasilan mereka. Dia hanya ingin adiknya fokus belajar. Agar bisa masuk ke perguruan tinggi dan akhirnya sarjana. Setelah itu, mendapatkan pekerjaan yang layak. Tidak seperti dia dan ibunya, yang selalu di caci maki. Direndahkan orang lain karena tidak punya apa-apa.

Yoongi tidak ingin adiknya begitu. Seorang kakak hanya ingin memperbaiki dan melakukan hal yang terbaik untuk adiknya, wajar bukan? Sama seperti Yoongi. Dia hanya ingin adiknya berhasil. Bisa membantu dan membuat ibunya bangga suatu hari nanti. Memperbaiki nasibnya dan keluarganya kelak. Itulah harapan terbesar Yoongi.

"Ayah, aku harus bekerja sekeras apa lagi sekarang? Jungkook sering kali dipanggil ke ruang kepala sekolah karena tunggakannya belum lunas. Uang gaji ku hanya terus habis membayar untuk sekolahnya. Dan aku--- Aku juga sering tidak ikut ujian karena jarang membayar lunas uang ujian, yah. Lalu, apa yang harus aku lakukan lagi? Ku pikir aku tidak akan lulus setelah ini."

Yoongi masih ingin bercerita pada ayahnya disini. Dia lebih suka di makam ayahnya. Nyaman. Yoongi menyukai tempat-tempat yang sunyi. Jauh dari kebisingan. Biasanya, dia kesini untuk menenangkan diri. Atau sekedar curhat pada ayahnya jika ia rindu.

Entahlah. Menurutnya jika sudah bercerita, mengeluarkan isi hatinya di makam sang ayah, hati Yoongi kembali tenang. Dadanya terasa lega. Semua beban hilang dan dapat tersalurkan. Iya, dia hanya sendirian disini. Itulah yang dia sukai. Menyendiri.

"Ayah," lirihnya kembali.

"Aku tidak tahu. Apakah aku akan kuat menghadapinya? Aku tidak yakin jika aku benar-benar berhasil menjaga ibu dan mendidik Jungkook sampai dia berhasil."

"Aku sangat rindu ayah disaat-saat seperti ini. Kalau saja ayah masih ada, mungkin ayah akan menjaga ibu dan juga membantu ibu dalam mendidik Jungkook. A- aku tidak mau Jungkook menjadi lelaki yang gagal, yah---"

"Aku ingin Jungkook menjadi anak yang berhasil dan bisa membuat ibu bangga. Bahagia melahirkannya di dunia. Tidak seperti ku. Aku tidak pernah bisa membuat ibu bahagia. Aku menyesal, yah--- Aku tidak punya apa-apa untuk membahagiakan ibu." Yoongi kini mengusap air mata yang berkali-kali mengalir di pipinya.

"S---semoga, ayah mendengar aku dari sana. Aku berharap, ayah tetap mendoakanku agar aku kuat untuk bertahan menghadapi semua ini. Aku tidak yakin, ayah--."

Senyuman Yoongi akhirnya berhasil lolos, walaupun matanya sudah sembab berlinangan air mata.

"Ah, iya. Sebenarnya, aku sudah lama ingin bercerita soal ini pada ayah.

Kau---tahu ayah? selama ini ada seorang gadis yang selalu mendekatiku. Dia sangat baik pada aku, ibu, Jungkook dan juga sahabatku Hoseok. Tapi--- Ah, ku pikir memang karena gadis itu baik. Bukan karena ingin mengejar ku juga. Akunya saja yang kepedean."

"Tapi ayah, aku tidak tahu----"

.

.

.

.

.

.

.

~ to be continued ~