webnovel

Hidden.

Seorang wanita terbunuh dan aku adalah orang terakhir yang bersama dengan korban. Dan sialnya bukan hanya satu orang, ternyata ada satu korban lagi, dan satu lagi yang masih hilang. Wanita juga dan aku adalah orang terakhir yang bersama semua korban. Ini gila! Apa yang sebenarnya terjadi? Apa aku pelakunya? Apa aku yang membunuh mereka?

NurNur · Horror
Zu wenig Bewertungen
30 Chs

» Alexi dan Dimas.

Sebagai seseorang yang biasanya tidak peduli pada banyak hal, Alexi merajuk cukup lama.

Sejak Rindang meninggal, Alexi hanya mengurung diri di kamar, jarang mandi, makan hanya satu-dua sendok. Kelakuannya yang berantakan benar-benar mirip orang frustrasi. Kamarnya kotor, bau, pengap.

Ayah dan Ibu tirinya yang khawatir harus bolak-balik setiap hari, pagi dan malam, untuk memeriksa keadaan Alexi. Mengantar makanan.

Dimas beberapa hari lalu datang dan memberi banyak wejangan. Hasilnya nihil. Alexi tidak memberi tanggapan apa pun. Dimas nyaris putus asa, tapi ia berusaha berpikir dari sudut pandang Alexi.

Anak itu mungkin kelihatan cuek, dan sifatnya masih kekanak-kanakan. Di saat Alexi dipenuhi duka seperti hari ini, kepribadian yang sesungguhnya terlihat. Toh, Dimas sendiri masih berduka jadi ia mencoba untuk mentolerir Alexi dan memberinya tambahan waktu untuk berduka.

Sampai hari ini.

Yang meninggal telah pergi, tapi yang masih hidup harus terus hidup adalah ungkapan yang tepat. Bagaimanapun dalamnya duka seseorang yang telah ditinggal pergi untuk selamanya, waktu tidak akan bersimpati dan berhenti.

Matahari telah terik di luar sana, namun Alexi masih betah membenamkan dirinya dalam kemul. Tidak ada tanda-tanda akan segera bangun dan beraktivitas. Keluarganya diabaikan, teman-temannya, kuliahnya, pekerjaan yang semula adalah segalanya. Ia hanya berpikir tentang dukanya, rasa sakit yang memenuhi hatinya. Seolah hanya ia yang ditinggalkan. Seolah Ayah dan Dimas tidak terluka. Seolah hanya dirinya yang paling menderita.

Terdengar suara berisik dari luar. Orang membuka pintu dan masuk ke dalam rumah. Dari suara yang terdengar, bukan hanya satu orang yang datang. Meski memejamkan mata, kesadaran Alexi masih terjaga sepenuhnya.

Alexi membuka matanya, menajamkan pendengarannya, dan menjaga fokusnya. Ia menerka-nerka siapa gerangan orang yang datang. Yang mempunyai kunci rumah hanya ayahnya. Terakhir kali Dimas datang, Alexi sengaja membukakan pintu karena masih menghormati pria itu.

Jadi, siapa mereka?

Bukan hanya kunci rumah, orang-orang di luar tampaknya bahkan sedang berusaha membuka kamarnya. Mau tidak mau Alexi mulai bersikap waspada. Tangannya masuk ke bawah bantalnya. Sesuatu yang tersembunyi di sana, ia genggam rapat.

Ketika akhirnya pintu kamar Alexi terbuka, ia tersentak.

"Sudah puas tidurnya, Bro!" seru Ali. "Wah Dit, dia bawa-bawa pisau. Awas, kita mau dibacok!" tambah Ali kemudian tergelak.

"Sialan!" Alexi mendesis.

"Ya ampun, ini kamar atau tempat sampah!" celetuk Ali sembari menutup hidungnya. "Terus ini sebenarnya bau kamar, apa badan lu sih. Gila!"

"Cerewet! Keluar, gua mau tidur!" usir Alexi.

"Lu selama seminggu ini cuma tidur-tiduran aja masih belum cukup?" Adit menyindir.

"Bukan urusan lu! Ini hidup gua, jadi nggak perlu ikut campur yang enggak perlu," sengit Alexi.

"Wah, sekarang omongannya lebih pedas dari lu, Dit." Ali ikut menyindir.

Ali memaksakan tawanya untuk mencairkan suasana. Ia sepenuhnya mengerti suasana hati temannya itu. Ia pernah mengalami hal yang sama sewaktu kakeknya meninggal. Ali mengerti, jadi dia tidak ingin tiba-tiba saat mengunjungi Alexi, hanya jasadnya yang sudah membusuk yang ia temukan di dalan kamar.

Ali dan Adit tidak dekat dengan Rindang, tapi cukup mengenalnya dan tahu bahwa Rindang bersikap menyenangkan ke semua orang. Ali bahkan pernah menjadikan Rindang sebagai patokan kekasih ideal masa depannya.

"Kalau bukan karena calon kakak ipar lu, gue juga ogah ke sini," Adit menimpali.

Ali yang lebih peka, langsung menyikut lengan Adit. "Sebutan calon kakak ipar adalah hal yang tabu saat ini," bisiknya pada Adit. "Sebenarnya kita sudah ke sini tiga kali, dan enggak pernah sekalipun dibukakan pintu. Lu tahu enggak sih Bro, yang begitu itu sakitnya di mana-mana." Ali kembali berbicara pada Alexi dengan nada bicara yang dimelas-melaskan.

"Lebay!" sengit Adit

"Eh, lu benaran enggak sakit hati? Kita sudah berteman bertahun-tahun, melewati suka dan duka bareng. Bolos bareng, kerjai tugas bareng, nyontek bareng, diomeli dosen bareng. Terus waktu lu mau main ke rumahnya lu enggak dibukai pintu. Lu enggak sakit hati?"

"Eh, coret ya itu nyontek, terus diomeli dosen bareng. Yang begituan enggak ada di kamus gue," protes Adit.

"O iya, gue lupa. Lu kan enggak setia kawan!" ejek Ali.

"Ah, dasar manusia! Waktu gue enggak mau tersesat bareng aja baru disebut enggak setia kawan. Kenapa lu enggak bilang itu waktu pinjam duit, waktu minta ditraktir, waktu minta contekan, waktu minta bantu kerjain tugas." Adit berbicara dengan Ali tapi pandangannya justru menatap Alexi.

"Lah, kenapa lu jadi salahi umat manusia?"

"Memangnya lu bukan manusia?" tandas Adit. "Merasa paling menderita, paling kehilangan, paling sedih. Memangnya Bapak lu, Dimas, enggak sedih? Enggak menderita? Enggak kehilangan? Walaupun Bapak lu sudah punya keluarga lagi, tapi dia tetap Bapak yang kehilangan putrinya. Dimas juga sama. Kita tahu usahanya buat dapatin Kakak lu enggak ada habisnya. Sementara lu, bukannya dari dulu suka mengeluh ini-itu. Sekarang harusnya lebih baik karena enggak ada lagi alasan lu buat mengeluh!"

Alexi mendelik pada Adit, sementara Ali membungkam mulutnya rapat-rapat.

Ali menatap kedua temannya bergantian. Atmosfer ruangan berubah panas. Seperti akan keluar api secara mendadak dari tatapan tajam Alexi maupun Adit. Atau akan ada ledakan-ledakan kecil seperti dalam drama-drama kungfu.

Alexi bangkit dari ranjang, melewati Adit dengan menyenggol bahunya. Ia tidak mengungkapkan satu patah kata pun meski jelas-jelas marah. Sayangnya meski kalimat Adit mampu memengaruhi Alexi, ia bukan bangun untuk kembali beraktivitas dan pergi ke kampus. Alexi justru bangun dan keluar dari kamarnya untuk pindah ke kamar Rindang. Alexi masuk dan membanting pintunya.

"Wah, marah besar dia," gerutu Ali. "Sepertinya kalimat lu barusan sudah keterlaluan," tambah Ali khawatir.

Yang diajak bicara hanya mengangkat kedua bahunya dengan tak acuh dan melenggang duduk di sofa ruang tamu.

"Tapi gue juga salut loh, sebenarnya karena mendadak lu lebih cerewet dari gue. The power of care nih kayaknya." Ali menyusul Adit, ikut duduk di sofa.

Hening.

"Oh, iya," Ali teringat sesuatu yang penting. Ia kembali berdiri di depan pintu kamar. "Sebenarnya kita ke sini karena Dimas yang utus. Eh, bukannya tanpa dia kita enggak mau tengok lu, tapi tanpa dia kedatangan gue dan Adit bakal sia-sia lagi. Lu tahu, 'kan kita sudah ke sini beberapa kali, berdiri depan pintu, teriak-teriak, kepanasan, terus pulang begitu aja. Ngenas banget enggak, sih."

"Ngapain jadi curhat, sih!" interupsi Adit. "Memangnya dia peduli?"

"Pokoknya," Ali menekan kata 'pokoknya', "Begitulah. Intinya Dimas yang kasih kita kunci yang dipinjam dari Bokap lu. Terus Dimas juga kasih pesan, dia bilang dia sudah cukup kasih lu waktu untuk berduka. Jadi, kalo sampai nanti sore lu enggak juga ke luar kamar, dia yang bakal paksa lu." Ali menunggu.

Hening. Tidak ada jawaban.

Alexi mendengar setiap kalimat yang Ali ucapkan, tapi ia belum sanggup. Ia ingin menenangkan diri sedikit lebih lama lagi. Seharusnya Dimas bisa mengerti lebih dari siapa pun apa yang ia rasakan.

Ruangan yang rapi, dekorasi yang khas wanita. Dari pemilihan warna cat kamar, seprai, gorden, foto yang terlalu banyak ditempel di dinding, sampai aroma kamar yang begitu feminin. Aroma khas Rindang. Benar-benar cita rasa kakaknya.

Dalam kondisi dan suasana kamar yang berbeda, Alexi baru menyadari bahwa ini kali pertamanya ia memasuki kamar kakaknya.

Sebelumnya ada peraturan dalam rumah yang tak tertulis yang mengatakan kamar adalah privasi masing-masing yang tidak boleh diganggu gugat. Tidak boleh masuk diam-diam, tidak boleh mengintip, tidak boleh ikut campur bagaimanapun bentuknya. Jika sekarang kakaknya ada dan melihat kelakuan Alexi, tidak pelak lagi, Rindang akan mengejar Alexi dengan sapu di tangannya. Seperti ketika Alexi ketahuan mengintip ponsel Rindang. Meski sebenarnya maksud Alexi bukan mengintip.

Alexi melihat-lihat kamar kakaknya.

"Kalau mau marah, lebih baik Kakak datang ke mimpiku," kata Alexi lirih.

Sebenarnya meski tidak pernah melihat secara langsung, Alexi tahu kalau Rindang sering mengintip kamarnya. Kalau tidak, bagaimana Rindang bisa tahu saat-saat kamarnya berantakan dan berteriak padanya untuk dibersihkan.

Ranjang kamar Rindang tidak terlalu tinggi dari lantai. Meja kosmetiknya adalah meja kayu panjang dengan kaki pendek. Selain kosmetik, parfum, ada juga beberapa buku yang disusun rapi di satu meja. Kaca berukuran 180 X 40 senti menjadi pelengkap meja rias di kamar Rindang. Di sudut ruangan ada lemari pakaian dua pintu.

Alexi duduk di lantai, di depan meja rias. Matanya meneliti satu persatu benda di depannya. Bedak, lipstik, eyeliner, maskara, eye shadow, blush on, dan beberapa benda lagi. Alexi menggeleng-gelengkan kepalanya. Kenapa ada begitu banyak peralatan hanya untuk wajah.

Botol parfum kaca yang berjajar rapi tidak luput dari perhatian Alexi. Ia membaui satu per satu aromanya. Untuk botol terakhir, Alexi membaui sampai dua kali karena tidak yakin. Parfum pria, dengan takaran yang masih utuh.

"Mungkin hadiah untuk seseorang." Alexi menduga-duga.

Tiga buku yang tertumpuk di meja adalah buku agenda lama dan dua novel romantis. Alexi masih memeriksa halaman demi halaman buku agenda Rindang ketika menyadari ada sesuatu yang terselip dalam novel.

Foto seorang pria.

"Jadi ini prianya." Alexi memperhatikan lagi dan sadar ia mengenali pria dalam foto itu. Alexi bahkan melihatnya di hari kakaknya akan dimakamkan.

"Sampai kapan kita di sini?" Adit terdengar mengeluh.

"Mau pergi sekarang?" Ali menanggapi. Mungkin Adit mengangguk untuk meng-iyakan, karena selanjutnya Ali berkata, "Ayo!"

Suara langkah keduanya terdengar jelas. Suara pintu dibuka, dan ditutup kembali. Keduanya bahkan tidak berpikir untuk pamit lebih dulu.

Hening.

"Sudah pergi?" Alexi keluar dari kamar kakaknya. Mengintip.

"Akhirnya keluar juga." Ali mengaitkan lengannya ke leher Alexi. "Sudah ya, Bro, main sembunyi-sembunyiannya."

Alexi memaksa lepas dari lengan Ali. "Ada yang tahu di mana Dimas sekarang?" tanyanya setelah berhasil melepaskan diri.

Ali dan Adit saling melempar pandangan. "Terakhir kita lihat sih, dia masuk ke kafe depan kampus," jawab Ali.

"Bagus!"

"Eh, mau ke mana?" tahan Ali sebelum Alexi lepas dari jangkauannya. Alexi meminta Ali memahami sendiri dengan gerakan matanya. "Dimas? Dengan penampilan begini?"

Alexi memperhatikan dirinya sendiri, melihat ke kanan dan ke kiri. Ketika menemukan sweternya di atas kursi makan. Alexi meraihnya dan berlalu.

"Maksud gue bukan itu, tapi lu perlu mandi dulu, terus ganti dengan baju yang lebih layak," protes Ali tapi yang diprotesi sudah keburu melarikan diri dan tidak kembali.

Adit menyusul Alexi. Ali dengan sangat terpaksa ikut membuntut.

*****

Kafe tidak terlalu ramai. Hanya ada lima orang pengunjung dan satu orang baru saja meninggal kafe. Hanya dengan sekali lihat, Alexi bisa menemukan keberadaan Dimas. Ia duduk sendiri. Tampaknya yang baru saja pergi adalah orang yang sebelumnya satu meja dengannya.

Dimas begitu fokus dengan kertas yang ada di tangannya sehingga tidak sadar dengan kedatangan Alexi. Di lembar lain, Alexi bisa melihat ada foto Dewa sehingga tanpa sadar merebutnya dari tangan Dimas.

"Apa ini?" Alexi membaca sekilas dan segera mengerti bahwa kertas-kertas itu berisi kegiatan sehari-hari Dewa. Alexi menebak, di lembar lainnya adalah informasi pribadi Dewa yang lebih spesifik. "Apa dia pelakunya?"

"Jangan berpikir berlebihan. Kembalikan!" perintah Dimas.

"Aku adiknya tapi aku tetap tidak berhak tahu?!" Suara Alexi meninggi.

Ali yang baru sampai bersama Adit, menyenggol Alexi untuk mengingatkannya bahwa mereka ada di tempat umum, dan bukannya dalam kamar kedap suara. Ada beberapa pasang mata di sini. Mereka semua merasa terganggu.

Alexi menghela napas, berusaha menenangkan diri. Ia menarik kursi dan duduk di depan Dimas. Diikuti Ali dan Adit.

"Polisi bilang dia orang terakhir yang bersama Kakak. Dia juga orang yang menurunkan Kakak di jalan, jadi aneh kalau orang itu tidak tahu apa-apa," Alexi berkata lagi.

"Serahkan saja pada polisi," jawab Dimas.

"Kalau penyelidikan mereka cukup bisa dipercaya, kenapa Kak Dimas harus melakukan ini?" Alexi menunjuk-nunjuk kertas di tangannya. Ia nyaris kembali lepas kendali. "Apa ada yang dirahasiakan dariku?"

"Akan aku katakan kalau sudah waktunya."

Alexi menghela napas lagi. Ia tahu tidak akan menang jika berdebat dengan orang dewasa di depannya ini. Alexi mengeluarkan sesuatu yang diambilnya dari kamar Rindang dan menunjukkannya pada Dimas.

Selembar foto. Foto pria yang sedang tertidur dengan tangan terlipat sebagai bantalnya di atas meja kerja. Raditya Dewangga.

"Dari sudut foto, jelas diambil secara diam-diam. Itu artinya Kakak menyukai pria ini dan itu pasti alasannya selalu menolakmu. Meski bertepuk sebelah tangan atau... menjadi simpanan, jelas Kakak sangat menyukai pria ini. Jadi, yang mau kukatakan, cukup tanggung jawabmu untuk peduli padaku karena Kakak. Bagaimanapun usahamu, hatinya sudah terisi." Alexi mengatakan semuanya dengan sangat jelas.

Dimas tidak menanggapi. Selama ini ia tidak cukup buta untuk mengetahui Rindang menyukai orang lain. Hanya saja ia tidak ingin mengakuinya dan tidak ingin menyerah atas perasannya.

"Kalau orang ini pelakunya, kalau benar dia yang sudah membunuh Kakak, aku akan menangkapnya dengan tanganku ..." Bibir Alexi bergetar, matanya merah menatap nyalang. "Aku akan membuatnya membayar penuh dosanya!" Alexi tidak sedang mabuk, ia mengatakan semua itu dengan kesadaran penuh.

Adit dan Ali saling bertukar pandangan. Dimas merasakan sinyal bahaya.

Obsesi Alexi telah berubah. Berubah sepenuhnya.

_abcde_