| Heningtyas Rembulan |
Keheningan menghiasi malam. Mengisahkan seorang gadis yang tertidur pulas di dalam kamarnya, terlihat dari luar jendela yang dekat dengan ranjangnya. Kamar gelap tanpa ada alat penerangan yang dinyalakan, sengaja ia buka gorden jendela, memanfaatkan cahaya lampu jalanan. Namun siapa sangka, dibalik ketenangan dari luar ia memimpikan mimpi buruk di dalamnya.
[•]
Ruang gelap dan senyap apa ini? Dimana aku?, Sepertinya hanya ada aku disini. Drap..drap..drap.. - derap langkah kaki berlari, aku menoleh ke sumber suara itu. Namun, hanya gelap yang kulihat. "AAAHHH," aku berteriak, tiba-tiba saja aku dipukuli seseorang yang tak kuketahui. Ctass.. "AW" - ia menamparku. Aku berusaha berlari pada ruang tanpa sisi ini. Hatiku berdegup kencang, napas seakan memburu, mulutku terengah-engah. Namun pikirku salah, aku terjebak pada tembok yang membuatku tak bisa berlari kemana mana. Orang itu mendekat, wajahnya gelap akibat ruangan tanpa penerangan. Tangan kirinya memperlihatkan secarik kertas ujian dengan nilai menjijikkan, nol. Tangan kanannya disembunyikan di belakang badan, mengambil sesuatu dibaliknya, sebuah tali pinggang yang terbuat dari kulit. Orang itu kembali memukuliku. Sakit, sakit sekali, aku memejamkan kedua mataku, menahan perih tubuhku yang mulai membiru. Entah sampai kapan orang ini berhenti memukuliku, apakah sampai mati?
[•]
Pukul tiga dini hari, gadis itu terbangun dari mimpi. Mimpi tentang masa lalu, dimana ia dipukul, ditendang, bahkan mungkin hampir dibunuh oleh kedua orangtuanya hanya karena nilai ujian yang tak memuaskan hatinya. Traumatis yang mendalam itu membuat tangannya menerkam kepala dan rambutnya, dengan sempoyongan ia berdiri dan berusaha menggapai pil penenang. Mimpi buruk mengingatkan masa lalu yang sudah terkubur dalam-dalam, dibantu dengan berjalannya waktu dan pil penenang yang ia dapat dari psikiater. Setelah gadis itu menelan pilnya dan meneguk segelas air putih diselingi dengan obat tidur agar ia kembali tidur dengan nyenyak. Mengehela nafas puas, pikirannya kembali tenang, dan kembali melentangkan tubuhnya.
[•]
Hah? Aku di ruangan ini lagi? Badanku mengecil, seperti anak SD. Tanpa pikir panjang dan mulai pasang badan, bersiap-siap jika ada orang yang mendekat. Tanganku merentang rendah, mata mulai mengawasi sekitar, telinga bersiap mendengar suara yang tiba-tiba tergema. Benar saja, suara kaki yang berlari dari arah penjuru ruang, mungkin kali ini lebih dari satu orang?. - Ya, mereka mengerubungiku, menertawakan setiap ejekan untukku.
[•]
Pukul empat pagi, gadis itu kembali terbangun, memimpikan kembali masa lalunya. Kali ini sudah bukan lagi soal orang tua, melainkan pembullyan di sekolah. Ia kembali menerkam kepalanya, kembali meminum obat-obatan khusus untuknya dan kembali tidur seperti biasa.
[•]
Aku kembali pada mimpi, kali ini aku tidak lagi di ruang gelap tadi. Melainkan aku di kamar lamaku, di rumah lama saat masih bersama kedua orang tua. Lama sudah tak melihat mereka kembali bersama. Aku rindu rumah ini, rumah yang pernah ku tinggali sebelum mereka saling pergi.
Awalnya, kukira kali ini aku memimpikan mimpi yang sempurna, tidak lagi adanya trauma. Nyatanya aku salah, aku benar-benar salah. Setelah melihat teriakan itu lagi, teriakan yang membuatku meringkuk menutup kedua telingaku dalam kamar. Tak bisa, suara itu masih terdengar jelas meski kupingku sudah tertutup rapat. Telingaku mendengung, meredam suara itu, tapi tetap saja terdengar meski samar-samar.
[•]
Pukul lima pagi, lagi-lagi ia terbangun. Memimpikan trauma yang berbeda dari perlakukan orang tuanya. Kali ini ia tak disiksa, tapi ia menyaksikan pertengkaran menjelang perceraian. Mengingat masa dimana akhir dari sebuah keluarga.
Sayangnya, alih-alih ingin tidur nyenyak, ia terbangun lagi dan lagi. Trauma trauma itu seolah berkumpul dan menyerang gadis itu. Dari jam 3 dini hari tadi hingga jam 5 pagi, trauma itu rutin mendatanginya dalam mimpi, se-jam hingga se-jam lagi, se-pil hingga se-pil lagi, seteguk hingga seteguk. Muak dengan itu semua, gila, dia menelan semua pil penenang dan obat tidurnya, berharap semua mimpi buruk itu lenyap dan enyah dari hadapannya. Mimpi-mimpi itu memang benar lenyap dan enyah, sekalian dengan nyawa. - Gubrak.. gadis itu terjatuh, badannya lemas akibat overdosis, kesehatannya mulai kritis dan memerlukan perawatan medis. Namun, hari masih terlalu pagi, keluarganya masih tertidur. Mengingat bahwa ia hanya tinggal berdua dengan neneknya, tak mungkin bila ia mendapat perawatan medis dengan segera.