webnovel

Hello, Capt!

Kapten Satria Raghatajasa, Nahkoda tampan yang tidak mengetahui apapun selain berlayar, mendapatkan kabar buruk bahwa rumah miliknya secara paksa akan dijual oleh sang nenek lantaran kesal cucunya itu tak pernah memiliki waktu untuk sekadar berkunjung. Sharazea, bekerja sebagai Editor novel romansa —yang justru sulit menjalin hubungan dengan orang lain— ditipu hingga mau tak mau menjadi seorang gelandangan dalam semalam. Memulai kehidupan baru bersama orang asing atas alasan tak masuk akal, perjanjian kontrak demi sebuah tempat tinggal. "Seorang pakar sosiologi mengatakan, orang menikah atas alasan tertentu. Salah satunya, mereka dapat keuntungan dibanding hidup sendirian. Jadi, aku menyetujuinya." "Menyetujui untuk menikah dengan saya?" Dua orang yang memutuskan menikah karena sebuah kebutuhan, bak simbosis mutualisme. Satria yang kebetulan mencari seseorang untuk merawat tempat tinggalnya selama ia bertugas, dan Sharazea yang sulit menolak tawaran setelah insiden kehilangan rumah, tak punya tujuan harus kemana. "Bagian pertama dari hubungan kami memang tak ubahnya hanya pernikahan di atas kertas perjanjian. Tapi aku ingin bagian kedua kami adalah cinta." Keinginan untuk dapat terus tinggal bersama, rasa kasih yang mulai tumbuh secara diam-diam dihati keduanya, bisakah mimpi menjadi sepasang dapat diwujudkan oleh mereka? Ujian pernikahan, sampai kegagalan dari menjalin hubungan, dapatkah perasaan cinta diantara keduanya sanggup menggugurkan kontrak yang mengharuskan mereka berpisah setelah dua tahun melewati hari-hari bersama? "Karena aku mencintaimu, itu sebabnya aku memilih menikah denganmu. Karena itu kamu, tidak ada alasan lain."

Paussbiru02 · Urban
Zu wenig Bewertungen
15 Chs

Angel's Heart

Gadis yang melihat semua kejadian action secara langsung bak seperti menonton pertunjukan mematikan itu menutup mulutnya yang hendak berteriak.

"A-astaga!"

"A-aku. Aku ingin meninggalkan tempat ini. T-tetapi bagaimana caranya?"

Ia tak bisa berkata-kata apapun. Langkahnya terus mundur, mencoba bersembunyi. Baik dari si 'begal' atau 'pahlawan yang terlihat berbeda' itu. Kejadian yang saat ini sedang ia saksikan benar-benar menakutkan. Ini membuat kedua lututnya melemas, bukan waktu yang pas untuk pingsan di tempat begitu saja.

Benar, para pria yang sedang terlibat dalam perkelahian itu membuat jantung Zea berpacu lebih cepat dari biasa. Hidupnya sudah terlalu berat untuk menyaksikan hal-hal yang nantinya akan mendatangkan keburukan serta kembali menyulitkannya, misalnya pertumpahan darah.

Melihat kedua anak buahnya yang tepar begitu saja, membuat 'gendut' —Zea memanggilnya begitu- dilihat dari tubuhnya yang penuh lemak merasa tak terima. Ia kembali meraih balok kayu yang sempat dilepaskan, berniat menyerang sang pahlawan.

"Terima ini, bajingan!" sebelum mengayunkan kayu, gendut sempat berteriak marah. Namun tangan yang terlihat kekar itu ternyata lebih cepat, bukan balok kayu yang berhasil memberikan luka, bogem mentah justru didapati si gendut yang tak berdaya.

Pria yang menyelamatkan nyawa Zea itu memelintir tangan pembegal yang sudah tak berdaya itu dengan kuat, menindih badan gemuknya. Taktik yang bagus melihat ukuran badan mereka yang, ya, sedikit berbeda.

"Jika saya pelintir lagi ...," tangannya masih sibuk memberikan pelajaran kepada sosok berdosa di hadapannya, "Maka kau mungkin akan lumpuh." bisiknya, masih asik tersenyum di tengah penderitaan para begal yang tlah dibuat kesulitan olehnya itu.

"Asal kau tau saja, saya tak masalah dipenjara untuk beberapa bulan. Saya tidak keberatan. Sungguh."

"Tapi masalahnya ada di kau." menjeda kalimatnya, caranya bicara benar-benar membuat orang lain merasa gemetar, padahal pria itu memiliki suara yang indah, "Kau mungkin akan mengalami cacat seumur hidup. Bahkan setelah keluar dari tahanan, kesulitan itu tidak akan pernah meninggalkanmu kita saja." tukasnya, terkekeh pelan. Dingin, mungkin itu menjadi salah satu alasan mengapa aura yang ditunjukkan oleh pria

Begitu santainya.

Tidak ada raut wajah ketakutan sedikitpun, ini seperti sesuatu yang sangat mudah untuk diselesaikan olehnya

"Apa kau tak keberatan?"

"Sepertinya kegiatan ini mulai mengasikkan, untuk saya. Jadi, jika memang setuju, maka akan kita mulai. Katakan mau bagian mana yang hilang lebih dulu?!" imbuhnya sembari terus menguatkan putaran tangannya.

"To-tolong lepaskan!" lirih pembegal dengan kesakitan. Karma selalu menimpa mereka yang melakukan tindak keburukan. Akan tetapi Zea tak mengetahui bahwa karma para penjahat itu akan secepat itu.

"L-lepaskan! Kamu berjanji tidak akan mengganggu wanita ini lagi dan orang-orang lain. Tapi tolong lepaskan kami dan biarkan kami pergi dari sini."

Seolah tidak mendengarkan dan bersikap acuh dengan setiap kalimat yang dilontarkan oleh para penjahat itu -seperti apa yang sebelumnya mereka lakukan tatkala sang gadis lugu meminta belas kasihan untuk dilepaskan, pria bak pahlawan itu memberikan pelajaran yang berharga bahwa setiap tindakan yang kita lakukan pasti akan mendapatkan balasan yang di masa depan

"Orang seperti kalian ini baru akan kapok bila lumpuh total." ulang si pahlawan seakan sengaja membuat para lawannya ini semakin menderita. Memanas-manasi dengan kelemahan dan kekalahan adalah hal terburuk dari mereka yang merasa kuat.

"Bagaimana, apa bisa kita mulai?"

"Hentikan!" diantara ketegangan yang sedang terjadi, suara merdu seorang gadis hadir tetiba-tiba dengan nada gemetarnya.

"Aku mohon hentikan. Mereka takkan mengganggu lagi. Jadi lepaskan saja." pintanya, yang sukses dihujani tatapan tak percaya dari sang pahlawan.

Untuk yang pertama kalinya, mata tajam itu menatap pada gadis yang jujur saja tak ia sadari keberadaannya sedari tadi. Pria itu terlalu sibuk bertarung dan melesatkan pukulan ini dan itu hingga tak menyadari bahwa ada orang lain yang sedang menyaksikan tindakannya itu.

"Aku mohon, lepaskan mereka. Mereka tidak akan bisa melawan dengan luka yang kamu buat. Itu ... Sudah lebih baik. Cukup, tidak perlu sesuatu yang lebih buruk."

Seringai singkat diberikan pria yang tlah berhasil menyelamatkan Zea tersebut. Sorot matanya tajam, seperti takkan melepaskan Zea setelah berkata demikian. Dari matanya seakan mengeluarkan sinar cahaya yang begitu memikat.

Cahaya.

Cahaya asing yang terlihat begitu berbeda.

"Nona, saya akan bertanya sekali lagi, dan tidak akan mengulangi kalimat yang sama. Saya takut apa yang saya dengar tadi keliru, apa benar mereka tidak mengapa jika saya lepaskan?"

"Um?" Zea gelagapan, ketika ditanya tentang keinginannya gadis itu merasa tidak memiliki kekuatan untuk menjelaskan.

Matanya melirik ke segala arah, mencari cara agar menemukan sebuah ide untuk tidak menjadikan kalimatnya sebagai kesalahpahaman, "Um, itu. Maksudku. Aku benar-benar berterima kasih karena kamu telah menyelamatkanku. Hanya saja —"

Bola matanya, jemari yang sengaja ia kepal terlihat gemetar, Zea bersumpah ia tidak pernah merasa takut sebesar ini sebelumnya, "Aku tidak ingin jika mereka sampai di hukum secara berlebihan. Cukup biarkan mereka pergi dari sini"

Malam begitu capat, suasana hening semakin kentara. Rembulan yang bersinar dengan terang, serta beberapa bintangnya yang menghiasi langit malam begitu terpadu secara sempurna. Menambah kesan hari mulai sampai pada puncaknya.

Pada kehidupan yang indah ini, sayang sekali bila seseorang tidak dapat dengan benar menikmati apa yang telah diberikan sebagai anugerah dari ciptaan-Nya. Sebab pada begitu banyak hal yang patut disyukuri setiap hari, seolah tidak akan habis meski telah berkali-kali menimbulkan perasaan bahagia tak tertandingi.

"Baiklah, apa yang bisa saya lakukan ketika sosok yang saya selamatkan justru meminta pengampunan untuk orang-orang yang hendak menyakitinya?"

Setelah para begal dan perampok itu berlari dengan kecepatan penuh meninggalkan mereka berdua, setelah dilepaskan begitu saja tanpa diberikan hukuman yang berarti, kini tinggalah dua pasang manusia, asing. Suasana dengan cepat berubah menjadi sangat canggung.

"T-terimakasih. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika tidak ada dirimu, " menjeda dengan ragu, "Orang lain bisa saja bersikap acuh dan tidak peduli, tetapi kamu justru memutuskan untuk membantu ketika mereka semua bertindak jahat padaku." tutur Zea, ia berusaha untuk mengungkapkan isi hatinya dan rasa terima kasihnya dengan tulus.

"Aku berjanji tidak akan melupakan bantuanmu. Semoga di manapun kamu berada, semesta selalu membalasnya dengan menjagamu."

Benar, di dunia yang semakin lama semakin hilangnya rasa simpati kepada orang lain, tentu saja menemukan orang-orang baik seperti pria itu merupakan hal yang cukup sulit. Bahkan bukan sebuah ketidakmungkinan ada yang juga menyaksikan Zea, tetapi memilih untuk menutup mata dan telinga kemudian berlalu begitu saja.

Tetapi, lupakan.

Zea bersyukur semesta telah memberikannya kesempatan untuk hidup sekali lagi lewat kehadiran pria itu.

Sedari tadi yang terus bicara adalah Zea, ia tidak menyadari bahwa lawan bicaranya tersebut terus saja mendengarkan dan menunggu waktu yang pas untuk secara resmi berkenalan kembali kepadanya.

"Kita bertemu lagi, Zee. Kali ini, apa lagi lagi karena sepatu kaca?"