webnovel

HE IS MY PRINCE | 8

Ih gue gak abis pikir deh, masa nilai tugas matematika gue dapet delapan. Dan Incess yang nyontek gue bisa dapet sembilan!" umpat Aruna masih kesal dengan nasibnya.

Streta masih diam melamun, tak mendengarkan apa yang sedari tadi kelima sahabatnya bincangkan. Ia justru sibuk memikirkan pria yang dia temui di toilet tadi pagi? Siapa dia?

"Ncess, Incesss kenapa lo budeg banget si!" panggil Maura kesal. Membuat Streta terkejut, lantas menatap kesal aksi Maura yang memanggilnya dengan volume cukup keras. "Ih brisik banget si lo pada! Gue gak budeg kali. Apaan si?" tanyanya sedikit sewot.

Aruna menunjukan tugas matematikanya pada Streta. "Kok tugas lo bisa dapet nilai sembilan si?! Lo kan nyontek gue?" tanyanya menginterupsi.

Streta malas membincangkan hal itu sebenarnya. Ia memejam. "Tadi pagi gue nyonteknya lagi pake otak, jadi jawaban lo yang gue contek, gue pikir lagi deh." ungkapnya polos sekali.

"Kenapa lo gak bilang ke gue si?!" Mata Aruna melotot ke arah gadis itu. "Jahat lo, Ncess! Lain kali gue gak mau nyontekin lo lagi, titik!" ancam Aruna kesal.

Sungguh, kenapa juga Aruna harus mempermasalahkan nilainya kali ini? Lagipula dirinya juga sedang malas berdebat, pikirannya tengah kacau entah berpencar ke mana saja. Ia menatap Aruna kasihan. "Emangnya gue salah ya?" tanyanya pada keempat sahabatnya.

"Ogeb lo Ncess, udah jelas lo salah. Masih gak ngaku juga!" sahut Glea ikut geram.

"Tau tuh Incess, jahat banget ya gak si?!" Kali ini ditambah oleh argumen Aline, menjadi pelengkap bagi Streta yang kini merasa disudutkan.

Streta mendesah pelan. Kenapa juga semua orang mengira dirinya salah kali ini? Bukannya bagus jika kali ini dia mencontek sambil berpikir? Itu artinya kinerja otaknya akan berkembang dengan perlahan. Dan untuk masalah dia tidak mengatakan akan kesalahan yang Aruna ciptakan, itu tanpa disadari tidak sengaja terjadi. Dia juga lupa, mengapa dia bisa benar akan itu?

"Gue gak bilang karena gue juga gak yakin sama jawaban gue, Na." jawabnya jujur. "Makannya gue diem aja, lagipula itu bagus kan buat ngelatih rasa percaya diri lo. Tapi, kalau kalian pada nganggep gue salah. Gue minta maaf." sambung Streta lantas pergi dari kerumunan itu, entah ke mana.

"Incess marah?" tanya Aline pada keempat sahabatnya itu. Sementara yang ditanyai hanya menggeleng, tanpa pedulikan sikap Streta barusan. "Ya udah si, ntar juga baik lagi." sambung Aline lagi.

-0o0-

Streta pergi ke kantin untuk menenangkan hatinya yang kini tengah bergejolak. Bergejolak bukan karena soal asmara, melainkan perdebatan tadi. Ia memesan smoothies leci andalannya, serta sepiring siomay Kang Jaka yang baru-baru ini hadir menghias kedai sekolah.

"Ini siomaynya Neng, apa ada pesanan lain?" ucap Kang Jaka yang baru saja mengantarkan pesanan siomay milik Streta. Gadis itu menggeleng, lantas berterima kasih.

Ia menatap malas kedua hidangan yang ada di di hadapannya. "Kenapa si mereka gak nyusulin gue?!" ungkapnya kesal. Streta mengecek ponselnya, mungkin mereka

mengutarakan sesuatu di grup chat. Namun nihil! Oh berapa jahatnya mereka? pikir Streta.

Suasana kantin memang selalu ramai begini, bangku kantin pun penuh sana-sani. Tak terkecuali bangku yang Streta tempati, kini masih ada yang kosong. Karena kali ini dia sendiri, tak seperti biasanya yang selalu terisi oleh sahabatnya itu.

Seseorang itu lagi, pria itu lagi. Sungguh menyebalkan sekali?! Kenapa dia harus duduk di hadapannya kali ini? Streta menatapnya sinis. "Lo ngapain duduk di sini?!" ucap Streta marah.

Pria itu hanya menatap Streta sekilas, lalu membuang tatapan itu lagi. Ia justru sibuk menyantap bakso dengan kuah yang masih mengepul.

"Lo gila!" Streta beranjak dari tempatnya, tak sudi menatap pria yang dia rasa sangat menjengkelkan baginya.

Dengan sigap pria itu menggenggam tangan Streta, berusaha mencegah kepergiannya. "Lo mau ke mana?" tanyanya.

Streta mengerang kesal. Genggaman tangan pria itu sungguh kuat sekali, dan membuat tangannya kesakitan. "Bukan urusan lo, lepasin tangan gue gak!" sambungnya.

Pria itu ikut bangkit, berusaha mengimbangi kekuatan tangan Streta yang terus memaksa lepas. "Lo kenapa si? Tadi pagi lo gak begini perasaan." ungkapnya. "Oh ya siapa nama lo? Stella ya?" kata pria itu berusaha menebak.

"Streta, lo pikir gue merk pengharum ruangan apa?!" jawab Streta akhirnya. Membuat pria itu terkekeh. "Oh iya Streta, sorry gue lupa. Lagian nama lo sulit dilafalkan."

Streta menarik napasnya panjang, lantas kembali duduk. Males lama-lama dia berdiri di tengah keramaian ini. "Lo orang ke seribu yang bilang begitu!" katanya, masih terdengar ketus. "Makannya orang-orang lebih suka manggil gue Incess," sahutnya.

"Incess? Kok bisa?" Pria itu mulai penasaran.

Streta diam sebentar. "Karena gue emang dilahirkan buat jadi seorang princess. Gimana? Lagian gue juga udah memenuhi persyaratan kok untuk menjadi seorang princess." jawabnya lagi.

Pria itu menganggukkan kepalanya naik turun tanda mengerti. Memang terdapat semacam wacana yang menyatakan bahwa siapa saja berhak menyatakan dirinya sebagai princess dan prince di sekolah ini, tentu saja dengan persyaratan yang ada. Wacana yang tidak masuk akal? Mungkin, tapi hal itu ada. Dasar sekolah zaman sekarang, ada-ada saja.

"Kalau gitu siapa prince di angkatan lo ini? Udah ada yang mengajukan diri kayak yang udah lo lakuin itu?" tanya pria itu lagi.

Streta menggeleng. "Tapi gue udah punya calonnya."

"Siapa?"

"Lo gak boleh tahu, privasi!" cibir Streta masa bodoh.

Pria itu mengeluarkan sebatang rokok dari saku baju seragamnya, lalu mulai menyalakan dengan korek api dengan santainya. Streta yang melihatnya merasa muak, ia tak suka pria perokok! "Bukannya syarat menjadi seorang princess di sekolah ini harus ramah dan sopan ya? Kan dia bakal jadi teladan bagi seluruh siswa -siswi sekolah ini." ucap pria itu, menatap indah bola mata Streta.

"Gue tahu, dan gue udah nglakuin hal itu kok!" sambung Streta.

Kini kepulan asap rokok milik pria itu mulai membumbung tinggi. Membuat Streta tak segan untuk menutup hidungnya.

"Lo gak sopan ke kakak kelas, Ncess! Masa daritadi lo panggil gue tanpa embel-embel 'Kak' atau sejenisnya? Gue itu senior lo, jadi lo harus sopan." sindirnya.

Streta tak tahan berada lama-lama di tempat duduk yang kini penuh akan kepulan asap rokok itu. "Lo bisa gak berhenti ngrokok! Ini sekolahan bukan tempat clubbing!" gertak Streta yang mulai merasa kesal.

"Aturan mana yang menyatakan kalau merokok itu cuma boleh di tempat clubbing aja? Gak ada kan?" Ia tersenyum menimpali perkataan Streta barusan.

"Gak ada, tapi di sekolah ini ada peraturan yang menyatakan bahwa siswa di sini gak boleh merokok!" tegas Streta lagi. Ia mulai geram menasehati pria yang sepertinya mulai menunjukan aura tidak warasnya. "Lo bener-bener gila ya?!" ungkap Streta kesal.

Streta lantas pergi, ia ingin menemui Pak Bro, guru BK laki-laki yang paling galak. Streta harap dia segera menemuinya, karena Pak Bro adalah guru yang sulit untuk ditemukan.

"Pak Bro!" ucap Streta mendapati kehadiran Pak Bro yang tengah melintas tak jauh dari arahnya berjalan.

Pak Bro menyahut, lalu menyahut uluran salam Streta. "Ada apa?" tanyanya.

"Anu itu Pak, ada anak kelas dua belas yang ngrokok seenak jidat di kantin!" jelas Streta jelas.

Pak Bro diam sejenak. "Siapa namanya?"

"Maaf Pak saya tidak tahu, tadi belum sempat kenalan." sahut Streta tetkekeh dibuatnya. "Mending sekarang Bapak ikut saya ke TKP aja ya."

-0o0-

Streta berhasil menyeret Pak Bro ke TKP pada akhirnya. Dan syukurlah, pria itu masih dengan nikmatnya menghisapi barang rokok itu satu persatu dengan santainya.

"Itu Pak yang saya maksud!" tunjuk Streta kemudian.

Pria itu lantas tersenyum, tak menyangka jika aksinya ini akan benar-benar terjadi. Dan berhasil.

Pak Bro menghela napasnya dalam. "Jadi kamu lagi yang udah buat kerusuhan ini?! Bapak sampai bosen ngadepin kamu. Gak pernah kapok!"

Streta mengernyit, jadi pria ini mantan narapidana begitu? Pantas saja nakal. "Jadi dia sering bikin onar si sekolah ini ya Pak?" Kok gue gak tahu? gumamnya lirih.

"Berkali-kali, Bapak saja sampai bosen mengurusnya." ucap Pak Bro mengakui kebenarannya. "Sekarang juga kamu ikut Bapak ke ruang BK, Ken! Bapak akan kasih kamu hukuman sekarang juga!"

Pria itu langsung bangkit dari tempatnya. "Sekalian sama princess sekolah ini gak Pak?"

Pak Bro menurunkan sedikit kacamatanya. Ia menatap muridnya tak percaya.

"Memangnya sudah ada princess yang mau disandingkan sama kelakuan buruk kamu!"

"Ada." jawab pria itu mantap. "Dan orangnya ada di samping Bapak."

Streta terperanjat dibuatnya. Begitu juga Pak Bro, ia sama halnya. "Dia memang princess, tapi berbeda angkatan sama kamu! Jadi berhentilah menyeret Streta dalam kasus ini!"

"Pak, dari sekian aturan ada yang menyatakan bahwa 'pasangan princess dan prince tak harus untuk satu angkatan, melainkan bisa juga untuk yang berbeda angkatan' benar bukan? Jadi, gak salah kan kalau aku mengakui dia sebagai princess ku kali ini?"

Pak Bro menghela napas tak berdaya. Itu artinya dia harus ikut menghukum Streta atas kasus muridnya yang satu ini. "Baiklah Streta kamu juga ikut saya ke ruang BK."

Streta masih tak mengerti atas semua ini. Ada apa? Ia melirik pria itu. "Kok gue ikutan si? Emang gue mau diapain?" tanyanya.

"Lo mau ikut dihukum karena gue, lo kan princess? Jadi seorang princess pun harus menerima resiko yang juga ditimpa prince, begitupun sebaliknya."

"Tapi gue kan bukan princess angkatan lo?! Mana bisa lo nyeret gue ke kasus ini!"

"Di tata peraturan ada, Ncess! Lo bisa baca setelah ini." katanya, lalu menarik tangan Streta menuju ke ruang BK. Ruangan itu lagi.

Streta berhenti melangkah. "Tunggu, kalau begitu, jadi lo prince?"

Pria itu tersenyum. Manis juga, mirip senyuman? Em siapa? Entahlah. Yang pasti senyumannya tak kalah jauh dari seseorang yang kini belum muncul di lahan memorinya. Pria itu kembali menarik tangan Streta, dan gadis itu? Entah mengapa dia merasa ikhlas saja menerima semua ini. Mungkin jiwa princess benar-benar sudah melekat dalam dirinya.

"Kenapa lo nglakuin ini?" tanya Streta di tengah perjalanan.

"Gue sengaja nglakuin kesalahan kali ini, karena gue tahu ini akan terjadi." jawabnya.

Streta masih tak habis pikir dengan pria itu. Dia melakukan kesalahan kali ini dengan sengaja? Dasar gila! "Lo gila! Memangnya hukumannya apa sampai lo sengaja ngelakuin ini semua? Apa itu menyenangkan?"

Pria itu menatap Streta dalam. "Seminggu ke depan kita bersama-sama akan selalu membersihkan semua toilet siswa, dan seminggu ke depan lo bakal berangkat bareng gue!" cibirnya lagi.

"Kok begitu? Yang kedua lo bikin hukuman sendiri ya?" terka Streta tak percaya.

"Lo pinter juga!" sambungnya lantas terkekeh.

Streta kemudian diam. Memikirkan kejadian ini. "Apa yang dia inginkan dari gue? Dan kenapa?" batinnya.