webnovel

HARTA KARUN KEHIDUPAN

Kehidupan tenang, nyaman, dan damai yang selama ini berlangsung dapat berubah menjadi sangat kacau dalam seketika. Hal yang sama sekali tidak pernah terpikirkan bisa saja memasuki kehidupan dan mengubah segalanya. Begitulah kenyataan yang terjadi pada kehidupan Garini Anastasya dengan Dinara Aditama, yang ternyata adalah dua anak yang tertukar dengan kehidupan yang berbanding terbalik. Garini atau yang biasa disebut Tasya, kehidupannya begitu sederhana. Ia adalah seorang penulis biasa yang hidup bersama seorang kakak laki-laki yang bekerja di bengkel dengan gaji yang bahkan hanya cukup untuk makan sehari-hari. Berbeda dengan Dinara yang hidup bergelimang harta. Pesta pora dan foya-foya adalah hal yang biasa baginya. Sebuah fakta mengejutkan mengenai warisan dari keluarga Aditama membuat kehidupan Dinara terusik. Ada yang harus dipertahankan, serta ada pula yang harus direbut. Kejadian mengerikan mulai terjadi saat Tasya dan Dinara berusaha untuk mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan. Kelompok orang lainnya, rupanya menjadi dalang dan monster yang sesungguhnya yang membuat semua masalah ini bermula dengan pengorbanan nyawa. Bagaimanakah kisah Tasya untuk kembali mendapatkan apa yang menjadi hak milik ayahnya dan dirinya? Apakah kedua putri yang tertukar itu akan menerima nasib mereka kembali? *Ikuti kisahnya dalam novel ini ^,^ *Jangan lupa berikan ulasan, komentar dan dukungan batu kuasanya yaaa ^,^

snaisy_ · Teenager
Zu wenig Bewertungen
15 Chs

Hari Baru

"Pagi, Dinara sayang …," sapa seorang pria paruh baya dengan pakaian formalnya yang rapi dari meja makan.

"Pagi, Om. Kapan pulang?" sapa balik perempuan muda yang baru turun dari tangga. Pakaian formal yang nampak sama dengan yang dikenakan oleh omnya itu sangat cocok dengan tubuh mungilnya yang juga membuatnya terlihat semakin anggun dan elegan.

"Dini hari. Cuaca buruk membuat penerbangan tertunda dua jam, ahh kendala memang tidak terduga," ujar Om Satrio lagi.

Dinara, yang kali ini mengikat rapi rambut panjangnya menanggapi kisah omnya itu dengan tawa ringan. "Aku juga sangat membenci penundaan penerbangan deh, Om. Haha. Aku inget banget saat pertama masuk kuliah ke New York, cuaca buruk dan kendala apa gitu di bandaranya alhasil aku telat dan itu kenangan terburuk sih."

DInara bersiap untuk makan. Dia nampak sedikit mencari-cari diatas meja, hingga akhirnya dia memanggil pelayan dan meminta gelas untuk minumnya.

"Om tadi malam mampir untuk menjenguk ayahmu," uar om Satrio membuat Dinara menatapnya sejenak.

"Dia terlihat baik dan tampan. Aku yakin dia akan segera sadar," imbuhnya.

Dinara menarik napas panjang, lalu dia tersenyum. "Dia selalu tampan, 'kan? Aku sangat berharap ayah bangun saat usiaku genap dua puluh lima."

"Itu dua bulan lagi? Kurasa dokter akan melakukan yang terbaik untuk kita."

Dinara mengangguk. "Sepuluh tahun merayakan ulang tahun sendirian, itu menyedihkan."

"Sendirian? Hey… kamu tidak menganggap Om dan kakek juga semua orang yang membuat pesta untukmu?" sahut Om Satrio dengan suara agak tinggi.

"Tidak, Om. Bukan begitu. Aku hanya merindukan ayah dan ibu," ucap Dinara lirih.

Om Satrio lalu tersenyum, dari kursi yang cukup berjarak dia hanya menatap ponakannya dengan lembut. "Percayalah dengan keajaiban, Dinara. Ayahmu pasti akan kembali untuk putri cantik kesayangannya."

Dinara hanya mengangguk. Dia lalu menuangkan air minum dengan gelas yang baru diberikan oleh pelayan.

Dia lalu menyodorkan satu untuk Om Satrio, namun sayangnya tangan Om Satrio terpleset sehingga membuat gelas yang hendak diambilnya malah tersenggol hingga terjatuh.

Gelas pecah dan berserakan diatas lantai. Hal itu membuat Dinara terkejut dan spontan dia berdiri untuk selanjutnya membersihkan pecahan gelas.

Pelayan membantu, namun kembali disayangkan karena jemari perempuan itu terluka hingga berdarah. Dia segera mengelapnya dengan tisu dan meminta pelayan untuk menyelesaikan semuanya.

"Apa itu baik-baik saja?"

"Emm, aku hanya terkejut karena terlalu lama tidak terluka seperti ini," jawab Dinara sedikit menyeringai.

Om Satrio mengangguk. Dia lalu memerintahkan pelayan untuk membereskan hingga benar-benar bersih lalu berpamitan untuk pergi ke kantor terlebih dulu.

"Kalian bisa membereskannya, 'kan?" ujar Om Satrio pada seorang kepala pelayan di rumah itu, Bik Rus mengangguk paham dan segera melakukan tugasnya.

"Om berangkat pagi? Kukira pertemuan bisnisnya jam siang," ujar Dinara yang baru saja membalut jemarinya dengan kain kasa.

"Ada rapat dadakan karena sedikit masalah kemarin. Kamu berangkat siang?"

"Tidak, hanya setelah selesai sarapan dan dijemput Yunan," sahut Dinara dengan senyuman malu.

"Yunan Baskara? Ah kalian memang sangat serasi. Putra bungsu Greensoft Property dengan Dinara Aditama, milyarder muda yang sangat bertalenta." puji Om Satrio sebelum akhirnya berangkat. Senang sekali dia membuat keponakannya tersipu tiap kali membahas tentang kedekatannya dengan Yunan.

Hanya berselang beberapa menit, sebuah mobil berwarna hitam berkilau terparkir di depan rumah mewah keluarga Aditama. Seorang pria berperawakan tinggi dengan potongan rambut cepak dan berpakaian rapi turun dan menjemput nona muda yang baru selesai sarapan.

Dari penampilan, keduanya sangat serasi. Terlebih saat Yunan memperlakukan Dinara dengan sangat baik, hal itu membuat hati siapapun yang melihatnya seketika merasa hangat.

Di tempat lain, di sebuah rumah sederhana di sebuah desa bernama Kedung, desa yang berjarak tidak begitu jauh dari pusat kota, seorang pria dengan perawakan tinggi dan berambut gondrong sedang membasuh motor besar 250cc kesayangannya di halaman depan.

Sesekali dia bergumam, menyanyikan sebuah lagu yang sama sekali tidak terdengar jelas. Detik berikutnya dia lalu mengajak ngobrol motornya itu, jelas terdengar seperti dia sedang bicara dengan seorang teman.

"Kita akan perjalanan jauh hari ini, Sayang. Apa kamu sudah siap?" gumamnya. "Ahh cantik, kesayangan … lalala."

Sesekali dia memukulkan kanebo pada spion dengan sedikit gerakan atraktif.

"Aww pemandangan yang membuatku tidak ingin makan," celetuk seorang perempuan yang baru saja keluar dari rumahnya dengan membawa dua mangkok makanan hangat.

Tristan, pria yang baru saja berbasah-basah karena membasuh motor itu segera berbalik badan dan menyeringai.

"Ahh apakah itu Inamie dengan telur mata sapi?" segera saja dia menghampiri adik perempuan yang hanya menggeleng saat memandanginya.

"Emm … aku akan masak asam manis ayam untuk siang," jawab sang adik santai.

"Bagaimana hubunganmu dengan Jine? Masih berlanjut? Kapan berakhir?" tanya Tristan.

"Aku bahkan belum mulai menulis," sahut Tasya, sang adik perempuan yang berambut ikal diwarna kemerahan.

"Bukankah ini sudah tiga puluh hari? Kamu bilang hanya dua puluh hari, 'kan? Kamu mulai benar-benar mencintainya?"

Tasya menggeleng. "Kakak tahu aku tidak pernah berteman baik dengan lawan jenis selama lima tahun terakhir. Aku sulit menyesuaikan diri, bahkan aku tidak tahu bagaimana 'cinta' itu."

Tristan menatap adik perempuannya. Mie instant segera dimakannya dengan kalem. "Kalau begitu berhentilah. Jangan menyiksa dirimu dengan hal yang membuatmu tidak nyaman. Lagipula sejak awal aku sudah bilang kalau bocah itu belum cukup umur, dia mana bisa menjalani hubungan yang kamu harapkan akan menjadi cerita yang menarik untuk novelmu," ujar Tristan panjang lebar.

"Emm … itu tawaran yang bagus. Sangat sayang jika dilewatkan," ucap Tasya.

"Berapa juta kontrak yang mereka tawarkan untuk membeli rasa 'takut'mu itu?"

Tasya terdiam.

"Aku sarankan kamu berhenti saja, Sya. Menulislah sesuai dengan passion-mu, dengan selera dan dirimu sendiri. Tidak perlu mengejar 'pasar' jika itu membuatmu tidak nyaman dan tersiksa."

"Jika aku berhasil menyelesaikannya, aku bisa membantu kakak membuka showroom motor lagi."

Deg.

Tristan berhenti makan. "Hey! Jangan memikirkanku! Aku sudah menemukan jalanku sendiri! Tugasku untuk menjaga dan mengurusmu, bukan sebaliknya!"

"Kakak juga ingin menikah, 'kan? Aku bisa membantumu untuk memenuhi permintaan kedua orang tua kak Maya," imbuh Tasya.

Tristan menarik napas panjang. Dia meletakkan garpu agak kasar hingga berdenting nyaring dengan mangkok.

"Kakak sudah banyak membantuku, jadi aku mau membantumu juga."

"Tasya dengar. Aku adalah kakak laki-lakimu. Tugasku adalah menggantikan posisi almarhum ayah juga ibu. Aku bisa mengurus diriku sendiri dan aku akan menentukan jalan untuk hidupku sendiri." Tristan menarik napas lagi. "Kamu … carilah kebahagiaan untuk dirimu sendiri. Jangan biarkan kamu tersakiti karena aku tidak akan memaafkan itu. Apa kamu paham?"

Bersambung