webnovel

HANYA AKU UNTUK DIA

RATE 20+ Ada adegan dewasa [mohon BIJAK dalam memilih bacaan] Lima tahun kurajut renda kasih dengan seorang pemuda dan tidak pernah ada problematika. Dia selalu sabar dan mengalah terhadap aku (manja dan kekanak-kanakan), aku anak semata wayang. Panggil aku Inez ... Inez Prita Yulivan. Ketika dia membicarakan hubunganku secara serius dengan orang tua, kukira mereka setuju karena selama ini kami tidak ada pertentangan, namun semua keliru. Tanggapan orang tuaku adalah MENOLAKnya, hanya karena sepekan lalu Ayah bertemu seseorang. Bagaimana aku akan melanjutkan kehidupan dan kisah cinta kami? Aku dipaksa ayah menikahi pemuda yang memiliki masa lalu kelam, namun kaya. Pada akhirnya aku ingin dihamili kekasihku ... Agar mereka berubah setuju. Pergolakan bathin .... pemberontakan diri .... Lika-liku untuk memperjuangkannya ... Semua tercurah disini, belum lagi saat persabahatan di guncang dilema cinta. Aku tetap berharap, hanya dia yang menjadi jodohku di akhir kisah ini. HANYA AKU UNTUK DIA Anti Plagiat, Kejujuran akan berdampak pada Akhirat dan Duniamu.

Lika_FR · Urban
Zu wenig Bewertungen
442 Chs

31 Terkaget

INEZ POV

Aku membuka mataku dengan perlahan. Kepala ini masih terasa pusing dan berat. Dimana ini? Langit-langit diatas yang aku tatap samar-samar ini, seakan berbeda dengan atap rumahku. Aku membuka dan mengetipkan mata. Kulakukan berulang-ulang agar semakin terang pandanganku. Benar saja, ini bukan rumahku! Dimana ini? Ranjang siapa ini? Terbelalak mataku saat menyadari ini bukan rumahku! Bagaimana aku bisa sampai disini?

"Kamu sudah bangun?" sapa pria dengan suara ngebass di sisi dekat pintu. Aku langsung menoleh ke arah dia yang bersuara itu. Aku memekik karena terkejut,

"KAMU???!"

Royan! Bagaimana mungkin? Apa yang terjadi? Kata dalam bathinku. Mataku melotot seperti melihat maling, bertanya-tanya dan mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum ini?

"Apa yang tejadi? Aku kenapa? Bagaimana

aku bisa disini?!" cetusku kepada dia.

Dia segera mendekat ke arahku, menyeret satu kursi yang tak jauh dari ranjang yang aku tiduri ini, duduklah dia sambil menjawab pertanyaanku. Aku hanya sambil menahan geram. Dia mengatakan kepadaku bahwa aku ditemukan salah satu warga di sawah yang hendak melihat kondisi tebunya, dalam keadaan pingsan dan aku sudah tergeletak disana, memang iya ... Aku teringat terakhir aku menuju ladang tebu, tempat kesukaanku itu. Aku menjerit dan menangis sekencangnya tadi, lalu tiba-tiba aku merasa lemas tak ada tenaga dan aku sudah tak ingat lagi apa yang terjadi kemudian.

Aku bisa sampai di sini adalah karena warga itu mencari Handphone-ku, lalu berusaha menghubungi keluargaku, karena panggilan terakhir dan yang teratas adalah nomor Royan, maka nomor itulah yang di telfon Bapak yang menemukanku.

"Kamu ingat, kan? Aku yang menyimpankan nomorku tadi di Handphone-mu? Jadi nomorku yang tertera paling atas di panggilan, tadi aku misscall nomormu. Aku pun memutuskan untuk langsung menjemputmu. Maunya aku bawa ke Rumah Sakit, tapi Mama bilang ajak kamu ke rumah dulu. Kalau perlu perawatan lebih, baru nanti kita antarkan ke Rumah Sakit," urainya kepadaku.

"Kenapa aku tak kamu antar ke rumah saja? Lagipula lebih dekat daripada kesini," protesku masih tetap tak mau menatapnya.

"Pikirku, kan sudah malam? Lagian nanti apa yang dilakukan ayahmu jika tahu kamu malam-malam ke sawah sendirian? Kalau aku bawa pulang, aku bisa berpikir dulu apa yang akan aku sampaikan ke Ayahmu."

"Harusnya tak usah begitu, aku bisa menjelaskan sendiri kepada ayahku," sesalku.

"Dalam keadaan pingsan? Kamu bisa menjelaskan sendiri?" bantahnya.

Aku terdiam sejenak.

"Siapa yang menggendongku?! Papamu atau

kamu?" Sargahku secara spontan.

Pertanyaan yang aku lontarkan terdengar aneh dan terlalu kocak mungkin, dia tak dapat menahan tawanya

"BUAHAHAHAHAHA!!!" Tawa sekeras yang Royan punya, ia luncurkan (seperti tawa si Atuk di Upin Ipin itu?)

"Unik ... unik, selera humormu bagus sekali, ya jelas akulah! Masak Papa, sih?" Royan menjawab sambil wajahnya merah menahan tawa, kedua pipinya menyembul udara karena menahan itu.

"Papa yang gendong kamu ya di sepak bokongnya sama Mama, lancang-lancang gendongin calon menantu? HAHAHAHAHA!" Lanjutnya diikuti terbahak-bahak lagi tawanya.

Aku sewot dan memalingkan muka, memang pertanyaanku salah ya? Apanya yang lucu?

Sementara di luar pintu aku dengar, Pak Ronald dan Bu Micellin berbisik-bisik mendengar tawa sekeras itu dari putranya, mungkin karena tidak dinyana tidak diduga, Royan hampir tidak pernah terdengar tertawa lepas semenjak kejadian yang menimpa dirinya itu. Dari yang aku dengar dari Mamanya itu.

"Dengar Pa, mereka sangat cocok ya? Humor apa yang mereka bahas sampai anak kita tertawa sebegitu kerasnya sampai terdengar di lantai bawah," gumam Bu Micellin kepada suaminya yang duduk disampingnya sedang menonton televisi bersama.

"Nah itu, aku mulai percaya akan pilihan anak kita. Mengenal watak wanita karena sudah banyak berjelajah. Aku rasa, Papa suka akan pilihannya," balas Pak Ronald kepada istrinya keras begitu, ya aku bisa dengar.

Dia masih terus tertawa dan belum juga berhenti. Entah mengapa aku bakalan lebih senang jika ditolong dan dibopong oleh Pak Ronald daripada Royan. Kalau Pak Ronald pasti menggunakan perasaan Ayah ke anaknya, tapi ... kalau Royan? Perasaan dia pasti kegirangan sekali menggendong aku. Huft!!! Lagipula, apa saja yang ia lakukan kepadaku di kamarnya ini selama aku belum siuman? Uh ... Benci harus jadi seperti ini?

"Aku mau pulang!"

"Ya, ya maaf ... Maaf ... Beneran sakit perut aku. Lucu sekali kamu. Sudah malam begini pulang?" tanyanya.

"Tidak apa. Aku minta jemput Liza, sahabatku

saja. Aku tak mau merepotkanmu." Sahutku.

"Istirahat saja disini. Mama pasti tak keberatan, senang malah. Aku telfonkan Ayahmu," tambahnya.

"Tidak Usah! Aku pulang sekarang saja, tak usah repot-repot." Aku buru-buru bangkit dari kasurnya.

"Aku calon tunanganmu, calon suamimu malah. Aku tak akan merasa direpotkan. Aku akan mengantarmu atau kamu mau diantar Papaku saja?! HAHAHAHAHA ...." Lagi-lagi ia tertawa keras-keras, sungguh menjengkelkan!!!

Aku ingin jauh dan pergi dari dia malah sekarang tidur di rumahnya! Di kamar ... Aku mulai menduga saja.

"Eh kamar siapa ini?" tanyaku curiga, jangan-jangan aku dibawa ke kamarnya.

"Kamarku lah, kamar siapa lagi? Masak kamar Papaku? Ihihihihi," jawab dia sambil masih meringis meledekku.

Maksudnya apa? Aku ditempatkan di kamarnya! Rumah sebesar ini pasti ada kamar tamu, aku kan tamu? Bukan anggota keluarga ini? Seenaknya saja membawaku ke kamarnya! Dasar orang kelakuan gak punya pikiran! Cari kesempatan dalam kesempitan!

Aku keluarkan ponselku dan mulai menekan tombolnya.

"Nelfon siapa?"

"Aku, kan sudah bilang, aku dijemput sahabatku!" jelasku ketus. Dia menyahut ponselku dan segera membaliknya.

"Aku yang akan mengantarmu, aku bisa jelaskan semua. Lagian Papa sama Mama pasti tidak akan suka calon menantunya ini malam-malam dijemput orang lain." sanggahnya.

Aku merasa sangat-sangat haus, selain karena menangis dan berteriak di ladang tebu tadi, perbincangan yang menguras emosi tadi juga karena pingsan yang membuat tenggorokanku kering, tapi aku tak mau meminta minum darinya. Aku tahan saja sampai rumah. Perlahan aku bangun dan segera kuturunkan kakiku. Aku berjalan dan melangkah menuruni tangga, kagetnya aku disambut dengan pelukan Bu Micellin.

"Ada apa sayang? Sampai pingsan disana? Itu tempat yang tidak aman untuk perempuan, malam-malam lagi, kamu tak boleh mengulanginya lagi," pesan Bu Micellin.

"Terima kasih Ma, hari ini aku mengalami hari yang berat," pungkasku singkat.

"Kamu sudah sehat Nez?" tanya Pak Ronald dan aku mengangguk saja.

"Royan antar Inez dulu, ya Pa? Ma?" pamitnya lalu berlalu pergi, diikuti oleh aku yang mengikuti jauh di belakangnya.

Ternyata saat aku masih belum siuman tadi, Royan duduk disampingku, menatapku lekat-lekat dan mengelus rambutku ... juga pipiku. Jangan sampai ia mengecupku ya! Aku tak RELA!! tak akan mau dan tak akan aku

memaafkannya. Titik!!!

segera dia memasuki mobilnya, lalu ia persilahkan aku masuk juga di pintu samping yang telah ia bukakan, saat sudah di dalam hendak berangkat menyetir.