Edited by Mel
Gordon dan beberapa orang yang berada di dalam berlari keluar, membawa senjata mereka. Membantu membuka jalan, sementara Nerda mengamuk memukul beberapa Orc jatuh ke tanah.
"Tak perlu membunuh mereka! Sayat saja sendi-sendi mereka!!"Teriak Hans. Kini ia sendiri tengah terkepung, namun ia membiarkan dirinya mengamuk, memukul orc yang mendekap dirinya, pukulan itu tepat mengenai wajahnya. Ia memukulnya entah berapa kali, hingga wajah itu hancur.
Empat tangan besar orc itupun kini melepaskan dekapannya, lemas dan terjatuh ke belakang.
Empat belas orang itu berlari, berusaha sekuat tenaga agar berhasil masuk ke dalam goa tempat Gordon dan paman Odel bersembunyi, sedangkan Hans terjebak di belakang mereka.
"Cepat! Pergi!" Teriak Hans, ia masih berusaha melesat maju bagai peluru, mengunci Orc pembawa seruling.
Orc itu pun mengangkat seruling yang ia pegang, kemudian helm tulang yang ia kenakan terbelah di tengah, menyingkap wajah penuh sisik.
Shaman!
Orc tidak terkenal karena penggunaan jiha melainkan karena kekuatan fisik mereka. Tapi bukan berarti tidak ada dari mereka yang menggunakan jiha.
Orc yang bisa menggunakan jiha memiliki kedudukan lebih tinggi di tiap-tiap suku bangsa orc. Mereka dikenal sebagai shaman, pengguna jiha yang berkomunikasi dengan arwah dan jiwa para binatang.
Ini buruk!
Tanah bergetar, bayangan hitam besar berlari ke arahnya. Hans merasakan dunia seakan berhenti, ia dihadapkan pada pilihan sulit, melarikan diri atau membunuh sang shaman.
"Mengapa tak melakukan keduanya?!" Pikirnya dalam hati.
Hans mengumpulkan jiha di kaki kanannya, kemudian menendang wajah sang Shaman, tepat di antara mulut dan hidungnya.
Brak!
Tubuh Shaman itu terlempar ke arah bayangan hitam, menabrak kepala sosok hitam besar yang berbentuk seperti triceratops.
Hans memanfaatkan momentum ketika kakinya beradu dengan kepala sang shaman untuk melarikan diri.
Beruntung empat belas orang napi lainnya berhasil melarikan diri, lima orang berdiri di mulut goa untuk menghalau Orc yang hendak masuk. Pertarungan sengit terjadi di sana.
Hans berlari secepat yang ia bisa, sesekali berseluncur dan berguling melewati kolong kaki para orc yang menghalangi.
Ketika ia sampai Abner terlihat panik dan kesal,"Hei kau tidak bilang goa ini buntu?!" Abner berteriak dan berlari keluar membawa pedang.
"Bagaimana kita akan bertahan, bila jumlah mereka terus bertambah seperti ini?" Ujarnya melanjutkan.
Orc terus bertambah, lima, sepuluh, hingga dua puluh Orc berkumpul. Mereka semakin liar akibat serangan Hans. Meski telak mengenai sang Shaman, namun tidak membunuhnya, membuat ia marah dan memanggil lebih banyak makhluk magis dan Orc untuk mengepung goa itu.
"Apa yang harus kita lakukan? Kita terjebak!" Abner berujar keras. Ia terus berusaha bertahan, menggunakan perisai kayu yang sebagian hancur untuk menghalangi Orc masuk. Beruntung celah goa itu tidak terlalu besar jadi jumlah Orc yang bisa menyerang mereka terbatas hanya dua atau tiga orc saja.
"Tch! Aku tahu seharusnya kita tidak mengikuti dia!" Cabbon mengeluh, meski dalam hatinya ia pun tak berani menyalahkan Hans karena kemungkinannya untuk selamat bila berjuang sendiri bahkan lebih kecil.
"Sudahlah! Setidaknya kita mati setelah menolong orang!" Celetuk Abner, kemudian berjalan semakin dalam menyusuri goa. Nerda menggantikan dia mempertahankam goa, suara teriakan para Orc terdengar jelas di telinga mereka.
Odel terlihat tegang, mereka semua menyadari bahwa yang membatasi mereka antara dinding terakhir dan kematian hanyalah dua orang yang berjaga di mulut goa atau Hans seorang.
Bila Hans gugur, tamatlah riwayat mereka. Jumlah mereka mencapai tiga puluh satu orang, termasuk Benaya. Bocah itu berdiri di belakang Hans sesekali menyerang seperti makhluk liar.
"Phuak!"
Hans memuntahkan darah, jihanya tidak tersisa lagi, cahaya terakhir di bintang kecil itu meredup. Hans hanya bisa menggunakan kekuatan fisiknya saja.
Serangan Orc makin terasa tak tertahan, Nerda dan Hans terpukul mundur dengan harga luka besar di kaki Hans, dan Nerda yang bersimbah darah.
Makhluk besar seperti triceratops itu berlari kencang, dan menabrakkan diri ke tubuh Nerda, meski ia membawa perisai kayu milik Abner ia tetap terluka oleh tanduk tajam milik makhluk itu.
Serpihan bebatuan berjatuhan di dalam goa, suasana menjadi begitu kelabu. Masing-masing merasakan tekanan yang cukup besar di tengah situasi ini.
Abner bergegas membantu, paman Odel tak kuasa menahan air mata. Ia bukanlah orang militer, ia seorang menteri dan pengajar, di situasi seperti ini ia tidak begitu berguna. Ia memandang tubuh kecil yang seharusnya masih seumur cucunya, punggung yang justru melindunginya adalah generasi penerus yang ia rasa bahkan belum cukup umurnya
"Sedikit lagi kami berhasil, namun kenapa nasib begitu kejam?"
Ia begitu sedih, mundur semakin dalam ke perut goa.
Namun ia kemudian tersentak, ia merasakan deru angin dari salah satu bagian goa. Meski tak ada celah yang jelas terlihat, ia merayap, mengais-ngais menggunakan tangannya.
"Tidak, mungkin kita tidak benar-benar kehilangan harapan!" Odel berteriak. Cabbon yang sedang berlutut, memendam kepalanya di antara kaki dan tangannya tersentak, mengangkat kepalanya dan melihat paman Odel.
"Apa maksudmu?!!" Tanya Cabbon, kemudian berjalan mendekat.
"Ada udara yang masuk dari bawah sini, berarti ada rongga di bawah sini, dan pastilah terhubung ke daerah luar.
Kita harus menggali tepat di lubang kecil ini, Cabbon langsung menggali dengan pisau di tangannya.
"Cepat bantu aku!!" Cabbon berujar, napi lain yang sebelumnya duduk bergegas bangkit dan membantunya. Mereka tentu merasa lelah, kelaparan ditambah luka di tubuh mereka membuat mereka merasa tak berdaya. Satu-satunya hal yang membuat mereka bertahan adalah rasa ingin hidup.
Mereka menggali menggunakan tangan, pedang, pisau dan segala sesuatu yang mungkin mereka bisa gunakan.
Perlahan celah itu membesar, terlihat lubang hitam tanpa ujung tepat di dalam lubang besar itu.
Mereka terus memperbesar lubang agar Nerda pun bisa masuk, ketika lubang itu telah selesai tergali, mereka melihat satu sama lain. Kemudian memandang Hans, figur yang masih bertarung, Benaya menahan punggungnya. Bila Benaya melepaskan pegangannya ia sudah pasti tumbang.
"Cepat masuk saja!! Aku akan memberi waktu kalian dahulu!"
Brakkk!
Gedebuk!
Abner terlempar ke dalam, membentur orang-orang di pinggir lubang. Membuat mereka yang berada di mulut lubang terjatuh dan berguling ke dalamnya.
"Hans!" Jerit Paman Odel.
"Paman, bawa pergi Benaya!" Hans mendorong Benaya hingga berguling, tangan kirinya mengangkat perisai kayu yang kini hancur, hanya bersisa besi-besi pembentuknya.
"Nerda bawa Adikmu dan Georgio!" Hans berteriak ke arah mereka sambil menghalau serangan, namun tubuhnya terlalu lemah.
Ia terdorong hingga ke tembok,"tidak!!"
Ia menjerit, kemudian memaksa tubuhnya berdiri, memukul leher Orc itu hingga memuntahkan darah berwarna hitam.
Abner dan Reinald memegang pundaknya, melihat bocah itu meyakinkannya,"Mari kita selesaikan ini bersama-sama!"
Satu persatu mereka merangkak turun, namun karena dinginnya udara menembus bebatuan, permukaan lubang itu pun dengan cepat membeku dan membuatnya menjadi licin, mereka seperti meluncur turun.
Melihat Hans, Abner dan Reinald semakin jauh mundur ke belakang, Shaman itu semakin mengamuk dan mengeluarkan jihanya, jiha hitam yang menolak keberadaan alam dan kehidupan.
Ia melemparkan pisau dengan gantungan kertas berlumuran darah, pisau-pisau itu menancap enam Orc yang kemudian menjerit.
Ketika sinar hitam mengikat mereka, gerbang kegelapan terbentuk. Shaman itu mengorbankan para orc, dan memanggil makhluk lain dari dalamnya.
Dua tangan besar keluar dari dalam lubang itu, lengan kekar penuh otot. Makhluk itu melesat keluar, tubuhnya seperti gorila dengan kepala bertanduk, separuh tubuh hingga ke kakinya berbentuk kuda hitam.
Tangannya menghentakkan bumi sambil kakinya mendorong tubuhnya maju ke depan. Ia membenturkan tubuhnya ke goa yang menjadi tempat perlindungan Hans, memukul gunung itu dan membuat seluruh lahan bergetar.
Sang Shaman tidak berhenti di sana, ia memanggil ribuan tikus dan anjing berkepala dua dan membuat goa itu penuh sesak.
Hans, Abner dan Reinald berjuang menutup jalan.
"Arghh!" Taring tajam anjing berkapala dua itu menggigit Abner, dua lengan kanan dan kirinya tergigit oleh masing-masing kepala yang mengunci pergerakannya. Reinald menebas salah satu kepala, namun tikus berukuran anjing dewasa menggigit kaki kanan dan lengan kirinya.
"Arrgggg!" Jerit Reinald.
Hans menangkap leher anjing yang menggigit Abner, di kepala yang belum terpotong dan makin ganas menggigit Abner, hampir memutuskan bahunya.
Hans meremas leher itu hingga suara tulang patah terdengar, menarik tubuh Abner yang bersimbah darah, melemparnya sekuat tenaga ke dalam lubang. Abner terguling di permukaan batu goa, kemudian merosot turun.
"Hei Bocah!!"
"Tetaplah hidup!! Jangan berani kau mati sebelum aku!" Abner setengah menangis, ia berteriak keras seraya tubuhnya merosot masuk.
Reinald dikerubuti lima ekor tikus yang merobek kulit dan dagingnya, darahnya bercucuran. Hans menarik tubuh Reinald, meremas kelima tikus itu sekuat tenaga, menghancurkan kepala mereka.
Hans menendang tubuh Reinald, tangannya sudah kehabisan tenaga, kini hanya kakinya yang memiliki cukup kekuatan untuk mendorong Reinald.
Membalikkan kepalanya, melihat Reinald untuk terakhir kali. Reinald terlihat terkejut, menemukan bayangan Hans perlahan menghilang tergantikan kegelapan.
"HANSSS!!!" Teriak Reinlad panjang, suaranya cukup keras hingga terdengar keluar goa.
Hans membalikkan kepalanya, tersenyum, menatap sekelilingnya. Goa itu dipenuhi bangkai segar, yang perlahan mengeluarkan bau busuk oleh karena darah hitam makhluk-makhluk kegelapan.
Ia menutup matanya, mengikuti gerakan cahaya di sekelilingnya.
"Semesta, sudikah engkau pinjamkan aku kekuatanmu?"
Ketika ia berujar demikian, ribuan titik cahaya bermunculan, seakan merespon perkataannya.
Hans melakukan tindakan nekad, mencoba menggunakan aksara dengan keadaan uma yang kosong, meski jiha masih terserap masuk ke tubuhnya. Namun satu bintang pun belum terisi penuh.
***
Bayu, Marc, Baltus dan Lanika berjalan menyusuri medan pertempuran. Bersama Bayu, ketiganya tidak merasakan tekanan berarti.
"Ke mana dia?" keempatnya terhenti, melihat sekeliling, mencari jejak ke mana ia pergi.
Bayu melihat jejak di atas salju, melihat bekas kaki di atas salju memang terlihat acak namun setiap jejak kaki mempunyai kesamaan, yaitu melangkah ke arah gunung.
"Lewat sini!" Ujar Bayu.
Sambil berjalan mereka berbincang, hingga akhirnya mereka menyadari siapa Hans sebenarnya.
"Jadi boss Hans adalah pangeran kerajaan?!" Tanya Baltus, dialah yang terlihat paling antusias.
Bayu mengangguk, kemudian menghunus pedang di punggungnya.
"Hati-hati!" Ia merasakan sebuah aura lain dari arah yang mereka hendak tuju.
"Hansss!" Suara teriakan terdengar cukup kuat, hati Bayu, Marc dan Baltus bergetar.
Bayu langsung melesat, mengendalikan es dengan jihanya. Ia berselancar di atas es dengan jalan mencairkan permukaannya dengan air yang ia buat.
Melesat bagai roket, ia sampai di depan goa, menemukan orc dan makhluk kegelapan yang begitu banyak jumlahnya.
"Raden! Raden!" Ia berteriak, pedangnya terayun menebas para orc dan makhluk kegelapan yang menghalangi langkahnya. Bayu melihat sosok besar memukul gunung batu, matanya menyusuri permukaan itu, menemukan goa di bawah kaki gunung yang ujungnya tak terlihat itu.
Shaman yang sebelumnya fokus untuk menangkap Hans menoleh, topengnya terbuka dan aura kematiannya memuncak, memanggil lebih banyak makhluk kegelapan untuk menyerang kelompok manusia yang baru saja tiba itu, Bayu dan ketiga bocah.
"Demit koyo koe pantese membusuk neng neroko!"
(Demit sepertimu pantasnya membusuk di neraka!) Ujar Bayu penuh amarah.
"Hyang Widi, suwun ijin, ngginakaken sabet ingkang paringna dening samudra!"
(Tuhan, mohon ijin untuk menggunakan pedang yang diberikan oleh samudra!) Ujar Bayu, kemudian tubuhnya bersinar, kalung di lehernya pun turut menyala.
Ia bukan magi namun kesatria, di mana jiha yangbia kumpulkan ia jadikan perpanjangan dari tubuhnya. Sebagian kesatria memilih baju zirah, sedangkan orang-orang Nusantara lebih memilih membentuknya menjadi pedang atau senjata mereka.
Pedang di tangannya melayang di udara, salju dan udara menyelimutinya. Salju itu kemudian meleleh menjadi air yang mengalir deras membuat aliran berbentuk bola.
Kemudian terpecah, sebuah pedang seperti golok besar melayang dan jatuh di tangan Bayu. Kemudian tubuhnya diselimuti pakaian cahaya biru dan selendang biru tua di ujung tangan kanan dan kirinya.
Seolah membentuk sayap bagi Bayu, di punggung tangannya satu bulan kosong (purnama) terbentuk. Bayu merupakan kesatria bulan kosong level satu.
Tingkatan bulan dibagi menjadi empat bagian, bulan kosong, bulan sabit, bulan tengah dan tingkat gerhana. Masing-masing dibagi menjadi empat level, Bayu merupakan kesatria tingkat bulan kosong level satu.
Auranya membuat Marc, Baltus dan Lanika tidak dapat bergerak. Meski begitu Shaman tidak menyerah, makhluk besar yang sebelumnya menyerang goa kini berbalik menyerang Bayu.
**
Hans tersungkur, matanya mulai redup, ketika ia hendak melakukan serangan terakhir makhluk yang menyerangnya tiba-tiba berlarian meninggalkan dia.
"Apa yang terjadi?!"
Ketika matanya hampir tertutup, sosok pria menggendongnya, ia hanya mendengar bisikan lembutnya.
"Mboten punapa-punapa Raden Mas, sedaya badhe sae-sae kemawon.."
(Tidak apa-apa Raden Mas, semua akan baik-baik saja!)
Sebelum kehilangan kesadaran, Hans meremas lengan pria itu dan berujar,"Lubang, teman!"
Pria itu tentu adalah Bayu, ia bersimbah darah, seperti orang kesetanan ia membantai semua makhluk yang berada di luar. Lanika memandang Bayu, tanpa sadar ia terjebak dalam lamunan. Matanya memandang keluar, melihat bangkai makhluk besar itu terbelah dua, matanya masih terbuka, terbelalak.
Yang paling naas adalah sang Shaman, pedang Bayu melebur menjadi serpihan air kecil yang masuk ke mulut, telinga, hidung, mata dan bagian dalam tubuhnya, kemudian berubah lagi menjadi pedang yang menusuknya dari dalam.
Tubuhnya dipenuhi lubang-lubang bermacam-macam ukuran.
Bayu kemudian menggendong Hans mendekati lubang itu, ia sangat berhati-hati seolah takut melukai bocah itu.
"Mohon apunten Raden.. mohon apunten sanget, dalem mengecewakan panjenengan."
(Mohon maaf Raden.. mohon maaf… aku mengecewakan anda..) Ia terlihat amat sedih, menelusuri luka-luka Hans, terlebih tubuhnya yang kurus kering.
Ia kemudian melompat ke dalam lubang.
"Eh?! Tunggu!" Baltus kemudian menyusul, di ikuti Marc dan kemudian Lanika, namun gadis itu tidak langsung melompat, matanya tiba-tiba berubah, wajahnya menjadi bengis, ia melepaskan ular hitam kecil yang kemudian berlari keluar. Setelah melakukan itu wajahnya kembali normal dan ia melompat ke dalam.
[Author's Note]
Selamat membaca!
bila berkenan mohon vote dengan power stone dan berikan review yang jujur yaa, supaya ada star ratingnya.