Senja masih terlihat sedih sesaat setelah duduk lantas tanpa sengaja, gantungan kunci jangkar Senja terjatuh dan refleks Langit yang meraihnya dekat sepatu balet Senja. Kemudian memberikan pada gadis itu.
"Makasih, Mas." Ujar Senja sembari menerima gantungan kuncinya.
"Padahal langit cerah, tapi di sini ada yang mendung?" kata Langit dengan tatapan hangat pada Senja.
Senja tersenyum kecil, lantas Langit mengusap kepalanya halus. "Laki-laki yang nanti jadi pasangan kamu adalah laki-laki yang paling beruntung," ujar Langit untuk menghibur Senja yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri.
Terlebih Langit juga memiliki dua adik kembar perempuan, jadi ia merasa menjaga Senja seperti adiknya sendiri. Tadi pun Langit memperhatikan jika anak laki-laki itu berani menyakiti Senja, ia akan maju menolongnya.
Usai nonton kelimanya kembali bersantai di cafe yang berbeda dari yang tadi saat berbuka. Praya duduk di samping Langit barulah Senja yang sibuk dengan telepon genggamnya. Senja melihat akun Nandar yang ternyata sudah tidak berteman dengannya, awalnya Senja sedih tapi ingat ia sedang bersama Fajar. Untuk saat ini lebih baik Ia tersenyum.
Sedari tadi Praya tidak lepas merangkul tangan Langit sedangkan senyuman tipis di bibirnya membuat Anaya dan Fajar saling melirik seakan bertanya keduanya kenapa.
Praya mengerti Anaya dan Fajar seperti sedang bertanya tanya, ia kenapa. Akhirnya Praya melepaskan rangkulannya di lengan Langit bersiap untuk bicara membagikan kabar bahagia nya.
"Aku punya kabar baik." Praya menunjukan kelima jari kirinya. Ia menggerakkan jarinya dengan senyuman lebar.
Ada cincin putih ramping bertahta berlian kecil di jari manisnya. "Langit udah ngelamar aku." Kata Praya dengan suka cita, tidak bisa menyembunyikan bahagianya.
Senyuman Praya begitu lebar, memamerkan barisan gigi rapinya pada Anaya.
Anaya sedikit membuka bibirnya lantas menutupnya dengan telapak tangan. "Alhamdulillah. Selamat, Praya." Anaya bangun ingin memeluk Praya.
Praya juga bangun menyambut pelukan Anaya, keduanya saling mengusap punggung untuk saling menyemangati. Praya sangat tahu Anaya juga menginginkan kejelasan dari Fajar, sekalipun Fajar bukan pria tidak baik yang hanya ingin mempermainkan Anaya. Tapi tetap saja wanita butuh kepastian.
"Makasih ya," ujar Praya. Kemudian melepaskan pelukannya.
"Selamat kak, Praya." Senja juga bangun memeluk hangat wanita itu layaknya kakaknya.
Sedangkan Fajar dan Langit hanya saling melihat.
"Semoga kalian bisa lekas nyusul!" Ujar Praya. Kembali duduk di samping Langit Masih menebarkan senyuman bahagianya.
"Kak Fajar nanti setelah aku kuliah," ujar Senja begitu saja.
"Hus!" Hardik Fajar.
Senja langsung menutup mulutnya, merasa keceplosan. Tidak seharusnya ia membeberkan rencana Fajar di depan kedua temannya.
Tapi untuk Anaya, ada getir dalam tatapannya, ia harus selalu menjadi nomor tiga bagi Fajar. Setelah ibu dan adiknya. Sebetulnya tidak masalah bagi Anaya karena katanya siapa yang menyayangi adik perempuan dan ibunya berarti laki-laki baik yang akan juga menyayangi kekasih hatinya.
"Terus kapan rencana lamaran resminya?" Tanya Fajar melihat Langit.
"Bulan depan, terus galama acara nikah digelar. Kata ibu dia." Langit menjawil hidung Praya dengan penuh kasih sayang. "Ga boleh lama-lama kalo udah lamaran, takut ada hama."
Praya tertawa sedikit. "Itukan kepercayaan orang dulu, padahal aku minta akhir tahun aja, bareng sama ulang tahun. Biar berasa kaya kado spesial."
"Tapi bener, Ya. Katanya ga boleh lama-lama." Ujar Anaya dengan tawa kecil. Kemudian sedikit melirik Fajar.
Fajar mengusap lembut rambut panjang Anaya. "Sabarnya, aku jadi kakak yang baik dulu buat, dia." Tunjuk Fajar dengan bibir pada arah Senja.
Senja memanyunkan bibirnya, jika dibahas disini lagi pasti berakhir ribut dua saudara itu. Padahal Senja sudah katakan tidak masalah jika kakaknya itu akan menikah dan juga ayah ibunya sudah merestui hubungan Fajar dan Anaya.
"Ngomong-ngomong sebelum aku nikah, pengen deh naik gunung lagi. Yang terakhir lah." Ujar Praya kemudian menserup es jeruknya.
Senja yang tadinya asik dengan telepon genggamnya langsung menegakan kepala. "Senja boleh ikut, kebetulan bentar lagi kelas dua belas ujian, jadi Senja libur."
"Boleh tuh, aku bosen juga sama Jakarta butuh liburan," timpal Anaya melihat Fajar.
Fajar dan Langit saling melihat seakan sedang mempertimbangkan kedua keinginan wanita itu.
"Boleh aja, susun kapan waktunya, nanti aku cuti," ujar Fajar.
Semua wanita bersorak kegirangan, keinginan mereka dikabulkan dua pria ini.
Karena malam sudah semakin larut pertemuan empat sahabat itu berakhir dengan Fajar mengantar Anaya pulang. Setelah mampir sebentar di rumah Anaya Fajar dan Senja pamit.
Sesampainya di dalam mobil, Senja langsung protes soal hubungan Fajar dengan Anaya. "Mas. Fajar. Kasihan kak Anaya kalo nunggu dua tahun lagi." Ujar Senja cemberut. Ia tidak mau terus jadi beban pikiran kakaknya, tapi Fajar tetap bungkam terus memperhatikan jalan.
"Mas. Fajar ga liat, ibunya kak Praya kaya udah berharap banget, secara mada ada yang mau anaknya dipacarin terus dari jaman kuliah coba. Nah sekarang udah mapan, alasannya malah jaga Senja. Berasa ga guna banget jadi adik perempuan."
"Kamu lagi pms?" tanya Fajar malah. Biasanya jika wanita sedang datang bulan emosinya sangat mudah tersulut.
"Mas. Sama Praya gak pernah pacaran, kita jalanin ini cuma komitmen serius aja." Jawab Fajar.
Fajar membelokan mobilnya yang sudah mulai masuk perumahan.
Repot memang kalau adik perempuan ketemu calon kakak ipar yang cocok, mereka akan saling kompak memojokan.
"Iya, Senja belum pms." Senja bersedekap dengan wajah cemberut.
Bagaimana jika Fajar tahu saat ini Senja sedang patah hati, walapun gaya pacarannya dengan Nandar sangat berbeda tetap saja Senja juga memiliki perasaan pada Nandar. Anak laki-laki itu dulu selalu menjaga Senja saat awal masuk sekolah, Nandar juga pintar bermain basket. Siapa coba yang tidak meleleh melihat Nandar.
Fajar ingin tertawa saat ini. Yah...paling tidak ia sudah tidak kaget menghadapi perubahan wanita jika mendekati pms, karena Praya juga sama moodnya akan sangat anjlok.
Jika sudah begitu Fajar akan mampir ke minimarket untuk membeli es krim dan coklat. Tidak berapa lama mobil Fajar masuk halaman minimarket, Senja tidak tertarik untuk turun, ia memilih di dalam mobil mendengarkan musik. Tidak berapa lama Fajar kembali dengan kantong belanjaan yang diletakan di atas pangkuan Senja.
Senja langsung melihat isinya. Seketika senyumannya melebar, bersamaan mobil kembali melaju membelah kemacetan Jakarta. Sudah tidak ada lagi suara Senja yang menceramahi Fajar soal pernikahannya dengan Anaya, bukan Fajar tidak mengerti atau hanya ingin bermain hati dengan Anaya. Tidak, ia serius ingin bersama Anaya.
"Tapi, Mas. Giman kalo gara-gara Senja. mas Fajar ngga jadi nikah sama kak Praya?" tanya Senja sedih.
"Berarti ga jodoh, udah gitu aja." ada getir saat Fajar mengatakan itu. Ia mencintai Praya dan ingin membagi hidupnya dengan wanita itu.