"Kalau ada apa-apa, kami bakal bantu."
Hanya itu pesan dari Ezekiel sebelum dia dan abangnya pergi. Entah apa rencana mereka kali ini. Sekarang, mereka mengizinkan Ascella diam di sini, meski awalnya tentu harus berdebat kecil mengenai keselamatanku. Tapi, ujungnya mau tidak mau keduanya harus meninggalkanku bersama Ascella.
"Kalau ada apa-apa, bilang," ucapku ke Ascella sebelum pergi meninggalkannya di kamar yang sudah disediakan.
Ascella mengangguk, dia membiarkanku pergi. Sebenarnya aku ragu harus menemaninya. Lebih nyaman jika bersama gadis lain seperti Safir. Tapi, aku tahu rubah itu tidak akan menyukainya. Siapa juga yang mau percaya dengan orang lain secepat itu? Tapi, bagiku meninggalkan anak lelaki seorang diri itu bukan hal buruk. Lagi pula, aku bisa datang padanya beberapa saat nanti. Sekarang, aku lebih memilih berteman dengan sesama gadis saja dulu.
"Aku ke belakang dulu, ya," ujarku canggung sebelum akhirnya pergi.
Tidak terlihat reaksi apa pun dari Ascella. Dia mungkin sedang membayangkan nasib kakaknya di tangan Lanchester Bersaudara. Tapi, aku percaya mereka tidak akan membunuh raganya, hanya memulihkan jiwanya. Itu pun jika tidak ada pertarungan dulu.
Ketika aku keluar, aku melihat Safir sedang duduk di ruang tamu, membalas tatapanku sambil bersedekap. Wajahnya sedikit masam.
"Safir?" Aku menyebut namanya, memastikan lebih tepatnya.
Dia menyahut. "Ya?"
"Boleh bertanya banyak?" tanyaku. "Maksudku, wawancara."
"Silakan," jawab Safir. "Tanya saja."
Saat ini, dia terkesan lebih ramah dari awal pertemuan. Tapi, aku benar-benar tidak menyangka dia berhubungan dengan para Guardian sejak lama. Safir tidak pernah sekali-kali menerangkan, dia hanya menceritakan perihal kakaknya. Selama ini aku kira hubungannya dengan para Guardian hanya sebatas teman dekat.
"Kamu masih ingat tentang Shan?" tanyaku, hampir ke setiap orang yang berkaitan dengan negeri asalku.
"Ya," jawab Safir. "Makanya aku tidak menolak tawaran mereka setelah terlahir kembali dengan nama 'Safir' ini. Aku ingat sejak berusia empat belas, saat itu Mirah–kakakku–sudah belajar mencuri harta seorang yang kaya raya. Kamu tahu sendiri keadaan keluargaku seperti apa. Hanya ada aku dan dia, kami hidup susah. Di tengah keterpukuran ini, dia datang kepadaku."
"Dia?" Aku berusaha menebak siapa.
"Saat pertama kali melihatnya, aku dan Mirah terkejut karena mengira kami akan ditangkap. Mirah bersujud dan memohon ampun padanya." Safir melanjutkan. "Orang itu adalah Adam, dia datang padaku sebagai Idris."
"Kamu ingat?" tanyaku.
"Aku ingat dia sebagai pengawalmu dulu. Saat kutanya 'Kamu orang Shan?' dia mengiakan lalu mengaku sebagai utusan Khidir. Idris bilang kalau Yang Mulia ini ingin bertemu denganku. Kami kira akan ditangkap. Tapi, justru dijamu setelahnya."
"Berarti, kamu selama ini mengabdi," ujarku. "Lalu, kenapa kamu menyerangku dan Mariam waktu itu?"
"Mana kutahu itu kamu," balas Safir. "Awalnya berambut merah muda, sekarang hijau. Jauh berbeda."
"Setelah kamu tahu, kamu mulai melembut," ujarku sambil tersenyum. "Aku tahu kamu sebenarnya terikat padaku layaknya para Guardian. Jadi, tidak perlu malu mengakui semua ini."
Safir membalas dengan ketus. "Aku lakukan semua demi bertahan."
"Lantas, kenapa tidak cari yang lain?" tantangku, dengan nada santai tentunya. "Kamu bisa cari majikan yang tidak menawarkan misi berbahaya."
"Mohon maaf, aku tidak sepayah itu," balas Safir. "Hanya karena jin, aku menyerah? Tidak, aku tidak akan mundur!"
Aku senang mendengar semangatnya. "Kalau begitu, kamu mau membantuku?"
"Maksud?"
"Bantu aku bicara dengan Ascella," pintaku.
Sesuai dugaan, Safir memasang wajah masam. "Ada apa lagi dengan anak itu?"
"Kasihan ditinggal dari tadi, sementara kita asyik mengobrol bersama," jawabku.
Safir terlihat keberatan. Dia malah memutar bola matanya, tampak mata kuningnya bersinar di bawah sinar lampu.
"Baiklah." Dia mengalah.
Aku kemudian menuntun jalan kembali ke "ruang tahanan" tempat Ascella berada. Meski disebut demikian, tempat ini sebenarnya bekas dari gudang lama di rumah Ezekiel dan kebetulan saja dikosongkan. Hampir tidak tersentuh lagi selama berbulan-bulan lamanya, begitu yang dituturkan Ezekiel.
Aku memanggil Ascella dari balik pintu. Ketika dia menyahut, aku masuk membawa serta Safir yang untungnya tidak protes lagi. Ascella masih di posisi tadi, duduk termanggu memandangi kaki atau barang kali lantai yang terbuat dari marmer. Dalam keheningan, seakan tidak mengetahui keberadaan kami berdua.
Baru saja hendak bicara, Ascella langsung berucap. "Aku tahu Thalia juga punya saudara. "
Aku diam saja. Tidak mungkin dia tahu tentang Remi maupun reinkarnasinya, kecuali ...
"Saudara?" beoku sambil menatap Safir.
Safir membalas tatapanku dengan sorot menyelidik. Tapi, percayalah kalau aku belum pernah menceritakan keluargaku pada Ascella, terlebih perihal reinkarnasi.
"Azeeza, atau sekarang bernama Thalia, adalah Putri dari Kerajaan Shan," ujar Ascella. "Dan dia memiliki adik."
Ah, ternyata dia membahas itu.
"Ya, itu adik lelakiku." Aku membenarkan. Sepertinya bukan rahasia lagi perihal Shan beserta sejarahnya. Aku menebak bisa jadi dia tahu ketika Zibaq merasuki kakaknya dan menceritakan ini semua.
"Di mana dia sekarang?" tanya Ascella.
Aku tidak bisa menjawab sekarang. Tahu keberadan Remi saja tidak, apalagi menebak ke mana saja dia saat ini.
"Jauh," jawabku. "Jauh di sana."
"Thalia pernah bicara dengan adiknya?" tanya Ascella.
"Ya." Tentu saja aku sudah bicara dengan adikku, Remi. Tapi, dalam ingatan kehidupan di Shan yang samar, aku tidak mampu menginggat dialogku bersama adikku. "Kami sudah saling mengenal dan melindungi."
Seketika aku ingat waktu Remi memanggilku "Kakak" meski aku keberatan. Dia sungguh manis, sangat sukar untuk tidak menyukainya.
"Thalia ingat apa yang terjadi pada Shan?" Kini tatapan mata jingga Ascella tertuju padaku.
Aku tidak bisa menunduk atau setidaknya mengalihkan pandangan jika ditatap seperti itu. Dalam keraguan, aku menjawab lagi. "Shan telah runtuh. Itu semua karena Hiwaga."
"Iya, kah?" tanya Ascella. Baru kali ini nada bicara dan tatapannya begitu sinis. "Thalia tahu kenapa Hiwaga meruntuhkan negeri itu?"
Aku terdiam, menatap matanya yang begitu menusuk. Tidak mungkin kujawab dengan seenak hati dan tidak bisa pula aku balas dengan cerita sesungguhnya, karena aku masih saja tidak ingat, di sisi lain juga maaih menjaga rahasia akan identitasku, meski sepertinya percuma karena Ascella sudah tahu.
Ascella melanjutkan. "Kalau Thalia ingat, pasti Thalia tidak akan–"
"Oi, yang tahanan di sini siapa?" Syukurlah interupsi dari Safir berhasil membuatku merasansedikit lebih tenang.
"Sok mau menginterogasi sang Putri, situ saja belum memberikan kabar yang jelas!" desis Safir.
"Aku hanya ingin mencari kebenaran," balas Ascella dengan datar. Dia menatap dingin ke arah Safir. "Aku lelah dengan semua kebohongan ini."
"Kebohongan?" gumamku, tidak berniat ingin dijawab.
Sayangnya, suaraku terdengar oleh Ascella. Tatapannya kembali tertuju padaku. Sorot mata ini membuatku tidak nyaman. Terasa seperti baru saja ketahuan berbuat keji.
"Thalia yang tidak tahu menahu," kata Ascella, entah mengejek atau tidak senang jika aku tidak mampu menjawab. "Aku berniat baik ingin melindunginya dari kedua lelaki itu. Tapi, kamu justru memilih mereka yang bahkan tidak pernah terlihat jujur padamu."
Aku merasa tertantang. "Tahu dari mana? Kalau mereka memang tidak layak di matamu, coba jelaskan pancaran dari kalungku ini!"
Meski sekarang tiada cahaya, tapi aku yakin betul Ascella telah melihat pancarannya saat Ezekiel maupun Darren ada di sisiku.
"Tahu fungsi lain kalung ini?" tanya Ascella.
Aku terdiam seketika.
Safir menyahut. "Tentu saja, untuk membedakan Guardian dengan makhluk sepertimu."
"Begitu." Ascella kemudian berdiri dan melangkah ke arahku. "Bagaimana jika kalung itu dapat menghasilkan sesuatu yang lebih dari sekadar penanda?"