webnovel

15 - Momen Romantis

Nyatakan? Atau tidak?

Benar jika Kevin sangat menyukai Winda. Tapi—bagaimana jika Winda menolaknya? Sudah pasti Kevin tidak akan keluar dari rumah selama berbulan-bulan karena malu.

Asal kalian tahu, Kevin adalah pria yang sangat perfeksionis. Alasannya selama ini ia tidak berkencan adalah karena ia takut jika ditolak oleh gadis yang ia suka. Padahal semua orang yakin, jika tidak ada yang bisa untuk menolak seorang Kevin.

Seperti sekarang—Kevin saat ini sedang uring-uringan di dalam ruangan kantornya, dengan posisi wajahnya di tenggelamkan di antara kedua tangannya di atas meja. Pria itu terus kepikiran dengan Winda.

Sejak Mirna menemuinya hari itu dan mengatakan untuk mengungkapkan perasaanya kepada Winda, Kevin begitu frustasi. Kata-kata dari Mirna seolah terus terngiang-ngiang di di dalam pikirannya.

"Kayaknya gue gak bisa gini terus deh,bisa mati muda gue," Ucapnya sambil membenarkan posisi duduknya.

"Gue harus segera ungkapin perasaan gue sama Winda!"

****

Winda berpikir bahwa dirinya terkadang masih bersikap seperti anak remaja kebanyakan. Yang mana hari ini bisa bilang—ya, dan besok bisa mengatakan—tidak.

Beberapa minggu lalu ia menolak keras seorang Seno, tapi lihatlah—saat ini gadis itu terus tersenyum saat suaminya sesekali mengecup pipi bulatnya sembari bergandengan tangan dan berjalan-jalan di sebuah taman.

"Seger banget ya cuacanya," Seno berkata.

"Seneng banget tahun ini bisa bareng sama kamu," Kali ini Winda berucap, kemudian ia mendongak kesamping. Melihat suaminya yang saat ini terus tersenyum.

"Aku juga. Karena kita bisa rayain tahun baru bareng-bareng," Ucap Seno, lalu mengecup kembali pipi Winda.

Winda tidak bisa menyembunyikan kebahagiannya, baginya saat ini ia tidak perlu melihat kebelakang, di mana dulu Seno terus berbuat jahat kepadanya. Ia ingin membuka lembaran baru bersama pria itu, dan terus bersama-sama seperti saat ini.

"Sekarang bisa gak kita bilang sama orang kalau kita udah nikah?"

"Kamu udah yakin sama perasaan kamu ke aku?" Senk bertanya, pria itu lalu menghentikkan langkahnya dan menatap Winda.

Winda sedikit berpikir, gadis itu merasa bahwa ini bukanlah waktu yang tepat. Tapi gadis itu berjanji, sebentar lagi ia akan mengatakan pada Seno bahwa ia sudah yakin dengan perasaannya saat ini. Winda pikir ia harus menyiapkan sebuah kejutan kecil.

Tiba-tiba saja ponsel Seno berbunyi, lalu Seno mengambil ponselnya di dalam saku celana dan melihat nama yang ada di sana. Seno terdiam sebentar, begitpun dengan Winda.

"Sebentar aku mau angkat telfon dulu."

Seno langsung berjalan sedikit menjauh untuk mengangkat telfon tersebut, dan setelah selesai berbicara Seno kembali mendekat ke tempat Winda.

"Aku ada urusan mendesak banget, kayaknya aku harus cepet-cepet pergi. Kamu pulang naik taxi aja, ya," Seno berucap sambil mengecup bibir Winda singkat, lalu berlari meninggalkan gadis itu yang masih tampak bingung.

"Ada apa, ya? Kok Seno sampe buru-buru kayak gitu?" Ucap Winda sedikit penasaran.

****

Kevin dengan berani datang ke kafe milik Winda. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum masuk ke dalam. Perasaan gugup jelas terlihat dari raut wajahnya yang memerah.

Oke. Kevin terlihat sudah siap, ia langsung masuk ke dalam dan menyapa Winda yang terlihat sedang melamun di tempat duduk paling ujung.

"Hai, Win." Panggil Kevin pelan, tidak biasanya ia seperti itu. Tidak ada jawaban dari Winda.

"Win?"

"Win?"

"Astaga." Winda terlihat terkejut sembari menyentuh dadanya, "Kevin?"

"Kok Lo melamun aja sih Win? Capek tau gak manggilin Lo dari tadi!"

"Eh beneran? Ya ampun maaf ya, Vin."

Winda berdiri sebentar kemudian mempersilahkan Kevin untuk duduk di depannya.

"Mau minum apa, Vin?" Winda bertanya.

"Apa aja deh."

Winda tersenyum seperti biasa. Kemudian memanggil Yuni menyuruhnya menyiapkan minuman untuk Kevin.

Kevin terlihat ketar-ketir. Dilihatnya Winda yang masih tersenyum lembut. Jantung Kevin berdetak sangat kencang. Apalagi melihat senyum Winda yang seperti bidadari turun dari langit.

"Gimana ya cara ngomongnya?" Batin Kevin dalam hati.

Tidak lama Yuni datang kembali membawa ice chocolate untuk Kevin. Seketika Kevin langsung menautkan kedua alisnya.

"Win, Lo gak salah? Ice Chocolate?" Tanya Kevin.

"Egak. Gue liat-liat Lo tu orangnya lempeng banget. Kalau gak pesen kopi pasti teh. Gak bosen apa? Tu makanya gue suruh Yuni ngasih Lo coklat biar hidup Lo lebih manis lagi. Gak mikirin kerjaan terus."

Emang ya. Bener-bener gak salah Kevin milih calon istri. Eh gimana?

Kevin tertawa kecil layaknya pria yang sedang jatuh cinta dan dimabuk asmara, "Bisa aja Lo, Win."

"Yaudah. Minum gih."

Kevin meminum Ice Chocolate itu. Hatinya ikut mendingin dan senang tentunya. Kevin terlarut dalam pikiran bahagianya sendiri sampai akhirnya menyadari kalau Winda lebih banyak diam dan melalui. Tidak seperti Winda yang biasa terlihat ceria.

"Win?" Panggil Kevin dan tidak menemukan jawaban dari Winda.

"Win?"

"Win?"

"Eh ya ampun maaf, Vin. Gue agak gak konsen."

"Lagi banyak masalah, ya?" Kevin bertanya akut-takut.

"Ah egak kok. Cuma sedikit capek aja." Jawab Wind sembari pura-pura lelah dengan menepuk-nepuk pundaknya sendiri.

Melihat Winda yang banyak melamun membuat Kevin agak sungkan untuk menyatakan cintanya pada Winda. Apalagi cara mereka berbicara sungguh seperti teman biasa, tidak lebih. Fix, Kevin harus mencari waktu yang lain.

"Oh gitu. Kalau gitu mending Lo pulang aja deh. Istirahat di rumah." Kevin berucap kbawatir.

"Egak apa-apa kok. Beneran."

Winda kembali melamun. Sejujurnya ia memikirkan Seno dari tadi. Perasaannya sangat tidak enak dan seperti ada yang mengganjal.

****

Winda kembali melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 11 malam. Ia sudah sangat mengantuk tapi tetap harus menunggu Seno karena penasaran dengan apa yang dilakukan pria itu seharian ini. Ponsel Seno juga tidak bisa dihubungi membuat Winda khawatir bukan main.

Winda membolak-balik sebuah majalah dengan bosan. Tidak berselang lama pintu rumah terbuka, menampilkan Seno yang terlihat lusuh dengan pakaian yang masih sama seperti tadi mereka kencan.

"Seno?" Winda bangkit dari duduknya. Merasa heran melihat penampilan Seno.

"Kamu kok belum tidur, Win?"

"Aku nungguin kamu. Aku khawatir kamu kenapa-kenapa soalnya tadi kamu kayak terburu-buru banget."

Seno tersenyum lembut, kemudian memeluk Winda. Ya, ini hanyalah akting pemirsa.

"Tadi itu klien aku nelfon dan minta ketemuan. Beliau dari Amerika jadi agak susah buat ketemu. Makanya tadi pas ada kesempatan aku langsung nemuin dia. Maafin aku ya, sayang."

Sayang? Astaga jantung Winda serasa ingin berlari keluar ketika mendengar Seno memanggilnya sayang. Bahkan sekarang wajahnya sudah memerah seperti tomat yang akan segera matang.

"Oh jadi gitu. Pasti kamu capek banget."

"Semua ini demi kamu." Ucap Seno palsu.

Winda terlihat malu-malu membuat Seno langsung menyubut pipi gembulnya.

"Sekali lagi maaf ya, Win sayang."

"Iya-iya. Kamu gak perlu minta maaf kok."

Seno menatap Winda kemudian mengelus pelan kepala wanita itu. Ia mencondongkan tubuhnya lalu mengecup bibir Winda. Awalnya hanya kecupan-kecupan biasa sampai akhirnya semua mulai terasa panas. Seno mencium Winda dengan liar dan Winda sangat menikmati itu.

"Engh—Seno."

"Kita lanjutin di kamar, ya?"

Seno langsung menggendong Winda menuju kamar mereka di lantai atas. Sepertinya malam ini akan terjadi lagi momen-momen manis antara mereka berdua. Setidaknya itulah yang Winda pikirkan.