"Ven, balik sama gue kan lo hari ini?"
Venus yang baru saja mengangkat ranselnya menatap Arka bingung. Kedua alisnya bertaut tipis sambil sesekali menoleh ke arah Ria yang memang sering pulang bersama Arka. "Ria bawa motor," ucap Arka seakan tahu apa yang Venus pikirkan.
Cowok itu tidak menunggu lebih lama lagi, dia langsung saja menggandeng lengan Venus yang begitu kecil. Saking kecilnya Arka merasa seperti sedang menggandeng anak kecil berusia sembilan tahun. Saking kurusnta Venus, tapi meskipun begitu Arka tidak banyak bertanya tentang badan teman barunya yang kurus ini. Dia takut membuat Venus tersinggung, nanti bisa membuat masalah besar dan mereka tidak lagi berteman lagi.
Mereka juga tetangga yang tidak begitu dekat jarak rumahnya , tapi masih dianggap sebagai tetangga. Jika bermusuhan sudah pasti akan ada banyak orang yang bertanya masalah apa yang membuat mereka harus bermusuhan seperti ini.
Arka memberikan helm berwarna merah yang biasa Ria pakai pada Venus sekarang. Motornya ganti menjadi vario berwarna hitam, katanya motor yang dulu sudah di jual. Rusak entah kenapa, Venus tidak lagi bertanya ketika Arka mulai melaju cukup cepat, mungkin karena sinar matahari yang begitu menyengat dan tidak ada yang memakai jaket.
Perjalanan begitu singkat, Arka memarkirkan motornya tepat di depan rumahnya. Halaman rumahnya kali ini cukup kotor, Venus hanya memperhatikan beberapa daun cokelat yang berguguran dari atas. Entah pohon apa, tidak memiliki buah dan bunga, tapi daunnya berubah menjadi warna cokelat kekuningan.
"Venus ya?"
Suara familiar itu membuatnya menoleh, memberikan senyum untuk pria paruh baya yang berjalan mendekatinya. Tomo menjabat tangan mungil Venus dengan senyum yang begitu lebar, sampai-sampai kedua matanya menjadi tipis. "Wah! Kita bertemu lagi, tapi kali ini berbeda. Saya baru tahu kalau kamu ini anak pak atmaja, seharusnya kamu bilang waktu itu supaya kita bisa akrab!"
"Ehehe! Gak tau kalau Kakek temenan sama papa," sahut Venus sedikit kikuk.
"Hahaha! Kamu benar, saya juga gak tau kalau pak atmaja punya anak perempuan. Saya selalu lihat edgar, dia yang suka menyapa saya waktu lewat. Sementara yang satunya... siapa ya namanya.. Saya lupa."
"Naratama?"
"Nah! Iya, dia juga orang yang ramah, tapi jarang terlihat. Jadi saya pikir hanya mereka berdua anak atmaja, tapi ternyata kamu juga anaknya."
Melihat senyum Tomo yang begitu lebar membuat Arka mengenai bingung. Tomo terlihat seperti bertemu dengan orang yang sudah lama tak dia temui, seakan-akan mereka sudah sangat akrab dan berteman begitu lama.
"Ayo, masuk ke dalam!" ajak Tomo.
"Dia kan punya rumah Kek," sahut Arka yang sekarang menatap kakeknya dengan ekspresi datar.
"Memang, tapi atmaja minta tolong supaya Venus di sini dulu buat beberapa jam. Orang tuanya sibuk bekerja, edgar juga pulang malam, sementara Naratama ada ekstrakulikuler yang gak bisa bikin dia pulang cepat. Katanya nanti sekitar jam lima sore anak itu baru pulang," jelas Tomo sebelum akhirnya menarik lengan Venus, membawa gadis itu masuk rumah, dan duduk di salah satu kursi bambu yang baru saja di tata rapi. Dekat dengan jendela kaca berwarna hitam, tapi masih bisa melihat pemandangan luar.
Venus memperhatikan rumah Arka yang mulai berubah, beberapa foto yang tidak pernah dia lihat ada di dinding sebelah kanan sekarang.
"Lo mau minum apa Ven?" tanya Arka, ransel hitam itu dia lempar dengan pelan di sofa empuk tepat di depan Venus.
"Ini minum buat Venus," sahut Tomo, dia baru saja keluar dari pintu menuju dapur. Membawa nampan berisi tiga gelas es teh manis dengan kue balok cokelat. Dia duduk berseberangan dengan Venus setelah meletakan nampannya.
Sementara Arka, dia mulai duduk di tempat tasnya tersimpan. Dekat dengan Tomo, masih bingung sebenarnya kenapa Tomo harus memperlakukan Venus begitu spesial, sementara Ria di perlakukan sama dengannya.
"Makasih Kakek," ucap Venus sebelum meminum es teh manisnya sedikit. "Kakek kesibukannya apa selain di rumah nunggu Arka pulang?"
"Jam sepuluh pagi saya pergi ke sawah, kemudian pergi ke kebun. Setiap seperti itu, cuman buat mantau pekerja saya saja, mereka sedang bermalas-malasan atau tidak. Biasanya ada beberapa, saya kasih peringatan beberapa kali, tapi kalau masih bandel baru saya pecat."
"Ada ya yang kaya gitu ternyata."
"Banyak Ven, kaya gitu gara-gara dulu jarang di pantau sama Kakek, tapi sekarang udah engga sih. Banyak yang takut, mana lagi kan mata pencarian mereka kalau gak berkebun di kebun orang, ya di kebun sendiri. Tapi banyak juga sih yang jadi pedagang di sini," jelas Arka.
"Meksipun pedagang kebanyakan juga kan dagangin hasil kebun kita."
Venus mengangguk-anggukkan kepalanya. Orang yang bekerja di kantor bisa di hitung ternyata, dan dia pikir kebanyakan anak-anak muda yang seusia Edgar. Tapi tak banyak pula yang lebih memilih untuk kerja serabutan, atau malah menjadi petani untuk mengganti kedua orang tuanya yang sudah sepuh.
"Gimana rasanya tinggal di rumah itu Ven?"
Pertanyaan itu membuat Venus terkejut, tentu saja karena Tomo yang pertama bertanya. "Ya... lumayan nyaman sih Kek."
"Yakin lumayan nyaman?"
"Kok Kakek malah nanya kaya gitu sih ke Venus?" tanya Arka bingung.
Tomo mengambil napas dalam-dalam sebelum berkata, "Karena rumahnya gelap Arka. Kakek rasa ada sesuatu yang di simpan mendiang kakek nenek Venus. Entah apa, tapi kayanya bahaya."
"Bahaya?" kening Venus bertaut.
"Ya, semacam makhluk dengan energi negatif." Tomo mengangguk beberapa kali dengan ritme yang cukup pelan. "Waktu saya tinggal di belakang rumah kamu itu, dan kemudian memutuskan pindah rumah. Kakek sama nenek kamu itu datang. Bangun rumah yang paling besar di sini, paling luas pula. Saya berteman baik dengan mendiang kakekmu, tapi sayangnya ada sesuatu yang membuat dia gak mau lagi saya datang ke rumahnya. Saya gak tau awalnya kenapa, saya pikir karena saya terlalu sering mampir untuk meminta kopi hitam."
"Tapi bukannya emang Kakek suka minta kopi ke tetangga ya?" sindir Arka.
Tomo tertawa mendengar sindiran Arka yang begitu jujur. Kepalanya menggeleng pelan, dan kemudian mengangguk. "Kopi yang di buat tetangga memang lebih enak Arka. Gak tau kenapa, aneh memang. Tapi kembali ke cerita tadi, ada rumor yang datang. Mereka bilang kalau lastri istri yadi, mendiang kakek nenek Venus ini suka jalan-jalan malam. Bukan malam di jam delapan, tapi di jam dua belas malam."
"Ha! Ngapain coba jalan-jalan jam segitu?" tanya Arka bingung, dia melirik ke arah Venus yang tak kalah bingungnya.
"Jalan-jalan saja, mencari udara segar karena mungkin bosan di rumah yang suasananya itu-itu saja."
"Tapi... masa itu mendiang nenek sih Kek?"