webnovel

Gendik

Venus membasahi bibirnya beberapa kali, dia mulai merasa tidak nyaman, tapi penasaran juga dengan kelanjutan cerita Tomo. "Tapi... masa itu mendiang nenek sih Kek?"

"Tentu saja bukan."

"Bukan?" Arka yang paling terkejut sekarang, padahal seharusnya yang terkejut itu Venus. "Kok bisa bukan mendiang neneknya Venus?"

"Ya memang bukan, itu hantu. Namanya gendik."

Venus tercekat, kedua matanya membulat sempurna. Namanya sesuai dengan nama wanita yang ada di mimpinya. Cerita ini ada sangkut pautnya dengan mimpi yang dia dapat, dan dengan permintaan dari Gendik semalam.

"Gendik ini udah tinggal di tempat itu lama sekali, waktu masih jadi kebun. Salahnya mendiang kakeknya Venus ini bangun rumah tanpa minta ijin ke penunggunya dulu, tapi gak tau gimana ceritanya gendik gak marah. Malahan hidup berdampingan kata yadi, dia yang cerita ke Kakek waktu itu." Tomo mengambil napas sekali lagi, senyumnya pudar sekarang. "Saya bingung Venus, bingung harus cerita darimana."

Venus sejak tadi sudah bingung, dan dia pun ikut bingung dengan cerita Tomo yang semakin lama semakin tidak bisa dia mengerti. Entah ini tentang rumahnya atau tentang Gendik, atau mungkin tentang mendiang kakek neneknya yang sudah tidak ada.

"Coba di singkat aja Kek!" pinta Arka.

"Intinya gendik hidup berdampingan dengan keluarga Venus dulu, dan tiba-tiba semuanya berubah. Gendik yang mulai mengganggu warga di malam hari, dan katanya lebih jahat ketika mengganggu keluarga Venus. Anak-anaknya di pindah ke Jakarta ketika anak pertamanya memiliki pekerjaan yang bagus di sana. Tapi sayangnya beberapa bulan kemudian yadi meninggal secara tiba-tiba."

"Mendiang kakek meninggal karena apa Kek?" Kening Venus bertaut dalam, bahkan sekarang dia sedikit menajukan tubuhnya. "Papa sama mama bilang kalau kakek sama nenek meninggal karena sakit."

"Iya, sakit secara tiba-tiba. Sakitnya misterius, dokter bilang kalau mereka berdua sehat, tapi setelah itu meninggal dunia. Di susul lastri setelah dua bulan. Hanya anak pertamanya dan saya yang tahu soal ini, orang lain tahunya mereka meninggal karena penyakit kronis."

"Jadi... ada sesuatu yang gendik lakuin gitu kan maksudnya?" tanya Arka.

Tomo mengangguk pelan, "Iya, ada sesuatu yang hantu itu lakukan. Tapi sayangnya kakek gak tau gimana caranya gendik ngelakuin itu."

Suara telepon rumah membuat semua orang saling menatap. Arka yang beranjak, berjalan ke belakang untuk mengangkat telepon. Sementara Tomo kembali menatap Venus, ada senyum tipis yang dia berikan. "Kamu dapat mimpi kan Venus?"

"Tau... tau darimana?"

"Terlihat jelas dari raut wajah kamu. Dari gendik ya?"

Venus mengangguk pelan. "Dia... minta tolong. Aku awalnya gak paham kenapa dia minta tolong, tapi waktu Kakek cerita, sekarang aku jadi paham."

"Tentu dia akan meminta tolong, menyuruh kamu supaya di buka pintu itu. Padahal ada mantra khusus yang cuman saya dan mendiang yadi yang tau." Tomo mengubah posisi duduknya menjadi lebih nyaman, "Saya harap kamu gak terlalu memikirkan soal gendik, dia gak akan bisa keluar dari sana."

"Tapi..." Venus kebingungan lagi, dan takut untuk kembali ke rumahnya yang ternyata menjadi sarang hantu jahat.

"Venus, percaya sama Allah nak, jangan kamu mikirin hantu yang udah di kurung!" ucap Tomo, ekspresinya serius agar Venus bisa yakin dengan dirinya sendiri. "Saya tahu di sana menakutkan, ada banyak yang mengincar kamu, tapi tolong jangan takut!"

****

Pintu kamar terbuka perlahan dengan suara khas pintu tua. Gadis dengan seragam sekolah itu duduk di tepi ranjang, dia nampak lesu, tapi sorot matanya terlihat kosong sekarang.

Ubin lantai dia perhatikan sambil berpikir. Sayangnya tidak ada yang membuatnya kembali merasa hidup, beban semakin terasa berat. Venus sendiri bingung, kenapa pula dia harus memikirkan hal ini di usia yang masih belum matang. Kenapa pula hanya dia yang merasakan hal-hal gila ini, dan kenapa pula kedua orang tuanya terus tidak percaya dengan dia.

Venus menghela berat, dia menoleh ke arah cermin yang ada di sebelah kiri. Wajahnya nampak begitu letih, tidak ada senyum di sana, seakan-akan dia baru saja melakukan kegiatan yang begitu melelahkan. Padahal hanya mengobrol dengan Tomo dan Arka di ruang tamu selama tiga jam.

Venus mulai merebahkan tubuhnya pelan-pelan sambil terus memperhatikan dirinya dari pantulan cermin. Suara Tomo masih bisa dia dengar, terutama untuk kalimat itu. Tentang banyaknya sosok yang mengincar Venus.

Dia tidak tahu makhluk apa saja yang mengincar dirinya, dan kenapa pula hanya dia yang di incar? Padahal di rumah ini ada Naratama, dan Edgar yang lebih tua darinya. Tentunya mereka berdua bisa memikirkan jalan keluar terbaik karena memiliki otak yang encer.

"Ven?"

Venus duduk seketika, menatap kesal Naratama yang berdiri diambang pintu. "Di panggil nyokap, di suruh makan bareng-bareng!" lanjut Naratama.

"Hm, iya bentar lagi gue ke sana abis ganti baju."

"Ganti baju atau abis tidur?" selidik Naratama.

"Iih! Lo tuh nyebelin tau gak?!" Venus melempar bantal kesayangannya tepat mengenai wajah menyebalkan Naratama, tapi bukannya kesal, cowok itu malah tertawa terbahak-bahak dan kemudian melenggang.

Venus mendengus sebal, dia melangkah pelan memungut bantal yang tergelatak di atas lantai dengan cepat. Setelah merapikan ranjang yang sedikit berantakan, menutup pintu kamar, Venus mengganti seragam dengan pakaian santai berwarna hitam dan merah. Dia pergi keluar kamar tanpa mengganti kuciran rambutnya.

Suara bising terdengar begitu jelas ketika dia melangkah dengan pelan. Suara tawa Naratama lebih jelas sekarang, Venus tidak tahu kenapa Naratama harus tertawa seperti itu.

"Venus, sini sayang!" panggil Indira, menunjuk kursi untuk Venus duduki. Dia juga memberikan semangkok bakso lengkap dengan siomay goreng dan lontong yang sudah di potong. "Mama sama Papa tadi mampir ke toko bakso langganan kita biasanya, untungnya sepi loh ya. Coba deh kalau ramai, udah jelas tadi kita gak makan bakso."

"Enak sih soalnya, coba deh kalau gak enak, pastinya gak rame Ma," sahut Naratama.

"Selain enak juga staf di sana ramah-ramah," imbuh Edgar. "Kalau staf ramah ke pelanggan itu biasanya dijadiin nilai plus sama pelanggan, kalau gak ramah ya pasti di tinggal. Seenak apa pun makanannya, kalau staf di sana gak ramah, bye aja udah."

"Makanya jadi orang harus ramah, mau kamu staf ataupun bukan, kita semua harus ramah!" sahut Indira dengan tawa kecil.

Venus tidak ikut berbincang, dia hanya bisa melihat mangkok penuhnya dengan ekspresi datar. Rasanya nafsu makan hari ini menghilang begitu saja hanya karena cerita, dan kalimat terakhir yang masih saja Venus ingat.

"Heh! Lo kenapa dah? Kesambet ya?" ucap Naratama sambil menyentuh jari kanan Venus.

"Tama, gak boleh bilang kesambet pas lagi maghrib kaya gini!" tegur Atmaja.

"Ehehe! Abisnya Venus diem doang loh Pa, gak kaya biasanya."

"Loh! Iya, Venus kenapa Ven? Kamu sakit atau gimana?" Indira yang terlihat panik, mendekati Venus dan kemudian menyentuh dahi anak perempuannya. "Gak panas kok, cuman hangat. Kamu gapapa kan Nak?"