webnovel

Beban Pikiran

Venus mengernyit ketika botol berisi air di lempar tepat di sebelahnya. Untung saja kepalanya masih aman, dan ponselnya yang ada di dekat sana pun tidak tersentuh sama sekali. Dia tahu ini ulah siapa, seseorang yang tidak pernah mau mengetuk pintu terlebih dahulu ketika masuk kamarnya.

Dia mulai menoleh dengan posisi yang berubah menjadi tidur terlentang. Menatap nyalang Naratama yang memberikan cengiran sambil terus berdiri di dekat ranjang. Tak lama setelah itu, senyumnya luntur, dia bergegas duduk di tepi ranjang. Menyentuh dahi adik perempuannya dengan lembut, dan berkata, "Udah gak panas, atau emang gak demam? Mama aja kali ya yang lebay gara-gara lo kan anak cewek satu-satunya. Entar kalau sakit gak bisa bantuin beres-beres rumah."

"Heh! Kalau di jadiin babu mah gak boleh sakit namanya, aneh lo ah jadi manusia," ketus Venus, posisinya dia ubah kembali menjadi duduk bersandar. Sementara botol yang di lempar Naratama tadi dia ambil, dan di tegak beberapa kali.

"Nyokap yang beliin barusan, katanya takut lo kenapa-kenapa. Padahal kalau demam harusnya minum paracetamol, bukan di kasih larutan gitu."

"Lebih enak larutan, bersyukur gue dapet larutan daripada di kasih antangin. Aduh! Gak enak banget rasanya, pedes-pedes gimana gitu. Gue gak suka," sahut Venus, dia menggeleng beberapa kali dengan kedua mata yang terpejam beberapa detik karena memikirkan rasa dari antangin.

Naratama tertawa melihat ekspresi Venus yang terlihat aneh, tangannya mengulur mengelus pipi kanan gadis itu dan kemudian dia cubit. Tentu saja Venus berteriak sambil memaki Naratama dengan kesal, tapi cowok itu malah semakin bersemangat sekarang.

Venus tidak tahu kenapa Naratama yang paling berbeda. Paling jahil, dan yang paling dia benci. Sementara Edgar lebih mendekati kulkas dua belas pintu yang membuatnya takut-takut untuk membuka obrolan dan dekat-dekat. Seakan-akan Edgar itu bukan kakak yang bisa diajak berdiskusi, lebih baik di pandang dan di dengarkan ketika cowok tinggi itu membuka obrolan atau kalimat perintah.

"Lo pasti gak suka banget ya sama gue?" tanya Naratama tiba-tiba.

Venus mengangguk pelan, "Iya, ada gak sukanya sama ada sukanya. Gak sukanya waktu lo perlakuin gue kaya babu, terus seakan-akan gue ini boneka yang bisa lo uyel-uyel dan ngerasa gak sakit." Venus menatap sinis Naratama yang sekarang tertawa kecil, tapi kemudian tatapan sinis itu berubah menjadi tatapan santai. "Bagian yang gue suka sih... lo bisa treat gue like a queen, make me happy, tapi lo juga bisa bikin gue nangis sih ngeselinnya, hahaha! Cuman tetep aja gue sayang sama lo karena cuman lo yang bisa bikin rumah ini lebih hidup."

"Hahaha! Lo bener, coba deh kalau cuman ada lo sama kak edgar? Wah! Gak ngerti deh gue jadi apa kalian berdua?"

Venus ikut tersenyum tipis, dia juga membayangkan hal itu, dan sudah jelas tidak akan nyaman untuknya berada di rumah. "Udah jelas gue suka ngayap, terus suka pulang telat dengan cara ambil les tambahan. Lagian dia tuh kulkas dua belas pintu yang bikin gue segan banget anjir. Bisa-bisanya kita punya abang kaya gitu."

"Kalau edgar bakalan bilang, 'bisa-bisanya gue punya dua adik freak.' pasti gitu ahahah!"

"Hahaha! Bener banget, gila sih receh banget kita ya?"

Naratama masih saja tertawa, sampai-sampai wajahnya memerah dengan genangan air mata yang terlihat cukup jelas. "Aduh! Capek perut gue sumpah capek banget kebanyakan ketawa sama lo."

"Gue engga, lo aja lebay."

"Idih! Punya adek minta di cubit mulu pipinya."

"Ih!" Venus langsung menangkup wajahnya dengan erat, menatap Naratama kesal kembali. "Awas aja lo cubit pipi gue lagi, gue teriak biar bokap marah!"

"Hadeh! Jahat banget sama abang sendiri."

Melihat ekspresi Naratama yang berubah datar, cowok itu juga tidak lagi menatap Venus. Perhatiannya beralih pada pintu kamar yang terbuka sedikit. Entah apa yang di pikirkan, tapi ekspresi itu membuat Venus merasa bersalah. Venus berdeham, membuat kakaknya menoleh meskipun dengan wajah datar. "Lo sendiri... gimana menurut lo soal gue?"

"Ah! Soal lo ya? Hm..." senyum kembali terukir, kali ini lebih lebar dari sebelumnya. Bahkan Venus ikut tersenyum meskipun tipis. "Lo tuh lucu Venus. Waktu lo lahir tuh gue cuman bisa inget dikit, tapi yang paling gue inget itu wajah lo yang lucu. Gue heran dulu karena warna kulit lo merah gitu, gue pikir abis di bakar gitu kan-"

"Bego!" potong Venus dengan tawa yang begitu keras.

Naratama ikut tertawa karena kebodohannya dulu. "Wajar anjir, masih kecil gue dulu. Bokap ngasih tau kalau kulit bayi emang kaya gitu, tapi gak semuanya. Jadi gue inget-inget lagi kalau yang ada di TV juga gak sama kaya lo, warnanya ada yang putih dan ada yang cokelat juga. Terus waktu gue masuk perawatan nyokap, gue pernah bilang ke Edgar kalau nyokap meninggal."

"Wah! Gila lo, nyumpahin?"

"Dih! Engga gitu, abisnya nyokap tidur pules banget. Kan gue gak paham ya, jadinya gue pikir kalau nyokap tuh meninggal. Mana Edgar ngeselin lagi, dia ngancem gue kalau gue gak nurut sama dia bakalan di aduin ke bokap."

Kening Venus bertaut dengan kepala yang dia miringkan sedikit. "Tunggu! Edgar ngancem?"

"Iya, dulu dia suka ngancem gitu kalau ada sesuatu yang bisa dia manfaatin. Contohnya kaya itu tadi, gak bikin gue sakit hati juga. Gue cuman jadi babunya dia doang buat ngambil apa-apa. Kaya misalnya dia ada di lantai bawah, gue harus ambil video game dia yang ada di lantai dua." Naratama menghela cukup panjang, kenangan masa kecil membuatnya sedikit sedih. "Asal lo tau aja, gue sama Edgar gak deket, dan kita suka berantem. Gue suka jailin dia dulu, jadi pas lo udah umur tiga atau empat tahun gitu. Lo juga suka jailin dia, tapi waktu itu pernah bikin lo nangis."

"Emang gue di apain?"

"Edgar lagi duduk nonton TV kan, gue rasa suasana hatinya lagi buruk. Dia gak tau kalau nyokap ada di belakang sama lo ikutan nonton. Sementara gue di sofa main sendiri. Lo tiba-tiba aja pegang bahunya, terus dia langsung nepis gitu loh. Kayanya gak kasar, tapi bagi anak kecil mah kasar ya. Jadinya lo nangis kejer gitu, tapi awalnya kaya syok. Dia juga syok pas liat kebelakang. Semua matung deh pokoknya." Senyum Naratama berubah, tidak seceria tadi. Bahkan tatapannya pun berubah ketika dia memilih untuk menatap ubin lantai. "Sejak hari itu dia gak mau deket-deket sama lo lagi. Takut katanya."