webnovel

Get Out From Universe

Selama 19 tahun hidup, Willy dipecundangi oleh dunia. Lahir dalam kondisi yatim, punya masalah ekonomi, tidak ada teman, jadi korban perundungan. Sebut saja, Willy sudah mengalaminya. Tapi dia mampu mengatasi itu semua berkat ibu tercinta. Suatu ketika, Willy tertabrak truk dan harus kehilangan nyawa. Dewa memberinya kesempatan untuk kehidupan kedua di dunia baru. Tapi Willy menolak, dia lebih memilih untuk tinggal bersama ibunya. Dewa yang tidak menerima penolakan murka, membuang Willy ke dunia fantasi tanpa hak istimewa. Dari sini, perjalanan Willy mencari jalan kembali ke dunianya dimulai. Mampukah Willy pulang?

dehowler · Fantasie
Zu wenig Bewertungen
5 Chs

5- Keluar dari Medan Tempur

Willy mengekor Braun yang memimpin jalan, melintasi padang mayat. Bau amis menusuk hidung meski air hujan turun dengan deras. Mata Braun fokus melihat sekeliling, memastikan tidak ada prajurit elf. Sedangkan Willy menguatkan diri menyaksikan pemandangan di depan matanya.

Setelah 10 menit berjalan ke arah timur, akhirnya mereka memasuki hutan.

Bunyi serangga bersautan. Pohon-pohon berukuran besar dan tinggi berjajar sepanjang mata memandang. Terdapat pakis liar di setiap langkah mereka. Daun dan ranting bergesekan menimbulkan suara khas. Udara di dalam hutan tidak jauh berbeda dengan saat mereka di padang rumput.

Setelah cukup lama berjalan, mereka bertemu pohon yang sangat besar. Di pohon itu terdapat lubang di antara akar-akarnya, cukup besar dimasuki dua orang. Braun memutuskan untuk beristirahat di dalam sana.

"Sebaiknya, kita istirahat dulu Willy, hujan masih lebat. Mungkin nanti pagi baru terang."

Willy kelelahan dan lapar, tapi di dalam hati dia merasa ingin segera keluar dari Alfheim.

"Kau bilang hutan ini masih kekuasaan elf. Setelah keluar kita baru aman. Bukankah lebih baik kita terus berjalan sampai keluar dari hutan. Bagaimana kalau mereka masih berpatroli," ujar Willy.

"Lihat dirimu, Willy."

Tubuh Willy menggigil. Jarinya mengkerut. Giginya gemertak. Willy kedinginan sepanjang perjalanan, dan Braun menyadari itu.

"Aku tidak mau bertanggung jawab kalau kau mati kedinginan di tengah pelarian kita," sindir Braun.

"Baiklah." Willy akhirnya menyetujui Braun.

Braun menyuruh Willy untuk beristirahat duluan di bawah akar pohon. Sedangkan Braun ingin mencari sesuatu sebagai penghangat.

"Kau tidak berencana meninggalkan aku sendirian, kan?" tanya Willy dengan penuh kecurigaan.

Braun mendengus mendengar pertanyaan Willy.

"Hei, bocah. Aku ini memang bajingan, tapi aku masih tahu balas budi. Tutup mulutmu dan tidur sana. Besok kita bangun pagi sekali."

Braun meninggalkan Willy di lubang akar bawah pohon.

Sekarang, Willy sendirian. Dia berbaring, berusaha untuk tidur di atas tanah dan bebatuan yang ditumbuhi lumut. Willy memejamkan mata, tapi pakaiannya basah dan tempat dia tidur terasa lembab, membuatnya susah terlelap. Willy bergonti-ganti posisi, berharap mendapat posisi nyaman untuk tidur. Tapi malah pikirannya mulai berkecamuk. Otaknya mulai memikirkan berbagai hal.

Memikirkan langkah apa yang harus dia ambil berikutnya. Memikirkan apa yang harus dia lakukan ketika bertemu prajurit elf. Memikirkan bagaimana caranya menemukan Prophet. Memikirkan bagaimana dia bertahan hidup di dunia yang penuh dengan hal mistik. Terlalu banyak banyak hal asing dan tidak dia mengerti.

'Andai dunia ini sama seperti duniaku. Mungkin terasa lebih mudah.'

Lalu, memori tentang rumah mulai terlintas di kepalanya.

Springbed yang sudah mulai rusak. Bantal bau yang tidak pernah dia cuci. Sofa merah keras yang ada di depan televisi. Secangkir kopi instan yang biasa menemaninya saat belajar. Willy merindukan setiap hal kecil di rumahnya. Sekarang dia sadar, betapa mewahnya hal-hal yang sering dia abaikan itu.

Tapi, satu hal yang sangat dia rindukan.

'Mama.'

Tubuh lelah. Otak terasa sakit. Hati remuk. Willy sudah mencapai batasnya pada malam ini. Matanya terpejam. Sebelum tertutup, bulir air mata mengalir. Kemudian, Willy terlelap.

~~~

Hujan berhenti. Kabut tebal mengawan di udara. Embun dingin menggantung di ujung daun. Tetesan air bekas hujan yang masih menempel di pepohonan berjatuhan. Langit masih tampak gelap, tapi bintang-bintang terlihat bersinar.

Sesuatu membangunkan Willy.

Willy terbangun sendirian di dalam lubang akar pohon. Braun yang pamit mencari penghangat belum kembali.

'Orang itu belum kembali. Apa dia meninggalkanku?'

Tiba-tiba, terdengar suara batang patah. Seketika jantung Willy berpacu. Perasaan was-was dan ngeri merambat ke seluruh tubuh.

'Suara apa barusan? Braun? Prajurit elf? Tapi langkahnya terlalu berat.'

Willy memberanikan diri mengintip keluar. Seluruh tubuhnya bergetar karena takut, ingin sekali rasanya dia lari. Tapi lari belum tentu membuatnya hidup. Bisa saja malah sebaliknya.

Saat Willy melihat keluar, matanya membelalak. Bukan Braun atau prajurit elf, melainkan seekor rusa putih jantan dengan tanduk emas. Melihat rusa itu mengusir perasaan takut di dada Willy. Rusa itu berdiri di kejauhan. Seolah-olah dia hanya mengawasi Willy.

Mata mereka saling memandang. Setelah cukup lama, rusa putih itu berpaling dan lari. Spontan Willy berlari mengejarnya. Entah kenapa, firasat Willy mengatakan untuk mengikuti rusa itu. Atau lebih tepatnya rusa itu ingin mengikuti Willy.

Willy berlari sekuat tenaga, menerjang apa saja yang menghalanginya. Matanya hanya tertuju pada rusa putih yang ada di depannya. Lari rusa putih itu sangat kencang, tapi Willy merasa bisa mengejar.

Lama-lama jarak mereka semakin dekat. Tangan Willy berusaha meraih. Tapi ketika jarak mereka dekat, dan Willy hampir meraihnya, seperti ada sesuatu yang membuat jarak mereka terpisah.

'Hampir! Sedikit lagi!'

Willy sangat ingin meraih rusa itu. Tiba-tiba, sesuatu mengait pergelangan kakinya. Willy terjatuh.

*Bruk*

"Woaaah!"

Willy terbangun. Tubuhnya banjir keringat. Suara hujan masih terdengar. Tapi dia merasa hangat. Matanya berputar melihat sekeliling. Lubang akar pohon tertutup oleh semak pakis. Di sebelahnya terdapat api unggun dan Braun yang sedang duduk manis menyaksikan Willy. Ternyata Willy masih berada di dalam lubang akar pohon.

Semua itu tadi hanya mimpi!

'Sial! Mimpi apa barusan?'

"Mimpi buruk, Nak?" tanya Braun. Mulutnya mengunyah sesuatu.

"Tidak, bukan mimpi buruk. Hanya mimpi aneh. Sangat aneh," balas Willy. "Kau sudah lama tiba?"

"Lumayan." Braun menyodorkan jamur bakar pada Willy. "Makanlah dulu. Sulit tidur dengan perut kosong."

Willy menerima sodoran Braun. Empat buah jamur yang di tusuk dengan ranting berada di tangan Willy. Dia agak ragu menggigitnya.

"Terima kasih, Braun. Tapi, kau tahu, kan? Kadang ada jamur yang aman dimakan dan tidak. Menurut--"

"Itu aman," tukas Braun. Dia bicara sambil mengunyah jamur bakar.

Mendengar perkataan Braun yang mantap, Willy memutuskan untuk menggigitnya. Rasa jamur bakar itu sangat mengerikan. Gosong, pahit, dan alot berkumpul jadi satu di mulut Willy. Ingin rasanya Willy membuang jamur bakar itu, tapi perutnya perlu diberi makan.

"Bagaimana? Enak, kan?" tanya Braun dengan menggoda.

"Seperti sampah."

Braun tertawa keras mendengar jawaban Willy.

"Rasanya memang seperti sampah. Tapi lama-lama kau juga akan terbiasa. Aku pernah makan jamur ini selama seminggu penuh saat dulu masih muda."

Willy tidak terkejut mendengar bualan Braun. Dia diam saja, dan fokus menelan makanan di mulutnya.

Sepanjang malam Braun terus bercerita. Mulutnya tidak berhenti berkomat-kamit. Sedangkan Willy hanya mengiyakan saja. Willy sudah terbiasa menghadapi orang tua, terutama mereka yang gemar membual.

"Hahaha, jadi begitulah."

Willy yang sudah mulai jenuh mendengarkan omongan Braun, kemudian mengganti topik.

"Ngomong-ngomong, di luar hujan. Semua pasti basah. Kenapa kau bisa membuat api?"

"Itu mudah. Lihat ini." Tangan braun mengeluarkan selubung cahaya biru tipis.

"Itu..." Willy teringat kejadian saat di medan tempur. Ketika Willy bersembunyi di bawah mayat, Braun mengeluarkan cahaya biru dan menangkis seluruh anak panah yang menghujaninya.

"Ini disebut Aura."

'Aura? Apa itu salah satu skill di dunia ini?'

"Bagaimana caramu mengeluarkan itu? Bisa juga mengeluarkan api?"

Braun terkejut oleh pertanyaan Willy.

"Apa kau benar-benar tidak tahu Aura? Kalau kau seorang prajurit, seharusnya tahu Aura. Ternyata kau memang seorang amatir. Mengejutkan kau masih hidup sampai sekarang." Braun menggeleng kepala.

"Sebetulnya Aura berfungsi untuk menguatkan serangan fisik. Kau bisa menyalurkannya pada senjata, sehingga bisa menebas apa saja. Selain itu, Aura menimbulkan panas. Jadi bisa dibuat untuk membuat api. Hehe."

"Sekuat apa?" tanya Willy penasaran.

"Tergantung seberapa kuat dirimu. Aku pernah melihat seorang ahli pedang memotong batu besar dengan sekali tebas. Masa kau tidak pernah mendengar Aura sama sekali?"

Willy menggeleng kepala.

"Apa kau bisa mengajariku?" pinta Willy.

Di dunia yang kejam, penuh hal yang tidak masuk akal, dan tanpa hukum yang melindungi. Kekuatan ialah kunci untuk bertahan hidup.

"Hahaha. Aura bukan sesuatu yang bisa didapat dari pelajaran, Nak. Kau perlu perlu memahami dan mengalaminya sendiri. Ketika tubuh sudah menyatu dengan senjata, Aura akan terlahir sendiri. Kau harus benar-benar berlatih keras untuk mendapatkannya."

'Sial.'

Tiba-tiba Willy teringat layar panel transparan yang dia lihat saat di pertempuran sebelumnya.

"Kalau aku memaksimalkan level <Basic Swordmanship>, bisa mendapat Aura?"

'Level?' Wajah Braun penuh tanda tanya.

Braun yang masih terdiam, berusaha mencari jawaban yang untuk Willy, dia disembur pertanyaan lain lagi.

"Dan AP itu apa? Berapa punyamu?"

"AP?" Sekarang, tanda tanya besar terlihat jelas di dahi Braun.