webnovel

prolog

Namaku Misya Alneta. Putri tunggal dari pasangan Adino Ambara dan juga Nesya Alnova. Orang-orang memanggilku dengan sebutan Neta, tapi entah kenapa aku lebih suka di panggil dengan awalan namaku.

Tahun ini aku genap menginjak usia 19 tahun. Aku berhasil menyelesaikan masa putih abu-abuku dengan sangat baik. tadinya aku berniat melanjutkan pendidikanku hingga perguruan tinggi. Tapi sayang, takdir menolak semua scenario yang sudah kubuat.

Jakarta 17 april 2047.

Ini kisahku 7 tahun silam. Di mana aku masih bisa melihat indahnya alam semesta dengan segala kesempurnaannya. Sebelum akhirnya semua itu hilang di telan kenyataan pahit yang begitu dalam.

Era kini bukan lagi era di mana tegaknya pancasila kelima di adilkan. Semua diruntuhkan seiring hilangnya akal sehat manusia yang gila akan jabatan. Rakyat kecil yang datang meminta bantuan, di diamkan begitu saja selama rupiah tak tertera. Ada seorang ibu tiri yang menganiaya anak tirinya, di bebaskan begitu saja tanpa menegakkan hukum yang ada. Seseorang yang terkena serangan mental dari berbagai alasan, di bully habis-habisan, akibat salah dalam memilih sudut pandang.

Ini bukan lagi era di mana kau bisa meminta bantuan kepada pihak berwajib, dan ditanganni dengan cepat olehnya. Ini adalah era yang sulit di jelaskan dengan kalimat atau presepsi apa pun. Bisa di katakan era ini adalah era yang tidak lazim lagi untuk di ikuti setiap perkembangan jamannya. Sesulit itulah jaman kini. Jaman di mana kau harus mengikuti orang-orang yang memiliki ilmu tinggi di banding adab yang jauh lebih di yakini.

***

Ruangan petak kecil berlatar putih, yang terdapat berbagai peralatan kesehatan seperti salah satunya, oksigen. Di sudut ruangan itu terlihat satu buah ranjang tunggal dengan sprai berwarna putih. Tirai jendela di sisi kirinya sesekali ditiup angin dari luar sana. Nakas di sisi kananya, menanpung beberapa buah-buahan dan juga bunga lily berwarna putih.

Aroma ruangan itu amat samar tercium bau obat-obatan, akibat farfum pengharum ruangan yang terpasang. Televisi menyala di bagian depan ranjang. Ada beberapa buket bungan besar yang mengisi kosongnya ruangan itu. Di meja depan sofa yang hanya ada duah buah, terdapat beberapa makanan ringan di sana.

Aku, Misya Alneta, yang sedang berada di dalam ruangan tersebut. Aku sadar namun pandanganku gelap. Aku meraba lampu bantu di atas nakas, berharap bisa mencapainya. Namun nihil, lampu bantu yang seharusnya ku raih, justru gelas bening yang tak sampai pada genggamanku jatuh ke lantai akibat sentuhan kasar yang kulakukan.

Bunyinya nyaring hingga mendatangkan orang-orang di luar sana. Riuh pun kudengar gaduh. Dari sosok yang sangat kukenal suaranya, datang mendekat.

"Neta, kamu sudah sadar, Nak?" tanyanya padaku. Aku tidak menjawab apa pun. Pertanyaanku sekarang, kenapa semuanya gelap? Apa sedang mati lampu? Atau aku belum membuka kedua netraku? Tapi sungguh, aku merasa sudah sadar sepenuhnya, tapi tidak penglihatanku.

"Ayah? Neta di mana?" tanyaku begitu lemah.

"Kamu jangan banyak bicara dulu, ya. Biarkan dokter memeriksamu dulu. tenang dan jangan banyak gerak," titah ayah padaku. Meski aku tidak bisa melihat keberadaanya, namun aku mampu merasakan di mana dia sekarang. Suaranya dan juga sosoknya yang hangat, takkan mampu kuhilangkan meski aku tidak bisa menatapnya.

Beberapa saat ketika aku mengangguk mengiyakan titah ayah, aku mendengar lagi suara seorag wanita yang kuyakini itu adalah ibu. Suaranya terdengar bergetar dan semakin jelas kudengar. Artinya dia sudah berada di dekatku.

"Neta, sayang, kamu baik-baik saja kan, nak? Kamu bisa dengar suara mama'kan?"

Aku membalasnya hanya bergumam. Lalu meraba kedua tangan mama yang ia letakkan di wajahku. Dingin, bergetar, dan tampak basah. Aku rasa mama habis menyeka air matanya, sehingga telapak tangannya begitu terasa sangat basah.

"Ma, Neta di mana?" lirihku bertanya.

Mama tak kuasa menahan isaknya. Ia memelukku dengan erat, dengan menjatuhkan tubuhnya di atas tubuhku yang berbaring. Kurasakan deru napas mama yang begitu tak karuan. Dan air matanya mampu menembus seragam abu-abu yang kukenakan, hingga terasa di leherku.

"Sudah, Ma. Biarkan Neta bernapas dengan baik dulu. takut nanti akan menggangu kesehatannya." Ayah berujar sembari menarik pelan tubuh mama, sehingga ia kembali berdiri di tepi ranjangku.

Tunggu? Kesehatan? Apa yang terjadi? Dan ada apa denganku? Sedari tadi aku sadar, tapi aku masih belum bisa melihat setitik cahaya apa pun. Di mana aku? Dan apa yang terjadi padaku?

"Ayah, ibu, Neta di mana? Kenapa neta nggak bisa lihat apa pun?" ujarku bertanya, sembari meraba lagi tangan mama yang sudah hilang.

Ayah dan mama saling melempar tatap. Kedua netra ayah tampak basah dan juga memerah. Wajah mama pucat dan netra itu membengkak. Mereka terlihat kelelahan terpatri jelas di sana.

Belum sempat ayah dan mama menjawa tanyaku, seseorang dengan suara berat pun datang sembari berujar, "Dia sudah siuman?"

Ayah mengangguk. Mereka berdua membuka jalan untuk seseorang itu datang melihatku. Kurasakan sesuatu yang menyentuh pergelangan tanganku. Berlanjut ke dahiku, hingga memeriksa pernapasanku.

"Semuanya sudah kembali normal. Kalian tidak perlu cemas lagi," ucap sosok yang berjubah putih dengan kacamata di wajahnya. Ayah dengan segera melayangkan satu pelukan hangat pada mama, dan membawa istrinya itu menangis di dekapannya. Satu kali telihat ayah melayangkan kecupan di puncak kepala mama.

"Tapi--" sosok yang kuyakini adalah seorang dokter, menjeda ucapannya sejenak.

"Tapi kenapa, dok? Apa ada yang salah?" sahut ayah bertanya.

Dokter itu melirikku sejenak, lalu melempar lagi tatapnya pada ayah. "Kita bisa bicara sebentar?" tanya dokter itu, sembari ia melangkah lebih dulu. Ayah mengangguk samar, lalu mengekori sang dokter. "Jaga neta sebentar." Mama mengangguk, dan membiarkan ayah pergi sendirian untuk berbincang dengan dokter.

"Dia sudah dalam keadaan normal. Semua organnya sudah kembali pulih, dalam minggu ini juga dia sudah boleh di bawa pulang. Tapi satu hal yang kami tidak bisa kembalikan," jelaskan sang dokter, ketika mereka telah sampai pada ruangan petak berlatar putih itu.

Ayah terlihat memanti lanjutan ucapan sang dokter dengan penuh harap dan cemas. "Apa itu, dok?" tanya ayah mencoba berpikir positif.

"Netranya. Dia buta."

Sontak ayah terdiam dan mematung. Mendengar hal yang baru saja di ucapkan dokter itu, terkesan hanya mimpi baginya. Ayah menggelengkan pelan kepalanya. Kedua daun bibirnya kelu tak dapat berseru. Perlahan air mata ayah jatuh tanpa perintah, dan sesak di dadanya mulai mengusik pertahanannya.

"Apa? Bu-buta?" beo ayah terbata-bata. Dokter di depan ayah itu mengangguk kecewa. Ia juga turut menyesal karena tidak bisa berbuat yang terbaik pada pasiennya.

"Kecelakaan itu menghantam keras wajahnya, sehinggga terkena kornea matanya. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyembuhkan luka yang cukup besar di bagian matanya, namun semua sia-sia. Matanya tak akan berpungsi lagi, kecuali ada pendonor yang bersedia melakukannya."

Bagai di sambar petir di siang bolong. Ayah tak kuasa lagi berkata apa-apa, kecuali air mata yang menjadi saksinya.