webnovel

Mak Udin

Malam harinya, setelah lepas shalat isya, Yudi segera memacu langkahnya menyusuri jalan menuju hutan larangan itu diam-diam. Yudi sesekali melirik ke kanan dan kiri, tak lupa setiap beberapa langkah yang berhasil ia lalui akan selalu diiringi dengan pandangan waspada ke arah belakang.

Tentu saja Yudi harus waspada setiap detik. Jangan sampai ada satu pun orang kampung yang melihat gerak geriknya. Apalagi melihat ia berjalan menuju ke hutan larangan itu. Karena sudah bisa dipastikan, mereka akan mengetahui maksud dan tujuan Yudi pergi ke sana.

Tidak butuh waktu lama, Yudi sudah berhasil melangkah masuk lebih dalam ke hutan larangan. Sehingga tampak lah sebuah kampung yang sama seperti kampung pada umumnya. Yudi mempercepat lagi langkahnya. Menuju rumah Mak Udin yang jauh dari rumah-rumah warga lainnya yang dilihat Yudi.

"Selamat malam, Mak. Ambo datang." ucap salam Yudi pada penghuni rumah.

"Masuk lah, Yud." sahut suara sumbang dari dalam rumah.

Seperti kedatangannya yang lalu, Yudi segera masuk setelah membuka pintu yang menimbulkan irama derit yang cukup nyaring di telinga.

Setelah duduk bersila di depan Mak Udin yang masih memejamkan mata sambil komat kamit entah membaca apa.

"Maaf, Mak. Apakah Mak Udin yang datang ke rumahku siang tadi?" tanya Yudi tidak sabar.

Yang ditanya hanya diam. Sambil terua komat kamit dengan mata tertutup. Yudi menelan saliva karena terlalu gugup dan takut. Sebenarnya, Yudi sangat takut untuk bertemu Mak Udin.

Dari cerita yang ia dengar sejak masih kecil, Mak Udin tak segan-segan mengambil nyawa orang yang membuatnya tersinggung. Bahkan jika itu hanya salah paham sekali pun. Karena seperti itulah bentuk balas dendamnya terhadap kematian orang tuanya.

"Adikmu cantik!" ucap Mak Udin tiba-tiba.

Seketika perasaan Yudi menjadi tidak enak. Bulu kuduknya merinding mendengar penuturan Mak Udin.

"Ma-maksud Mak Udin apa dengan mengatakan hal itu?" tanya Yudi dengan berani.

Karena ia tak mau jika adiknya dibawa-bawa dalam masalah ini. Ini adalah keputusannya dan dia yang akan menanggung resikonya. Jangan sampai melibatkan adik atau orang tuanya.

"Aku hanya mengatakan adikmu cantik, dan kau langsung terlihat takut dan khawatir?" Mak Udin tertawa denhan suara besar menggelegar di dalam rumah yang sederhana itu.

"Maafkan aku, Mak. Tapi, aku hanya tak ingin masalah ini dikaitkan dengan keluargaku. Cukup aku saja, Mak."

"Ya.. aku paham, aku mengerti maksudmu itu. Tapi, apakah kau tidak pernah berpikir jika suatu saat seseorang akan melakukan hal yang sama pada adikmu? Seperti kau melakukan ini pada gadis itu sekarang?"

Yudi terdiam sesaat, sebelum akhirnya memberikan jawabannya sendiri. "Adikku adalah gadis yang sopan dan pandai menjaga perasaan orang lain, Mak. Aku yakin, dia tidak akan pernah membuat hati orang lain terluka. Khususnya hati seorang pria!" ucapnya dengan tegas dan lantang.

"Jika ternyata ada, bagaimana?"

Mendengar pertanyaan itu, Yudi kembali terdiam. Mencoba merenungkan jawaban apa yang akan dia berikan pada Mak Udin.

"Aku yakin, Mak Udin bisa membantuku juga dalam hal ini. Aku akan membayar dua kali lipat dari orang yang meminta Mak Udin melakukan hal itu pada adikku." jawabnya dengan sungguh-sungguh.

"Terkadang, segala sesuatu itu tidak selalu diukur dengan uang dan harta. Pekerjaan seperti yang aku kerjakan saat ini, tidak semata-mata mengejar bayaran atau harta yang berlimpah,"

"Lantas apa, Mak?"

"Kepuasan. Dari setiap yang akan aku kerjakan, aku akan memiliki kepuasan tersendiri atasnya. Maka karena itu, aku hanya mengerjakan pekerjaan yang membuatku merasa tertantang."

Kali ini, Yudi tampak mengangguk-angguk kecil tanda bahwa ia memahami maksud dari perkataan Mak Udin.

Namun, Yudi tidak terlalu memikirkan hal itu. Setidaknya untuk saat ini. Ia harus fokus pada masalahnya sendiri terlebih dahulu.

"Mak, bagaimana untuk tahap awal ini kita main-main saja dulu dengan Puti dan keluarganya itu." saran Yudi pada Mak Udin.

"Main-main? Bagaimana maksudmu?" tanya Mak Udin dengan heran.

"Sijundai, Mak. Beri dia sijundai dulu. Jadi, dia bisa merasakan sakitnya saat seseorang menolak perasaan sukanya itu."

Mak Udin berpikir sejenak. Kemudian menunjuk tegas ke arah Yudi.

"Kau sangat ingin balas dendam padanya hingga ia habis tak bersisa? Sampai ia mengemis dan memohon cintamu? Hum?"

Yudi sontak saja terkejut. Ia tak menyangka, Mak Udin terlihat lebih pemarah dari tempo hari. Yudi segera mengangguk pelan. Mak Udin menatap tajam pada kedua bola matanya. Membuat tubuh pria berkulit kuning langsat itu sedikit berkeringat karena takut.

"Baik. Kita habisi dia secara perlahan-lahan. Untuk tahap awal, aku akan mengirimkan 'Sijundai' (semacam pelet atau santet bagi masyarakat minang) itu padanya."

"Iya, Mak. Aku sudah tidak sabar lagi, bagaimana melihat dia merasakan kecewa atas penolakan seperti yang dia lakukan padaku dan pada pemuda-pemuda lainnya di kampung ini!"

"Tenang lah, tidak akan lama lagi. Akan ada seorang pria yang datang ke kampung kita. Dia adalah orang yang biasa hidup di Kota."

"Siapa itu, Mak? Dan, untuk apa dia datang ke kampung ini?" Yudi terlihat sangat penasaran.

"Dia datang karena 'Andung' (Nenek) nya sedang sakit parah. Dia datang bersama kedua orang tuanya yang asli orang kampung ini. Tapi mereka merantau dan sukses di Kota besar. Aku mendapatkan kabar ini siang tadi saat berjalan ke rumahmu."

"Mak.. apakah, orang-orang kampung tau, siapa Mak Udin ini?" tanya Yudi yang tak bisa lagi menyembunyikan rasa penasarannya tentang hal itu.

Mak Udin tertawa renyah. Sambil mengusap-usap janggut putih yang menjuntai di dagunya. Kemudian ia meletakkan kembali tangannya di atas pangkuannya.

"Hanya mereka yang pernah berurusan denganku saja, yang bisa melihat wajah asliku seperti kau melihatku saat ini. Selebihnya, mereka hanya akan melihatku seperti seseorang yang sedang mereka pikirkan atau yang sedang mereka rindukan. Begitu saja, dan saat mereka sadar, aku sudah tidak ada lagi dalam pandangan mereka."

"Ooo..jadi begitu. Pantas saja adikku Mila mengatakan, kalau saat dia hendak menawarkan Mak Udin mengikutinya ke ladang, Mak Udin sudah tidak terlihat lagi."

"Hati dan pikiran adikmu masih bersih dan suci. Dia melihat wajahku yang asli. Dan dia merasakan hawa panas dari dalam diriku. Aku bisa merasakan, bahwa kelak adikmu itu akan menjadi seseorang yang penting dalam kampung ini. Aura positifnya sangat kuat. Bisa jadi, nanti dia menjadi lawanku dalam dunia ghaib!" ucap Mak Udin dengan nada penuh penekanan.

'Mila melawan Mak Udin? Apa tidak salah? Adikku itu masih sangat polos dan tidak tau apa-apa. Selain rajin shalat dan mengajar mengaji ke Surau, Mila tidak pernah kemana-mana lagi.' batinku berkata.

Seolah tau apa yang aku pikirkan, lagi-lagi Mak Udin tertawa dengan suara keras. Aku sempat terlonjak karena kaget.

"Aku tau apa yang kau pikirkan. Tidak lama lagi, adikmu akan selesai sekolah. Dan dia akan memilih mendalami ilmu agama dengan mengikuti suluk. Di situlah nanti kekuatan dalam dirinya yang memang sudah ada saat ini menjadi tambah peka."

"A-apa maksudnya, Mak? Aku sungguh tidak mengerti."

"Mila adikmu itu, bisa jadi orang yang berdiri paling depan dalam menentang yang kau dan aku lakukan saat in. Suatu saat nanti!" ucap Mak Udin serius.

Yudi diam dan menelan salivanya dengan susah payah. Antara percaya dan tidak dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Mak Udin di depannya ini.

"Tapi, Mak. Bagaimana itu mungkin?" Yudi mencoba untuk tidak ingin mempercayai hal yang menurutnya konyol itu.

"Nanti, kau akan tau semuanya. Yang ingin aku tanyakan saat ini, apakah kau masih tetap ingin melanjutkan ritual ini? Meski suatu hari nanti, adikmu sendiri yang akan menentang perbuatanmu? Dan menjadi lawanku tentunya!" tanya Mak Udin lagi dengan raut wajah serius yang tak terbantahkan.

Lagi-lagi, Yudi terdiam. Merenung dan mencerna semuanya terlebih dahulu. 'Tidak mungkin Mila bisa memiliki kekuatan supranatural sehebat itu hingga bisa beradu ilmu dengan Mak Udin! Sebaiknya, aku tidak perlu mencemaskan hal-hal yang tak mungkin seperti itu.' batin Yudi berkata

"Aku tetap ingin melanjutkannya, Mak. Semakin cepat semakin baik. Aku akan mengurus segalanya nanti. Dan soal adikku Mila, biarlah dia menjadi tanggung jawabku. Yang penting, Mak Udin buat Puti merasakan apa yang aku rasakan itu!"

"Baik. Jika itu keputusanmu. Kau tidak bisa mundur lagi ke belakang. Apapun yang terjadi di depanmu, kau harus bisa menghadapinya."

Yudi mengangguk setuju. Kemudian ia pamit untuk pulang. Mengingat hari sudah jam 10 malam. Pasti sudah tidak ada lagi orang yang berjalan keluyuran di kampungnya.

Saat Yudi akan membuka pintu rumah itu, kembali Mak Udin memanggilnya.

"Yudi, ingat! Jangan melihat ke belakang lagi setelah kau meninggalkan tempatku ini!" Mak Udin memperingati Yudi dengan sangat serius.

"Baik, Mak." jawab Yudi.

Meski tidak pernah tau apa alasannya, Yudi tidak berani melanggar larangan Mak Udin. Ia tidak tau, resiko apa yang bisa diterimanya jika melanggar hal itu.

Yudi segera berjalan meninggalkan tempat yang mengerikan itu. Saat turun dari tangga kayu, Yudi melihat seorang wanita memakai gaun merah menyapu lantai. Wanita itu duduk di sebuah kursi yang terus bergoyang. Rambut panjang menutup sebagian wajahnya membuat Yudi tak dapat melihat dengan jelas wajahnya.

Bulu kuduk Yudi berdiri saat terus memandang wanita itu. Dengan perasaan yang tak karuan, Yudi mempercepat langkahnya meninggalkan tempat itu. Yudi tau, bahwa kampung ini berbeda dengan kampung tempat tinggalnya.

Tapi, ia enggan memikirkan lebih jauh mengenai hal itu. Tujuannya bukan ingin mengetahui seluk beluk kampung ghaib itu. Ia hanya ingin segera menyelesaikan misinya. Rasa sakut hatinya itu harus segera terbalaskan.

Setelah berjalan sekitar 10 menit, Yudi sudah kembali melihat suasana yang akrab dalam pandangan matanya. Yudi sudah kembali berada di kampung yang sebenarnya.

Entah mengapa, Yudi merasa ada seseorang yang terus mengikuti dan mengawasi langkahnya hingga sampai ke depan rumah. Saat Yudi membalikkan badan, tidak ada siapa-siapa di sana.