webnovel

Tiga Belas

Aku kembali menjalani hari-hari seperti biasa di rumahku. Rindu yang terbayarkan setelah berada di kamar pribadiku yang tak bisa digantikan dengan apapun. Aku bisa bebas melakukan segala hal di rumah. Bisa bermalas-malasan tanpa gangguan dari manapun. Namun, hal yang aku pikirkan itu ternyata hanya fiktif belaka. Aku lupa bahwa kini aku serumah dengan ibu tiri. Ibu tiriku yang biasa aku panggil dengan sebutan bunda itu sampai saat ini belum dikaruniai anak. Aku yang memang dari awal pernikahan mereka tak pernah setuju memiliki ibu tiri itu, sampai saat ini pun rasa tak nyaman itu masih ada.

Aku yang baru saja lepas dari pendidikan saat itu hanya menjalani hari-hari dengan bermain ke rumah sahabatku, Aini. Dia yang selalu ada saat aku butuhkan di masa-masa aku menjadi pengangguran. Aku bukan tak melakukan pencarian kerja. Sudah. Bahkan sudah banyak aku masukkan surat lamaran saat aku sudah berada di Tangerang. Mulai dari pabrik, sekolah, bimbel, hingga melalui online pun aku jalani. Tapi, ternyata aku salah kaprah. Aku mengira setelah menyandang gelar sarjana, aku akan dengan mudah mendapatkan pekerjaan. Ternyata amat sangat susah!

Selama delapan bulan lamanya aku luntang-lantung ke sana kemari untuk mengikuti tes kerja. Mulai dari tes tulis hingga wawancara. Mulai dari daerah Cikarang, Bekasi, hingga Jakarta pernah aku tempuh seorang diri dengan berbekal kepercayaan diri dan keberanianku. Yang aku pikirkan saat menjalani pencarian kerja dan serangkaian tes itu adalah aku bukan ingin menjadi yang terbaik. Tetapi, aku hanya ingin lolos menjadi pekerja yang nantinya bisa menghasilkan uang sendiri.

Karena selama delapan bulan lamanya aku menjadi penganguran, bukan support yang aku dapatkan dari orang-orang di rumah. Bahkan, bunda pun selalu menanggapiku dengan sinis ketika aku meminta ongkos untuk pergi ke tempat tes kerja. Dia amat perhitungan denganku dan mungkin berpikir, sampai saat lulus pun, aku masih menyusahkan orang tua saja. Bahkan, papa yang biasanya tak pernah peduli dengan urusanku, kini ikut-ikutan menyudutkanku dengan terus memarahiku untuk mencari pekerjaan di luar sana, saat aku sedang bermalas-malasan di kamar. Aku bukan sedang bermalas-malasan, aku hanya menunggu setiap panggilan kerja yang sudah aku kirim melalui online. Tetapi, yang orang tua tahu hanyalah aku yang tak berbuat dan berusaha apa-apa. Sungguh itu adalah masa-masa dimana aku makin tak menyukai bunda. Semakin ia bersikap menyindirku, semakin aku tak ingin mengganggap adanya dia di rumah ini. Sampai kapan pun.

***

Tepat di bulan kedelapan, yaitu Agustus 2015. Aku yang tak lagi memikirkan titel sarjanaku, berlaku nekat dengan mengikuti serangkaian tes kerja selama satu bulan lamanya, yaitu di PT. Mayora Indah, Tbk. Aku pun berani melamar pekerjaan di sana atas dasar saran dari sahabatku, Aini.

Setelah satu bulan mengikuti serangkaian tes, aku melakukan tanda tangan kontrak untuk bekerja selama enam bulan dan menggunakan sistem shift. Ya, aku mulai menjadi anak PT pada September 2015. Dimana setiap seminggu sekali selalu berganti shift. Mulai dari shift pagi, sore, bahkan malam. Aku memasukkan lamaran untuk menjadi operator pabrik kue yang sangat terkenal itu. Salah satu produknya yang aku kerjakan adalah Roma, Better, Coffe Joy, dll.

***

Aku yang memang tak pernah pemilih dalam berteman, mudah saja bagiku untuk mendapatkan teman baru. Walaupun rata-rata pekerja di sana adalah anak-anak lulusan SMA sederajat. Bagiku memberitahu statusku bahwa aku adalah seorang sarjana adalah perlu. Benar saja. Setelah mereka mengetahuinya, rata-rata semuanya menyayangkan mengapa aku mau saja bekerja menjadi kuli pabrik. Mereka berpikir aku telah melakukan hal yang bodoh. Padahal aku bisa saja mengajar dan menjadi guru. Begitulah ujar mereka. Sehingga, mereka pun memanggilku dengan sebutan ibu guru.

Aku bukan tak ingin menjadi guru saat itu. Aku sudah pernah ditawari menjadi guru di tempat tante Ita, istri dari om Aril di Jakarta. Tetapi, setelah berbincang dengan papa, ternyata papa tak setuju. Selain jauh, gajinya pun tak seberapa. Hanya berkisar lima ratus ribu rupiah perbulannya. Maka, aku pun tak memiliki pilihan lain, selain menjalani apa yang menurutku adalah takdir dari Tuhan. Salah satunya adalah berkorban beberapa waktu untuk menjadi kuli pabrik, mendapatkan pengalaman baru, serta gaji yang lumayan pastinya. Tak lain dan tak bukan, aku memang berencana menabung untuk membeli sepeda motor nantinya.

***

Setiap bulan, setiap menerima gaji. Aku yang memang dari kecil sudah diajarkan papa untuk berhemat. Uang yang aku gunakan setiap bulannya memang tak pernah sampai satu juta rupiah. Selain karena aku masih menumpang hidup di rumah, masih makan bersama papa, dan masih ditanggung oleh papa. Bahkan gaji yang aku tabung pun bisa dikatakan hampir 80%. Karena papa yang setiap aku beri sejumlah uang saat aku gajian, ia tak pernah mau menerimanya. Bahkan, ia malah menyuruhku untuk menabungkan uang itu ke bank milikku.

Padahal aku juga ingin seperti teman-temanku yang lain. Saat mereka gajian, sebagian uangnya diberikan untuk orang tua mereka. Tapi, papa tidak seperti itu. Maka, sebagai gantinya, setiap bulannya aku selalu membelikan martabak dan kue-kue yang enak. Sayangnya, setiap aku membeli makanan tersebut, bunda tak pernah mau ikut menikmatinya. Ia selalu beralasan sudah makan, sudah kenyang, tidak suka yang manis, dll sebagai alasannya untuk menolak pemberianku.

Aku mulai kecewa dengan bunda. Aku dengan ceria dan penuh tanda terimakasih, ingin memberi sesuatu untuknya sebagai santunku terhadap orang tua. Namun, aku benar-benar sedih saat itu. Ketika setiap gajian, setiap makanan yang aku beli, tak pernah ia makan. Mencicip sedikit pun tidak. Rasanya ada sakit yang bergejolak. Namun, aku harus tetap ikhlas menerima dengan lapang dada.

Saat itu aku mulai berpikir yang bukan-bukan. Apa salahku? Mengapa bunda seolah tak senang denganku? Padahal aku tak pernah mengusiknya apalagi peduli dengan urusan pribadinya. Bahkan, jika ia bertanya sesuatu yang penting terhadapku, aku selalu menjawab dengan baik dan selalu tersenyum. Namun, sepertinya itu hanya kamuflasenya. Mungkin dia ingin dekat denganku saat ada maunya saja.

***

Bunda juga berasal dari Minang, Bukittinggi tepatnya. Namun, keluarga besarnya sudah banyak yang tinggal di Lampung. Bahkan, ia pun sudah lama tinggal di Puncak, Bogor. Saat menikah dengan papa, ia masih gadis berusia 32 tahun. Aku tak tahu pasti mengapa sampai saat ini ia belum dikaruniai anak. Ia memiliki dua adik perempuan yang sudah memiliki keluarga dan masing-masingnya memiliki satu orang anak perempuan. Namun, sayangnya, adiknya yang terakhir itu sudah bercerai dengan suaminya. Sehingga keponakannya yang satu itu, amat ia sayangi dibanding anak adiknya yang pertama. Terlihat jelas diskriminasi itu terjadi, bahkan diantara keponakannya sendiri.

***