webnovel

Sembilan Belas

Selain Agung, anak buah om yang juga sedang berusaha mendekatiku adalah Sugeng. Ia adalah lelaki berbadan kekar karena selalu fitnes, putih, namun tidak tinggi. Ia asli Jawa. Awalnya sama seperti Agung. Kami berkomentar melalui facebook ketika ada postingan yang di dalamnya terdapat om Aril. Om Aril amat dekat dengan anak buahnya. Ia suka sekali selfie dan mengunggahnya ke facebook.

Sugeng memiliki usia yang sama dengan Agung. Awalnya ia mengabariku ingin menjemputku sepulang kerja. Kami hanya saling sapa ketika pertama bertemu. Yang ternyata, ia juga menggunakan motor Satria. Saat perjalanan pulang, kami hanya mengobrol sedikit. Di situ terlihat kalau Sugeng tidak begitu suka berbicara. Entah mungkin karena baru pertama bertemu. Sedangkan, aku tak ada henti-hentinya bertanya seputar dirinya. Hingga selama perjalanan pun kami banyak diam. Karena aku pun tak mungkin terus-menerus bertanya. Hingga sampai di rumahku pun, ia langsung saja pamit untuk pulang. Agak aneh memang. Apa mungkin karena keadaanku yang baru pulang kerja membuatnya ilfeel terhadapku atau ada hal lain yang membuat ia tak menyukaiku, aku pun tak tahu. Aku tak begitu peduli.

Yang jelas antara Agung dan Sugeng, aku lebih akrab dan nyaman dengan Agung. Agung selalu intens menghubungiku saat itu. Sedangkan, berkomunikasi dengan Sugeng amat jarang. Bahkan terkesan ia terlalu sibuk dengan dunia fitnesnya, mungkin. Karena pernah sekali aku melihat ia memegang piala dan bergaya dengan menunjukkan ototnya yang kekar itu. Aku berpikir ia memang mendalami dunia fitnes sepertinya.

***

Agung dan Sugeng sebenarnya pernah berkata kepadaku bahwa mereka sama-sama memiliki keinginan untuk serius. Serius dalam menjalin hubungan untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Pada umurku yang saat itu sekitar 23 tahun, sama sekali tak pernah terpikir olehku untuk menikah muda. Mungkin membahas masalah menikah adalah hal yang menyenangkan saat itu. Namun, mungkin aku hanya latah ketika teman-teman terdekatku sudah banyak yang memiliki pacar, bahkan suami. Aku yang terkadang iri melihat mereka menjadi berpikir bahwa menikah itu adalah hal yang menyenangkan.

***

Selepas aku memblokir Agung dan tak lagi berkomunikasi dengan mereka, hubunganku dengan anak buah om sudah aku batasi. Aku tak lagi memberi komentar di facebook milik om. Karena ketika aku mengomentari, pasti ada saja yang menghubungkan masalah kedekatanku dengan Agung maupun Sugeng. Hingga aku pun malas meladeni mereka.

Sampailah suatu ketika aku melihat postingan Sugeng. Ia yang telah memiliki pacar, mengunggah fotonya bersama sang pacar. Aku tidak cemburu. Aku hanya sempat berpikir mengapa yang ada di sana bukan aku, ya? Namun, ketika aku melihat profil sang pacar, aku yakin ia juga berasal dari Jawa. Cocoklah. Pikirku.

***

Tak lama setelah itu, aku yang benar-benar sudah lost contact dengan para anak buah om, kembali melihat kabar bahagia dari Sugeng. Ia melangsungkan pernikahan dengan sang kekasih, dengan adat Jawa tentunya. Aku pun berpikir bahwa ternyata selama ini, ia hanya sekedar ingin mengenalku. Syukurlah aku tidak terlalu percaya diri seperti ketika dulu dekat dengan Agung. Aku jadi tidak terlalu sakit melihat postingannya. Aku malah turut berbahagia. Ia sudah menemukan jodohnya yang ternyata bukan aku. Selamat ya, mas Sugeng. Ucapku dalam hati.

***

Lama sekali tak ada kabar mengenai Agung. Yang aku tahu bahwa Agung dan Sugeng adalah karyawan tetap. Mereka pasti masih bekerja di sana. Hanya saja, aku sudah tak tahu bagaimana kabar Agung. Sejak aku blokir, kini yang aku tahu, dia sudah memiliki akun facebook baru. Yang pasti, aku tak ingin lagi mencari tahu apa nama akun facebooknya.

***

Suatu ketika aku bertanya pada om Aril mengenai kabar mereka. Benar, mereka masih bekerja di sana. Sedangkan, om Aril sudah hampir tiga tahun ini mengundurkan diri. Jabatan supervisornya ia lepas karena sudah amat lelah katanya. Karena ia pun juga harus bekerja dengan sistem shift. Itu yang membuatnya sampai terkena penyakit tipes dan harus dirawat di rumah sakit.

Sejak om Aril menikah pada 2011 lalu, ia yang mendapatkan istri seorang guru PNS di Jakarta, harus rela bolak-balik Tangerang-Jakarta untuk bekerja. Memang jaraknya tidak begitu jauh. Namun, jika setiap hari seperti itu ia benar-benar tidak kuat. Apalagi dengan om yang bercerita bahwa ia sempat mengalami kecelakaan, saking kantuk yang menguasainya selepas pulang shift malam. Karena jarak yang membuat ia lelah itulah, hingga kini om dan tante Ita belum memiliki keturunan. Dulu tante Ita sempat hamil. Namun, kandungannya hanya bertahan selama dua bulan saja. Dikarenakan tante Ita memiliki penyakit kista. Dengan amat bersedih mereka harus mengikhlaskan kenyataan tersebut.

Kini om Aril menjadi pengusaha seragam sekolah beserta antek-anteknya. Seperti ATK, sepatu, tas, serta semua perlengkapan sekolah lainnya. Sedangkan rumah yang ia miliki di Tangerang, kini dikontrakan. Terbebas dari buruh pabrik, om Aril kini nampak lebih makmur dengan badannya yang berisi. Jelas sekali bahwa penghasilan antara buruh dan pengusaha itu jauh berbeda.

Padahal ia baru membuka usaha setahun terakhir. Namun, karena pemerintah Jakarta memiliki sistem Kartu Jakarta Pintar (KJP), yang dimana tante Ita juga merupakan guru di daerah tersebut. Pelanggannya pun tak jauh dari anak murid tante Ita, tempat dimana ia mengajar. Saat yang paling ramai adalah saat memasuki tahun ajaran baru. Dimana om Aril tak lagi mampu melayani pelanggannya seorang diri. Untungnya ia dibantu oleh istri, adik ipar, hingga mertuanya.

Sampai suatu ketika om Aril mengalami penyakit tipes kembali. Namun, kali ini ia hanya rehat di rumah saja. Tante mengatakan bahwa om Aril benar-benar totalitas dalam berjualan. Dari hari Senin-Minggu, tak ada hari libur. Bahkan jam kerjanya dimulai dari jam delapan pagi hingga jam sembilan malam. Itu pun tergantung apakah sudah sepi atau belum. Bahkan pernah sampai jam sebelas malam, pembeli masih ada yang berdatangan ke tokonya. Maka, tante Ita berniat untuk menambah karyawan agar ada yang membantu om Aril saat ia sedang berbelanja kebutuhan usahanya. Rencananya adalah Arif. Sepupuku di Padang yang saat ini sedang menyelesaikan skripsinya, akan om Aril ajak untuk membantunya di toko. Sebelum akhirnya kelak ia mendapat pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya.

***

Arif adalah anak dari tanteku, tante Leni. Ia adalah anak kedua. Persis di bawah mamaku. Aku dan Arif hanya berbeda setahun. Ketika aku kuliah di Padangpanjang dulu, ia yang amat care dan baik kepadaku dibandingkan sepupuku yang lainnya, seperti Lydia. Aku pun berharap kelak Arif benar-benar akan merantau. Supaya aku merasa, aku memiliki saudara terdekat. Karena di sini, aku tak memiliki saudara senenek. Saudara papa misalnya, rata-rata mereka tinggal di Padang, beberapa ada yang di Bandung, dan di Jakarta.

Karena Minang itu menganut sistem Matrilineal, yang artinya garis keturunan berasal dari pihak ibu, maka hubunganku dengan saudara papa tidak begitu dekat. Hanya sekedar kenal dan tahu saja. Kecuali keluarga tante Nis. Ia adalah adik papa yang jika aku boleh memanggil, ia adalah mama keduaku. Ia adalah orang yang paling baik dan sangat murah hati. Selama aku di Minang, ia seperti sosok ibu bagiku. Segala kebutuhanku dipenuhi olehnya. Aku merasa seperti anaknya sendiri. Aku pun tak keberatan untuk curhat masalah lelaki yang sedang menjadi pacarku saat itu, bang Ilham. Namun, saat pertemuan itulah, tante Nis sudah tak menyukai bang Ilham. Oleh karena kedekatan itulah, aku beserta anak-anak tante Nis amatlah akrab.

Karena di Minang, adik perempuan dari ayah disebut bako. Bako inilah yang kelak akan membantu aku ketika aku akan menikah nanti. Yang aku ketahui, bako yang akan mempersiapkan keperluan baju adat Minang yang akan kita kenakan, sebelum nanti dilakukan arak-arak sekeliling kampung. Mulai dari rumah bako hingga ke rumahku, jika tempat diadakannya resepsi pernikahan adalah di rumahku. Namun, di zaman modern seperti ini, aku pikir itu hanya berlaku di daerah Sumatera Barat saja. Karena jika sudah berada di daerah lain, seperti di sini misalnya, menikah di rumah atau gedung dengan menggunakan adat Minang saja, sudah lebih dari cukup untuk tetap melestarikan adat Minangkabau tersebut menurutku.

***