Tahun kedua di SMA menjadi babak baru bagi Nadira di SMA Q1 dan Arya di SMA Ginearálta Saor in Aisce 1. Dengan bekal pengalaman dari tahun pertama, mereka berdua semakin paham bahwa jalan menuju mimpi tidak pernah mudah. Namun, mereka terus belajar dari kegagalan, menemukan cara untuk bangkit, dan membuka diri untuk hal-hal baru yang membuat mereka tumbuh lebih kuat.
---
Di tahun kedua, Nadira mulai menyadari bahwa semakin ia dikenal, semakin besar tekanan yang ia hadapi. Di SMA Q1, ia sudah dianggap sebagai siswa teladan. Namun, ekspektasi yang datang dari semua orang mulai membuatnya merasa terbebani.
Masalah di Klub Seni
Sebagai ketua klub seni, Nadira harus menghadapi tekanan untuk terus membuat acara-acara besar yang bisa mengharumkan nama sekolah.
"Nadira, tahun lalu pameran seni kita sukses banget. Tahun ini harus lebih keren lagi!" ujar salah satu anggota klub di rapat.
"Iya, kita harus bikin sesuatu yang beda," tambah yang lain.
Nadira mengangguk sambil mencatat ide-ide yang mereka lontarkan. Tapi di dalam hatinya, ia merasa takut kalau tidak bisa memenuhi harapan mereka.
Setelah rapat, Aryani mendekatinya. "Kamu kelihatan tegang banget, Nadira. Kamu nggak harus selalu jadi sempurna, tau."
"Aku tahu, tapi... kalau aku nggak bisa, mereka bakal kecewa," jawab Nadira pelan.
Aryani menatapnya dengan serius. "Kamu itu manusia, bukan robot. Kalau kamu butuh bantuan, ngomong aja."
Ucapan itu membuat Nadira sadar bahwa ia tidak harus melakukan segalanya sendiri. Ia mulai melibatkan lebih banyak anggota klub dalam perencanaan, memberi mereka ruang untuk menunjukkan kreativitas.
Selain urusan klub, Nadira juga harus menghadapi tugas-tugas sekolah yang semakin sulit. Guru-guru mulai menyiapkan siswa untuk ujian akhir yang akan datang, dan Nadira merasa beban itu semakin berat.
"Aku nggak ngerti gimana caranya nge-handle semuanya," kata Nadira suatu hari kepada Zaki, sahabat belajarnya.
Zaki tersenyum kecil. "Santai, Nadira. Kita bikin jadwal belajar bareng. Kalau kita kerja bareng, pasti lebih ringan."
Mereka mulai belajar bersama setiap sore di perpustakaan.
Zaki membantu Nadira memahami matematika, sementara Nadira membantu Zaki dengan bahasa Inggris.
---
Di sisi lain dunia, Arya juga menghadapi tantangan baru di tahun keduanya.
Ia sudah mulai terbiasa dengan lingkungan Irlandia, tapi tekanan dari sekolah dan tim basket terus meningkat.
Sebagai siswa yang mendapat beasiswa, Arya harus mempertahankan nilai-nilainya tetap tinggi. Tapi beberapa mata pelajaran mulai terasa semakin sulit, terutama bahasa Inggris dan sejarah.
"Arya, kamu butuh belajar lebih banyak untuk esai ini. Analisis kamu bagus, tapi penyampaiannya kurang jelas," kata gurunya saat mengembalikan tugas esainya.
Arya mengangguk, meski dalam hati ia merasa frustrasi. Ia mulai menghabiskan lebih banyak waktu di perpustakaan, berlatih menulis dan memperbaiki tata bahasa Inggrisnya.
Sofia, sahabat belajarnya, selalu siap membantu.
"Arya, coba baca ini. Esai kamu harus lebih terstruktur," kata Sofia sambil menyerahkan buku panduan menulis.
"Thanks, Sofia. Aku bakal coba," jawab Arya.
Dengan bantuan Sofia, Arya perlahan-lahan mulai memahami cara menyusun esai yang baik. Nilainya mulai membaik, memberi Arya kepercayaan diri untuk terus maju.
Sebagai kapten tim basket, Arya juga harus memastikan timnya siap untuk turnamen besar yang akan datang.
"Guys, kita harus fokus! Latihan ini penting buat kita," seru Arya di sela-sela latihan.
Beberapa anggota timnya terlihat lelah, tapi Arya terus mendorong mereka untuk bekerja keras.
"Arya, kamu terlalu serius. Kita juga butuh waktu buat istirahat," kata Liam suatu hari.
Arya tersenyum kecil. "Aku cuma nggak mau kita nyesel nanti, Liam."
Meski keras, anggota tim mulai menghormati Arya sebagai pemimpin. Di turnamen berikutnya, mereka berhasil mencapai semifinal, sebuah pencapaian besar yang membuat seluruh sekolah bangga.
---
Meski sibuk dengan dunia masing-masing, Nadira dan Arya tetap menjaga komunikasi mereka.
"Arya, aku lagi stres banget soal ujian. Rasanya aku nggak cukup pintar," tulis Nadira dalam salah satu emailnya.
Arya membalas, "Nadira, kamu selalu pintar. Jangan terlalu keras sama diri sendiri. Kalau kamu butuh istirahat, ambil aja."
Pesan-pesan itu selalu menjadi pengingat bagi mereka.
---
Di akhir tahun kedua, Nadira berhasil menyelesaikan pameran seni yang luar biasa, sementara Arya memimpin timnya meraih juara kedua di turnamen basket nasional. Keduanya merasa bangga atas pencapaian mereka, meski tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang.
Malam itu, Nadira menerima video call dari Arya.
"Nadira, aku nggak percaya kita udah setengah jalan di SMA," kata Arya sambil tersenyum.
"Iya, rasanya cepat banget, ya," balas Nadira.
Arya menatap Nadira dengan serius. "Kita bakal terus maju, kan? Sampai akhirnya kita bisa ketemu lagi."
Nadira mengangguk, matanya berbinar. "Iya, Arya. Kita pasti bisa."
Memasuki semester kedua di tahun kedua SMA, Nadira dan Arya mulai menemukan ritme baru dalam kehidupan mereka.
---
Di SMA Q1, Nadira semakin sibuk dengan perannya sebagai ketua klub seni. Setelah keberhasilan pameran seni sebelumnya, semua orang berharap lebih. Tapi semakin tinggi harapan, semakin besar pula tekanan yang ia rasakan.
Suatu hari, di rapat mingguan, Nadira memperkenalkan konsep baru untuk pameran berikutnya: seni interaktif yang melibatkan teknologi.
"Kita bikin sesuatu yang beda. Jadi pengunjung nggak cuma lihat karya kita, tapi juga bisa ikut berinteraksi," kata Nadira dengan penuh semangat.
Beberapa anggota terlihat antusias, tapi ada juga yang meragukan.
"Nadira, ide kamu bagus, tapi ini terlalu rumit. Kita nggak punya cukup waktu," ujar Reza, salah satu anggota senior.
"Kita bisa coba pelan-pelan. Kalau kerja sama, pasti bisa," jawab Nadira mencoba meyakinkan.
Namun, konflik semakin memanas ketika beberapa anggota merasa Nadira terlalu memaksakan ide-idenya.
"Kamu tuh kayak nggak denger pendapat orang lain," kata salah satu anggota di luar rapat.
Nadira merasa terpukul. Meski ia mencoba bersikap terbuka, komentar itu membuatnya merasa tidak cukup baik sebagai pemimpin.
Aryani, seperti biasa, menjadi orang pertama yang menyemangati Nadira.
"Nadira, kamu nggak bisa bikin semua orang puas. Yang penting, kamu tahu apa yang kamu lakukan itu benar," ujar Aryani sambil menatap Nadira serius.
"Tapi aku takut ngecewain mereka," balas Nadira pelan.
"Kalau kamu terus dengerin semua orang, kamu malah nggak akan ke mana-mana. Percaya aja sama dirimu sendiri," kata Aryani sambil tersenyum.
Kata-kata Aryani memberi Nadira kekuatan. Ia mulai belajar untuk lebih mendengarkan, tapi juga tetap teguh pada prinsipnya.
---
Sementara itu, di Irlandia, Arya semakin sibuk dengan tanggung jawabnya sebagai kapten tim basket dan siswa berprestasi. Tekanan datang dari berbagai arah, tapi Arya terus berusaha untuk tidak menyerah.
Persahabatan yang Tak Terduga
Di kelas sejarah, Arya bertemu dengan Ethan, seorang siswa yang terkenal cerdas tapi suka menyendiri.
"Ethan, do you want to join our study group?" tanya Arya suatu hari setelah kelas selesai.
Ethan terlihat ragu, tapi akhirnya mengangguk. "Sure, why not?"
Sejak itu, mereka sering belajar bersama. Ethan membantu Arya dengan sejarah, sementara Arya membantu Ethan dengan matematika. Meski kepribadian mereka berbeda, mereka saling melengkapi.
"You're smarter than you think, Arya," kata Ethan suatu malam di perpustakaan.
Arya tersenyum kecil. "Thanks. You're not so bad yourself."
Persahabatan itu memberi Arya semangat baru. Ia merasa bahwa meski jauh dari rumah, ia tidak benar-benar sendirian.
Di sisi lain, Arya harus mempersiapkan timnya untuk pertandingan besar melawan salah satu sekolah terbaik di Irlandia.
"Guys, we need to focus. This game is important," kata Arya saat sesi latihan.
Tapi beberapa anggota tim mulai merasa kelelahan dengan jadwal latihan yang ketat.
"Arya, kita juga butuh istirahat," kata Liam setelah latihan selesai.
Arya terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Oke, besok kita latihan lebih santai. Tapi jangan lupa tetap siap."
Di hari pertandingan, tim Arya berhasil menang dengan skor tipis. Kemenangan itu menjadi bukti bahwa kerja keras mereka tidak sia-sia.
---
Di tengah kesibukan mereka, Arya dan Nadira tetap saling mendukung melalui email dan panggilan video.
"Nadira, kamu harus percaya sama dirimu sendiri. Kamu udah banyak bantu orang lain, sekarang saatnya fokus ke apa yang kamu mau," tulis Arya di salah satu pesannya.
"Arya, aku juga bangga sama kamu. Kamu udah jadi kapten tim basket dan tetap bisa jaga nilai akademik. Aku tahu itu nggak gampang," balas Nadira.
Percakapan sederhana itu selalu memberi mereka kekuatan untuk terus maju.
---
Di akhir tahun kedua, Nadira berhasil menyelesaikan pameran seni yang menjadi salah satu acara paling sukses di SMA Q1. Sementara itu, Arya memimpin timnya meraih juara pertama di turnamen basket antar sekolah.
Malam itu, mereka berbicara melalui video call.
"Arya, aku nggak percaya kita udah sejauh ini," kata Nadira sambil tersenyum.
"Aku juga. Tapi perjalanan kita masih panjang, Nadira. Kita harus terus maju," jawab Arya.
Nadira mengangguk, matanya berbinar. "Iya, Arya. Kita bakal sampai ke sana, bareng-bareng."
Setelah melewati banyak hal dan mengambil pengalaman berharga dari kejadian bulan demi bulan.
Keesokannya berjalan seperti biasa.
---
Sebagai ketua klub seni, Nadira udah ngelewatin berbagai drama. Tapi di tahun terakhir ini, beban yang dia pikul makin gede. Nggak cuma harus mikirin karya yang lebih kreatif, tapi juga persiapan buat lomba seni nasional yang selalu jadi highlight SMA Q1.
"Dir, gue rasa konsep seni digital lo keren banget," kata Aryani sambil ngeliatin sketsa Nadira di meja.
"Lo yakin? Gue takut ini nggak relatable buat juri, tau. Mereka biasanya suka yang lebih klasik," jawab Nadira sambil menatap layar laptopnya yang penuh referensi seni digital.
Aryani, dengan senyum santainya, cuma bilang, "Kalau lo sendiri aja nggak yakin, gimana orang lain? Percaya, Dir. Gue yakin lo bisa."
Dan Nadira pun kembali semangat. Tapi masalah nggak berhenti di situ. Beberapa anggota klub mulai mengeluh karena merasa terlalu ditekan.
"Kenapa semua harus sesuai visi lo, Dir?" tanya Reza saat rapat berlangsung.
Nadira terdiam. Dia tahu ini bakal jadi masalah kalau nggak segera diatasi. Malamnya, dia merenung sambil dengerin playlist lo-fi favoritnya.
"Gue harus gimana, ya? Kalau gue terlalu ngalah, konsep ini nggak bakal jadi. Tapi kalau terlalu keras, mereka malah nggak semangat."
Akhirnya, Nadira bikin langkah baru. Dia mulai ngelibatkan semua anggota buat brainstorming ide bareng. Meski butuh waktu lebih lama, tapi dia sadar, ini cara terbaik biar semua orang merasa didengar.
"Lo beneran beda banget sekarang, Dir. Gue bangga sama lo," ujar Aryani saat mereka selesai rapat.
Nadira cuma bisa senyum.
---
Sementara itu di Irlandia, Arya masih sibuk jadi kapten tim basket. Tapi tahun terakhir ini bikin dia lebih stres dari biasanya. Bukan cuma soal latihan, tapi juga tekanan buat masuk universitas impian.
"Bro, lo sering banget kelihatan lelah akhir-akhir ini. Lo baik-baik aja, kan?" tanya Ethan suatu malam di asrama.
Arya mengangguk kecil. "Gue cuma lagi mikirin gimana caranya ngimbangin semua ini. Gue nggak mau ngecewain siapa pun."
Ethan, dengan gaya cueknya, cuma bilang, "Kadang lo harus ngecewain orang lain biar nggak ngecewain diri sendiri."
Kata-kata itu bikin Arya berpikir. Dia mulai ngatur ulang prioritasnya. Setiap malam, dia bikin jadwal detail, memastikan waktu belajarnya nggak terganggu sama latihan basket.
Tapi tentu aja, nggak semudah itu. Di salah satu sesi latihan, Arya hampir kehilangan kesabaran.
"Guys, fokus dong! Kita nggak bakal menang kalau begini terus," bentaknya ketika salah satu anggota timnya main asal-asalan.
Liam, temannya, langsung ngomong, "Arya, kita ngerti lo mau yang terbaik. Tapi kalau lo terus-terusan kayak gini, kita malah nggak nikmatin permainan ini."
Arya terdiam. Malam itu, dia merenung. "Mungkin gue terlalu ambisius. Gue lupa kalau basket itu harusnya fun."
Sejak saat itu, Arya mulai lebih santai. Dia nggak lagi terlalu keras ke timnya, tapi tetap menjaga semangat mereka. Di pertandingan final, tim mereka menang lagi, dan kali ini rasanya lebih manis karena mereka menikmati setiap prosesnya.
---
Meski jarak memisahkan, Nadira dan Arya tetap saling support. Setiap malam, mereka ngobrol lewat video call atau tukeran pesan.
"Nadira, lo tahu nggak? Gue baru sadar, kadang kita harus ngecewain orang lain biar nggak ngecewain diri sendiri," kata Arya suatu malam.
Nadira tersenyum kecil. "Gue juga belajar itu, Arya. Kita nggak bisa bikin semua orang senang, tapi kita bisa tetep jadi diri sendiri."
Obrolan mereka selalu bikin keduanya merasa nggak sendirian.
---
Akhir bulan ajaran tiba, dan Nadira berhasil bikin pameran seni digital yang jadi pusat perhatian. Bahkan, karyanya berhasil masuk nominasi lomba seni nasional. Di sisi lain, Arya diterima di universitas impiannya sambil membawa timnya jadi juara nasional basket untuk pertama kalinya.
Di malam penuh kebanggaan itu, mereka ngobrol lagi lewat video call.
"Nadira, gue nggak nyangka kita bisa sejauh ini," kata Arya dengan senyum lebar.
"Gue juga, Arya. Tapi ini belum akhir. Kita masih punya banyak hal yang harus dikejar."
Arya mengangguk. "Bener. Dan gue tahu, kita bakal sampai ke sana. Bareng-bareng."
Nadira tersenyum. "Bareng-bareng."
Tahun kedua SMA belum sepenuhnya selesai buat Nadira dan Arya.
---
Setelah rapat-rapat penuh drama, Nadira akhirnya mulai ngerti kalau jadi pemimpin itu nggak bisa terlalu idealis atau terlalu ngejar ego sendiri. Ide seni interaktifnya udah disetujui, tapi eksekusinya nggak semudah itu. Semua orang di klub seni punya gaya masing-masing, dan nggak semua bisa langsung nyambung sama konsep barunya.
"Nadira, ini sketsa gue. Tapi kayaknya gue agak bingung gimana ngaitinnya sama teknologi," kata Karin, salah satu anggota yang paling rajin.
Nadira ngeliatin sketsa itu lama. "Karin, gue suka banget konsep lo. Mungkin kita bisa tambahin elemen LED di sini, jadi pas orang nyentuh, bakal ada efek warna."
Karin mengangguk, tapi Nadira bisa lihat kalau temannya itu masih agak ragu. Dia tahu, jadi pemimpin itu nggak cukup cuma ngasih solusi, tapi juga harus ngajak orang buat percaya.
Malamnya, Nadira ngabisin waktu di studio seni bareng Karin, ngulik bareng dan coba berbagai ide. Pelan-pelan, tim mereka mulai kompak lagi. Bahkan Reza, yang tadinya paling skeptis, mulai ngasih masukan yang berguna.
"Dir, gue suka arah proyek ini. Tapi lo harus siap, juri mungkin nggak bakal ngerti konsep ini langsung," kata Reza suatu hari.
"Iya, makanya kita harus bikin presentasinya sesederhana mungkin. Yang penting, orang bisa ngerasain vibe-nya," jawab Nadira sambil senyum kecil.
Hari pameran akhirnya tiba. Meskipun mereka sempat nervous, respon dari pengunjung dan juri bikin semuanya terbayar. Banyak yang bilang proyek mereka beda dari yang lain, bahkan beberapa guru sampe minta proyek itu dipamerin di acara sekolah berikutnya.
---
Sementara itu, Arya masih berusaha cari ritme di Irlandia. Meski dia udah punya beberapa temen kayak Ethan, rasanya tetep ada momen-momen di mana dia kangen banget sama Indonesia.
Di tengah kesibukannya, Arya mulai gabung sama klub diskusi internasional. Awalnya dia cuma mau cari pengalaman, tapi lama-lama dia sadar kalau ini tempat yang pas buat belajar hal baru dan bikin temen.
"Arya, are you joining the debate this weekend?" tanya Ethan suatu sore di perpustakaan.
Arya mengangguk. "Yeah, but I'm nervous. I'm not sure if my English is good enough for that."
Ethan ketawa kecil. "Trust me, you'll do great. Just be yourself."
Latihan demi latihan bikin Arya makin percaya diri. Dia bahkan mulai terbiasa sama aksen Irlandia yang awalnya bikin pusing. Hari debat tiba, dan meskipun Arya nggak jadi pembicara utama, dia berhasil nyumbang argumen yang bikin timnya menang.
Setelah debat selesai, Ethan bilang, "You surprised me today, Arya. You were amazing out there."
Arya cuma senyum kecil. Dia nggak nyangka, pelan-pelan dia mulai merasa lebih nyaman di lingkungan barunya.
---
Di sela kesibukan masing-masing, Nadira dan Arya tetep nyempetin buat ngobrol. Kadang lewat video call, kadang cuma lewat email singkat, tapi itu udah cukup buat bikin mereka inget kalau mereka nggak sendirian.
"Nadira, gue ngerasa kayak gue lagi belajar ulang gimana caranya jadi diri sendiri. Di sini semuanya beda banget," tulis Arya dalam salah satu emailnya.
"Gue ngerti, Arya. Tapi gue yakin lo bakal bisa. Lo selalu punya cara buat bikin sesuatu yang susah jadi mungkin," balas Nadira.
Percakapan sederhana kayak gini selalu jadi penyemangat buat mereka.
---
Seiring berjalannya waktu, masalah baru muncul. Di klub seni, Nadira harus menghadapi kritik dari guru pembimbing yang merasa konsep mereka terlalu modern dan nggak sesuai tema sekolah.
"Nadira, kamu harus ingat kalau karya seni itu nggak cuma soal teknologi. Ini harus ada nilai tradisionalnya juga," kata Pak Haris, guru seni mereka.
Nadira bingung. Dia nggak mau ninggalin konsep awal, tapi dia juga nggak mau ngecewain gurunya.
Di sisi lain, Arya mulai kesulitan ngatur waktu antara tim basket, belajar, dan kegiatan klub. Bahkan Ethan, yang biasanya kalem, mulai ngomong, "Arya, you need to slow down. You can't do everything at once."
Tapi Arya nggak mau berhenti. Dia ngerasa kalau dia mundur, semuanya bakal berantakan. Sampai suatu hari, dia sakit karena terlalu capek. Itu jadi wake-up call buat dia.
"Gue harus belajar buat bilang 'nggak' ke beberapa hal," pikir Arya.
---
Di akhir semester, Nadira akhirnya berhasil nemuin cara buat ngegabungin seni tradisional dan teknologi. Karyanya jadi simbol dari kompromi yang indah, sesuatu yang bikin semua pihak puas.
Sementara itu, Arya berhasil ngebawa tim basketnya menang di turnamen lokal, meskipun dia sempat harus ngorbanin beberapa kegiatan lain.
Malam itu, mereka ngobrol lagi lewat video call.
"Nadira, gue belajar satu hal penting: nggak semua hal harus kita kerjain sendiri. Kadang, kita butuh orang lain buat ngebantu," kata Arya.
"Iya, Arya. Gue juga belajar kalau kompromi itu penting. Kita nggak bisa jalan sendiri tanpa dengerin orang lain," jawab Nadira.
Mereka tertawa kecil. Di tengah semua tantangan.
Hari itu, seluruh siswa SMA Q1 bersorak kegirangan.
Pengumuman libur panjang tiga bulan dari kepala sekolah bener-bener kayak oasis di tengah padang pasir.
Semua kerja keras mereka akhirnya terbayar lunas.
Tapi buat Nadira, kabar itu nggak cuma soal libur panjang.
Di sisi lain dunia, Arya lagi duduk di kursi kamarnya sambil bolak-balik ngeliatin email pengumuman dari sekolah.
Dia baru aja dapat kabar kalau mereka boleh pulang ke rumah selama libur musim panas.
Tanpa pikir panjang, Arya langsung ambil ponselnya dan neken tombol video call ke Nadira.
Layar ponsel Nadira bergetar, menampilkan nama "Arya" yang terpampang besar. Dia buru-buru ngangkat panggilan itu.
"Ada apa, Arya? Kok tumben video call?" Nadira bertanya, wajahnya penasaran.
"Nadira," Arya menarik napas panjang, seolah menahan sesuatu yang besar, "Gue pulang ke Indonesia. Libur tiga bulan, Dir."
Mata Nadira melebar. "Serius, Arya? Lo balik beneran?!"
Arya mengangguk sambil senyum lebar. "Gue serius. Dan gue mau ketemu sama lo. Kita bikin janji ketemuan, Nadira. Di tempat favorit lo."
Nadira berpikir sejenak, tapi senyumnya perlahan muncul. "Pantai. Gue mau ketemu di pantai."
---
Hari-hari menjelang kepulangan Arya terasa panjang buat mereka berdua. Nadira nggak bisa berhenti senyum setiap kali bayangin ketemu Arya. Rasanya kayak mimpi jadi kenyataan.
Sementara itu, Arya sibuk ngerapiin koper dan mikirin gimana caranya bikin momen ini jadi spesial. Dia nggak mau pertemuan mereka biasa-biasa aja.
"Ethan, gue beneran nervous. Gue pengen bilang sesuatu yang penting ke Nadira, tapi gue takut salah ngomong," kata Arya sambil mainin resleting tasnya.
Ethan, dengan gayanya yang selalu santai, cuma bilang, "Just be honest. If it's important to you, she'll understand."
---
Hari itu akhirnya tiba. Arya baru mendarat di Jakarta pagi-pagi buta. Udara tropis langsung menyambutnya, bikin dia kangen banget sama suasana rumah. Tapi dia nggak langsung pulang. Dia minta ayahnya buat langsung nganterin ke pantai tempat dia janjian sama Nadira.
Nadira sendiri udah ada di sana, duduk di bawah payung pantai sambil mainin pasir. Deburan ombak dan angin laut bikin suasana terasa tenang, tapi hatinya berdebar. Dia udah lama nggak ketemu Arya, dan sekarang mereka bakal ngobrol langsung.
Ketika Arya muncul dari kejauhan, Nadira langsung berdiri. Dia melambai, dan Arya balas senyum sambil berjalan lebih cepat.
"Nadira!" seru Arya begitu dia sampai di depan Nadira.
"Lo beneran di sini," kata Nadira, suaranya pelan, hampir kayak nggak percaya.
"Iya, Nadira. Gue di sini," jawab Arya sambil berdiri canggung.
Mereka saling tatap sejenak, sebelum akhirnya tertawa kecil.
Semua kecanggungan lenyap begitu aja.
---
Waktu terus berjalan, dan matahari perlahan tenggelam di ufuk barat.
Langit berubah jadi jingga keunguan, menciptakan suasana yang hangat dan romantis.
Mereka duduk di pasir, membiarkan ombak kecil menyentuh kaki mereka.
"Arya, lo nggak nyangka, kan? Kita akhirnya ketemu lagi," kata Nadira sambil tersenyum kecil.
"Gue selalu pengen ketemu lo, Nadira. Selama di sana, lo yang selalu ada di pikiran gue," jawab Arya dengan suara serius.
Nadira menoleh, sedikit kaget. "Arya, maksud lo apa?"
Arya menarik napas dalam.
"Nadira, gue suka sama lo. Dari dulu, gue udah punya perasaan ini. Tapi gue nggak pernah punya keberanian buat bilang langsung. Dan sekarang, gue nggak mau nunggu lebih lama lagi."
Kata-kata Arya bikin Nadira terdiam.
Jantungnya berdetak kencang, pipi nya merona, tapi dia nggak bisa menahan senyumnya.
"Arya, gue juga suka sama lo. Gue cuma nggak tahu kapan harus bilang."
Mereka saling tatap.
Perlahan, Arya mendekat, dan Nadira nggak mundur.
Saat bibir mereka bertemu, rasanya kayak dunia berhenti sejenak.
Mereka menikmati moment tersebut selama satu jam walaupun Nadira sempat terengah-engah.
Senja di belakang mereka jadi saksi dari ungkapan cinta mereka yang tulus.
menciptakan bayangan indah di pantai yang sunyi, di sana hanya mereka berdua yang menikmati moment romantis hingga keduanya puas.
Setelah momen indah di pantai, Arya nggak bisa berhenti tersenyum.
Nadira juga ngerasa hatinya begitu penuh, kayak semua hal yang selama ini terasa berat akhirnya punya titik terang.
Tapi Arya nggak mau momen itu berakhir gitu aja.
Dia nyalain ponselnya dan langsung ngecek aplikasi booking hotel bernama Ahihihihi.
Pilihannya jatuh ke hotel bintang tujuh yang terkenal megah, tempat yang pas buat merayakan momen spesial ini bareng keluarga.
"Nadira, gue mau ngajak keluarga gue buat liburan di hotel ini. Lo juga ajak keluarga lo, yuk. Kita rayain bareng-bareng," kata Arya sambil nunjukin layar ponselnya ke Nadira.
Nadira ngeliatin detail hotel itu, matanya membesar.
"Ya ampun, Arya. Ini beneran lo ? Hotel ini mahal banget, tau!"
Arya cuma senyum santai.
"Santai aja. Ini liburan pertama gue di Indonesia setelah sekian lama. Gue mau bikin ini spesial. Lagian, kan, gue nggak bakal nikmatin ini sendirian. Gue mau keluarga kita juga ikut."
Nadira akhirnya mengangguk, meski masih agak nggak percaya. Dia langsung nelpon ayah dan ibunya buat ngasih kabar ini. Di ujung telepon, suara ibunya terdengar senang banget.
"Beneran, Dir? Hotel semewah itu? Wah, Arya baik banget ngajak kita," ujar ibunya Nadira dengan nada girang.
Sementara itu, Arya juga sibuk ngajak orang tuanya. Sang ibu sempat ragu, tapi setelah Arya meyakinkan kalau ini bentuk apresiasinya buat mereka, keluarganya setuju ikut.
---
Malam itu, Arya dan Nadira bersama keluarga mereka masing-masing tiba di hotel bintang tujuh. Lobby-nya aja udah bikin mata mereka kagum. Lampu kristal menggantung megah, karpet merah membentang, dan pelayanan yang ramah bikin mereka langsung ngerasa seperti bangsawan.
"Kok kayak mimpi ya, Ma?" bisik Nadira ke ibunya sambil ngeliatin kamar mereka yang luas banget. Ada bathtub marmer, balkon dengan view kota yang gemerlap, bahkan pelayan yang siap nganterin apa aja kapan pun mereka mau.
Sementara itu, Arya sibuk memastikan semua keluarganya nyaman. Dia bahkan sengaja nyewa suite terbesar di hotel itu buat dijadiin tempat kumpul bersama.
"Kita di sini buat santai. Jadi, nggak usah mikirin apa-apa, ya," kata Arya sambil nyengir ke adiknya yang masih kagum ngeliatin kolam renang rooftop.
Hari-hari di hotel itu penuh dengan tawa dan kebersamaan.
Nadira dan Arya nggak cuma nikmatin waktu bareng keluarga mereka, tapi juga bikin kedua keluarga makin akrab.
"Gue seneng, Dir. Keluarga gue sama keluarga lo kayak langsung klik gitu," kata Arya suatu malam sambil duduk di balkon bareng Nadira.
"Iya, Arya. Gue juga ngerasa bersyukur banget. Semua ini kayak mimpi indah," jawab Nadira sambil menatap bintang di langit.
---
Setelah sebulan penuh menikmati liburan bareng keluarga, Arya dan Nadira mulai ngerasa mereka butuh waktu buat diri mereka sendiri. Bukan karena nggak betah bareng keluarga, tapi ada banyak hal yang pengen mereka omongin dan lakuin berdua.
"Dir, gue punya ide. Gimana kalau kita pergi liburan sendiri? Bukan karena gue nggak suka bareng keluarga, tapi gue pengen kita punya waktu buat lebih kenal satu sama lain. Kita jalan-jalan keliling tempat yang lo suka," kata Arya sambil nyeruput kopi di lounge hotel.
Nadira terdiam sejenak, tapi senyum kecil muncul di wajahnya. "Gue setuju. Tapi lo harus janji nggak overdo it. Gue nggak butuh hotel mewah atau apa pun. Gue cuma pengen waktu kita bareng aja."
Arya ketawa kecil. "Deal. Gue janji, Dir."
Malam itu, mereka berpamitan ke kedua keluarga besar. Nadira sempat meluk ibunya erat, sementara Arya juga pamit dengan rasa syukur ke orang tuanya.
"Ibu bangga banget sama kamu, Arya. Nikmati waktu liburanmu, tapi jangan lupa tetap hati-hati, ya," pesan ibunya sambil tersenyum hangat.
"Iya, Bu. Arya janji," jawabnya.
---
Dengan rencana yang simpel tapi penuh makna, Arya dan Nadira memulai perjalanan mereka.
Tanpa banyak beban, mereka fokus menikmati waktu bersama, menjelajah tempat-tempat yang penuh kenangan dan cerita.
Setelah perjalanan panjang dan serangkaian momen tak terlupakan, Arya dan Nadira kini memulai babak baru dalam liburan mereka. Kali ini, tujuan mereka adalah Jawa Timur, sebuah daerah yang dikenal dengan keindahan pantai dan pesonanya yang bikin hati adem.
---
Di bandara, Arya langsung pesan tiket premium untuk penerbangan mereka. Dengan nyaman, mereka duduk di kursi besar yang empuk, lengkap dengan layar hiburan pribadi dan makanan berkualitas tinggi.
Nadira masih nggak bisa percaya gimana Arya selalu memastikan semuanya berjalan sempurna.
"Gue nggak ngerti deh, Arya. Lo kayak udah expert banget soal liburan mewah gini," kata Nadira sambil tertawa kecil.
Arya cuma senyum santai. "Gue cuma pengen bikin liburan kita ini jadi sesuatu yang nggak bisa kita lupain, Dir. Lagian, lo deserve yang terbaik."
Saat pesawat mulai terbang stabil, Arya mendekat ke arah Nadira, dan tanpa peringatan, dia mendaratkan ciuman yang dalam di bibir Nadira.
Nadira sempat terkejut, tapi dia nggak nolak.
Sebaliknya, dia malah menikmati momen itu, membiarkan rasa cinta mereka menyatu di tengah suasana premium kabin pesawat.
"Lo emang selalu suka bikin gue kaget ya, Arya," ujar Nadira sambil tersenyum setelah mereka berhenti.
Arya ketawa kecil. "Gue nggak bisa tahan, Dir. Lo bikin gue nggak mau nunggu lebih lama lagi."
---
Setelah beberapa jam perjalanan, mereka akhirnya mendarat di bandara Jawa Timur.
Udara hangat langsung menyapa mereka begitu keluar dari terminal.
Arya udah nyiapin mobil sewaan buat perjalanan ke tujuan berikutnya: sebuah pantai indah yang tersembunyi dan jauh dari keramaian.
Di perjalanan, Nadira sibuk ngeliatin pemandangan dari jendela. Sawah hijau, gunung di kejauhan, dan langit biru yang cerah bikin dia nggak bisa berhenti tersenyum.
"Gue nggak pernah nyangka Jawa Timur secantik ini, Arya. Kayak lo nemuin tempat yang bener-bener beda dari yang lain," katanya sambil menoleh ke Arya.
Arya, yang lagi fokus nyetir, cuma senyum. "Gue cuma pengen lo happy, Dir. Gue tahu tempat ini bakal bikin lo jatuh cinta."
---
Begitu sampai di pantai, Arya langsung ngajak Nadira check-in di hotel Mahkota yang lokasinya nggak jauh dari garis pantai. Hotel ini beda dari yang sebelumnya. Meski tetap mewah, desainnya lebih modern dengan sentuhan tradisional Jawa. Ada banyak ornamen ukiran kayu dan batik di setiap sudutnya.
"Mereka bener-bener ngerti gimana cara bikin tamu merasa spesial," ujar Nadira sambil ngeliatin kamar mereka yang luas banget. Ada dapur kecil, ruang makan pribadi, dan balkon besar yang langsung menghadap ke pantai.
"Nggak cuma lo yang spesial di sini, Dir. Tempat ini juga spesial karena gue ada bareng lo," balas Arya sambil menggoda.
Nadira ketawa kecil, tapi dalam hatinya dia merasa bersyukur banget.
---
Malam itu, mereka duduk di pantai dengan sebuah tikar dan beberapa makanan ringan. Langit penuh bintang, dan suara ombak jadi musik pengiring obrolan mereka.
"Dir, lo inget nggak gimana dulu lo selalu ribut sama Reza di klub seni?" Arya memulai dengan tawa kecil.
Nadira ikut ketawa. "Yaelah, Arya. Jangan diinget-inget lagi deh. Tapi serius, gue beneran belajar banyak dari semua drama itu. Kalau gue nggak ngalamin, gue nggak bakal ngerti gimana caranya jadi pemimpin yang lebih baik."
Arya mengangguk. "Lo keren banget, Dir. Gue selalu kagum sama cara lo nge-handle semua hal. Di sisi lain, gue di Irlandia juga harus belajar adaptasi dari nol. Bahasa, budaya, bahkan cara orang bergaul di sana beda banget. Awalnya gue ngerasa kesepian, tapi gue bersyukur akhirnya gue nemuin temen-temen yang bikin gue betah."
Mereka saling berbagi cerita, dari perjuangan masing-masing sampai mimpi-mimpi di masa depan. Nadira bercerita tentang impiannya buat bikin pameran seni yang lebih besar lagi, sementara Arya bicara tentang ambisinya jadi pemain basket profesional sekaligus mengejar pendidikan tinggi.
"Mimpi kita beda, tapi gue yakin kita bakal saling support terus," kata Arya sambil menggenggam tangan Nadira.
"Pasti, Arya. Kita bakal jadi tim yang nggak bisa dikalahin," jawab Nadira dengan senyum percaya diri.
---
Liburan di Jawa Timur jadi momen yang nggak akan mereka lupain. Mereka nggak cuma nikmatin waktu bersama, tapi juga makin ngerti satu sama lain. Dari makan malam romantis di tepi pantai sampai snorkeling bareng di laut biru jernih, semuanya terasa sempurna.
Namun, di balik semua kesenangan itu, mereka sadar kalau waktu terus berjalan.
Liburan mereka nggak selamanya, dan kehidupan di SMA Q1 bakal nunggu mereka kembali.
Di malam terakhir mereka di pantai, Arya menatap Nadira sambil berkata, "Dir, apapun yang bakal kita hadapi nanti, gue yakin kita bisa ngatasin. Lo selalu jadi alasan gue buat terus maju."
Nadira mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Gue juga, Arya. Kita udah ngelewatin banyak hal. Gue percaya, apa pun yang terjadi, kita bakal baik-baik aja."
Setelah perjalanan indah mereka di pantai, Nadira memutuskan untuk menghabiskan sisa waktu liburnya di kampung halaman.
Sebuah tempat yang selalu bikin dia ngerasa damai, jauh dari hiruk-pikuk kota besar.
Tapi kali ini, Nadira nggak mau menikmati momen itu sendirian.
Dia ngajak Arya untuk ikut, walaupun dengan satu syarat= Arya harus nge-kost di dekat rumahnya.
"Sebentar-Sebentar Aku sedang membaca fikiran para pembaca" Nadira bergumam.
"Pasti kalian mikir kalau ajakan ku ke arya kesannya memaksa, iya kan ?..., huh... , ya terserah gue dong mau ngajak Arya dengan cara kayak gimana, aku yang bikin syarat kok kalian juga yang kesal"
"Engga-ko-engga, becanda aja deh gue, sebenernya gue nyuruh nge-kost supaya bisa mampir ke rumah ku di tempat aku lahir."
"kaaabur ah sebelum pembaca nya ngasih bintang satu"
"Nadira Menghilang"
---
Hari pertama Arya sampai di kampung halaman Nadira, dia langsung terkagum-kagum.
Jalanan kecil yang dihiasi pohon rindang, suara burung yang ceria di pagi hari, dan udara segar yang jauh beda dari kota bikin Arya merasa langsung jatuh cinta sama tempat itu.
"Gue paham kenapa lo suka banget di sini, Dir. Tempat ini kayak punya vibe yang beda," kata Arya saat pertama kali berkunjung ke rumah Nadira.
Nadira, yang duduk di beranda rumahnya, cuma senyum kecil.
"Gue nggak tahu kenapa, tapi setiap kali gue di sini, semua beban rasanya hilang. Lo harus coba ngejalanin hari-hari di sini, Arya. Lo bakal ngerti kenapa gue sayang banget sama tempat ini."
Arya cuma ketawa kecil.
"Oke, gue bakal coba. Tapi lo jangan kaget kalau gue sering ke sini buat nebeng makan sama curhat."
Nadira melirik sambil senyum jahil.
"Asal jangan lupa bawa oleh-oleh tiap ke sini, gue nggak bakal ngusir lo."
---
Setiap sore, Arya selalu datang ke rumah Nadira. Mereka duduk di kursi kayu tua di halaman, di bawah pohon besar yang udah jadi saksi banyak cerita dari Nadira kecil. Di situ, mereka ngobrol panjang soal kehidupan, mimpi, dan perjalanan mereka selama dua tahun terakhir.
"Dir, lo sadar nggak, kita udah sejauh ini?" tanya Arya suatu sore sambil mainin daun kering di tangannya.
Nadira mengangguk pelan.
"Iya, Arya. Kadang gue sendiri nggak percaya kita bisa ngelewatin semua itu. Lo tahu, jadi ketua klub seni itu nggak gampang. Gue sering banget ngerasa capek dan pengen nyerah. Tapi lo selalu bikin gue inget kalau gue nggak boleh berhenti."
Arya tersenyum.
"Lo hebat, Dir. Gue yakin semua orang yang pernah kerja bareng lo juga ngerasa kalau lo adalah pemimpin yang nggak cuma bikin ide-ide keren, tapi juga bikin mereka percaya diri."
Nadira melirik Arya dengan mata berbinar.
"Lo terlalu baik, Arya. Kalau gue nggak punya lo, mungkin gue udah lama nyerah."
Arya mengangkat bahu.
"Gue cuma bantu lo, inget kalau lo punya potensi yang gede banget, Lagian, lo juga sering nolong gue, Lo tahu nggak, pas gue di Irlandia, gue sering banget buka email lo tiap kali gue lagi down, Kata-kata lo selalu bikin gue jadi bersemangat."
Obrolan mereka terus berlanjut, dari soal pengalaman menang turnamen basket Arya sampai gimana Nadira berhasil bikin karya seni yang diakui banyak orang.
---
Suatu malam, setelah ngobrol lama di halaman, suasana jadi lebih tenang.
Angin malam yang lembut dan cahaya remang dari lampu teras menjadi kenyamanan tersendiri untuk dira.
Nadira menatap Arya sangat lama, dan Arya bisa ngerasa ada sesuatu yang beda malam itu.
"Arya," kata Nadira pelan, suaranya hampir berbisik.
Arya menoleh, kaget ngeliat mata Nadira yang penuh rasa. "Ada apa, Dir?"
Tanpa banyak kata, Nadira mendekat, menaruh tangan kanan nya di pipi Arya, dan sebelum Arya sempat bereaksi, Nadira mencium bibirnya.
Ciuman itu sangat dalam, penuh rasa cinta, tapi tetap lembut, seolah Nadira mau bilang sesuatu yang nggak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Arya terdiam sesaat setelah mereka berhenti. Dia nggak nyangka Nadira bakal seberani itu. "Dir, lo—"
"Ssst, jangan ngomong apa-apa," potong Nadira sambil tersenyum kecil, pipinya merah.
"Gue cuma pengen lo tahu, gue sayang banget sama lo. Bukan cuma sebagai temen, tapi lebih dari itu."
Arya tersenyum lebar, matanya nggak lepas dari Nadira.
"Gue udah tahu itu, Dir. Dan gue juga ngerasa hal yang sama."
Malam itu jadi momen yang nggak bakal mereka lupain.
Di bawah langit malam kampung halaman yang tenang, dua hati yang saling menyayangi akhirnya benar-benar menyatu tanpa ragu.