webnovel

Akuisisi terakhir sang presidir

Author: NeroDraven
Realistic
Ongoing · 5.7K Views
  • 1 Chs
    Content
  • ratings
  • N/A
    SUPPORT
Synopsis

Seorang pengusaha besar di kota tiba-tiba menawariku sebuah pernikahan, Aku tahu ini bukan tentang cinta, melainkan kesepakatan bisnis semata. Aku seharusnya bisa menjaga jarak sambil tetap bermain peran hingga bertahan sampai semuanya berakhir. Tapi semakin lama aku berada di dunianya, semakin sulit bagiku untuk berpura-pura. Yuk simak cerita yang di kembangkan oleh satu penulis ini yang terinspirasi dari kisah keluarga~

Chapter 1PROLOG— Menjual diriku demi finansial perusahaan yang stabil

Malam itu, tanggal dua puluh satu, bulan Juli, udara di dalam restoran terasa menegangkan.

Aku duduk di salah satu sudut privat, menyesap segelas wine.

Di seberang meja, Nathaniel Ardian menatapku.

Aku meletakkan gelasku dengan denting di meja. "Aku tidak punya banyak waktu untuk basa-basi, Nate, Langsung saja ke intinya."

"Selalu efisien, Aku menyukainya," ujarnya, suaranya tenang.

Dia menyandarkan tubuhnya, melipat tangan di atas meja. "Aku menginginkan sesuatu yang hanya bisa kamu berikan."

Aku tertawa kering. "Lagi ? Peran apa yang harus kumainkan kali ini ? Pasangan pura-pura untuk menenangkan dewan direksimu ? Atau kamu butuh 'sentuhan wanita' untuk melancarkan lobi proyek di pemerintahan ?"

tatapan nathaniel menajam

"Aku ingin kamu menikah denganku, Sienna."

Hening.

"Menikah ?" Aku mengulang ucapan nathaniel

"Tawaran yang berani. Tapi aku tidak ingat pernah memasukkan 'menjadi istri' ke dalam portofolio jasaku."

"Anggap saja ini akuisisi," balasnya, lebih dingin dari sebelumnya. "Bukan sekadar kemitraan bisnis, Aku tidak butuh istri, Aku butuh seorang Sienna Vellion di sisiku, terikat oleh hukum."

Nathaniel mendorong sebuah kotak beludru hitam ke tengah meja.

"Ini bukan dongeng," lanjutnya.

"Anggap ini kontrak, Kamu mendapatkan stabilitas finansial untuk menyelamatkan LuxverraDan aku" jedanya sejenak "mendapatkanmu".

Mataku terpaku pada kotak beludru hitam.

Aku menghela nafas, lalu menyandarkan punggung ke kursi. "Sebelum kita melangkah lebih jauh, aku perlu tahu satu hal yang sangat penting, Nate."

"Katakan," jawabnya singkat.

"Apa resiko dari 'kontrak' ini ? Seberapa rumit proses perceraiannya nanti?"

"Anggap saja itu adalah penalti yang tidak ingin kamu bayar, Sienna."

"Dari semua wanita di dunia ini yang mungkin rela melakukan apa pun untuk menjadi istrimu, kenapa aku ?" tanyaku, nadaku setajam es.

"Karena kamu yang paling logis."

"Logis ?" aku mengulang kalimatnya.

"Kamu pragmatis," jelasnya

"Kamu tahu cara memisahkan emosi dari sebuah transaksi, Kamu tidak akan jatuh cinta padaku, dan itu membuatmu menjadi aset yang paling stabil dan tidak merepotkan."

Aku mengetukkan ujung jariku di atas meja.

"Dan jika aku menolak ?" tantangku

Dia tidak menjawab langsung, Sebaliknya, dia mengambil gelas winenya, menyesapnya perlahan.

"Kamu bebas menolak," katanya "Tapi ketahuilah, Sienna, para kreditur Luxverra sangat mudah diyakinkan, Aku bisa saja 'memberi saran' agar mereka segera menarik semua pinjamanmu besok pagi." Dia menatapku tajam.

"Dan kita berdua tahu, Luxverra tidak akan bertahan sampai lusa."

Aku menarik nafas dalam-dalam.

"Baiklah," ucapku, suaraku kini tegas dan tanpa keraguan. "Aku ingin tahu semua detailnya, Hak dan kewajibanku, Aturan mainmu, Semuanya."

Senyum tipis di bibir Nathaniel sedikit melebar.

"Tentu saja," jawabnya. "Aku suka wanita yang teliti."

"Aturannya sederhana," mulai Nathaniel, suaranya kembali datar dan tanpa emosi.

"Satu, pernikahan ini akan dilangsungkan sesegera mungkin."

"Dua, kamu akan menjalankan peran sebagai istriku di hadapan publik, menghadiri setiap acara penting, tersenyum saat disorot kamera, dan menjadi bagian dari lingkaran sosialku."

Aku menunggu, tapi dia tidak melanjutkan. "Itu saja ?" tanyaku.

"Tentu saja, ada satu aturan tambahan yang tidak bisa ditawar." Dia menatapku. "Tidak ada hubungan dengan pria lain selama pernikahan kita berlangsung."

Aku tertawa sinis. "Lucu sekali, Nate. Jadi kamu menuntut kesetiaan penuh dariku, sementara pernikahan ini bahkan tidak lebih dari selembar kertas kontrak ?"

"Anggap saja itu konsekuensi eksklusivitas," balasnya tanpa berkedip. "Aku tidak suka berbagi apa yang sudah menjadi milikku."

sebelum aku sempat berbicara, sebuah suara feminin yang lembut namun tajam memotong udara.

"Nathaniel Ardian, akhirnya menyerah pada institusi suci bernama pernikahan?, Dunia benar-benar akan kiamat."

Aku menoleh, Seorang wanita dengan gaun satin biru gelap di tubuhnya dengan sempurna berdiri di dekat meja kami.

"Kejutan, bukan?" balas Nathaniel.

Wanita itu tertawa, lalu pandangannya akhirnya beralih padaku.

"Jadi, ini wanita pemberani yang berhasil menjinakkanmu ?"

Aku hanya tersenyum tipis.

"Terkadang, yang liar hanya perlu kandang yang tepat," balasku.

Wanita itu mengangkat sebelah alisnya.

Dia melangkah mendekat lalu menyentuh bahu jas Nathaniel dengan ujung jarinya.

"Pastikan kamu tahu apa yang kamu lakukan, Nate."

Setelah mengucapkan itu, dia berbalik dan melangkah pergi.

Aku menunggu sampai langkahnya cukup jauh sebelum berbisik, "Teman bisnismu ?"

Nathaniel menatap gelas winenya dan menghindari tatapanku.

"Seseorang dari masa lalu, Tidak penting." jawabnya datar.

"Baiklah," aku akhirnya berbicara

"Aku setuju dengan pernikahan ini."

Mata Nathaniel kembali menatapku.

"Tapi ada syarat dariku." Aku meraih tasku, mengeluarkan sebuah map dokumen yang sudah kupersiapkan jauh-jauh hari untuk skenario terburuk, lalu meletakkannya dengan tegas di atas meja di antara kami.

Alis Nathaniel sedikit terangkat. "Apa ini ?"

Aku menyandarkan punggung ke kursi, menyilangkan kaki dengan anggun. "Jika aku akan memainkan peran sebagai istrimu di depan publik, aku juga ingin peran lain dalam hidupmu, Bukan sekadar pajangan yang kau gandeng di acara sosial." Aku menatapnya tajam. "Aku ingin kursi di meja eksekutif Aurelius Global Corp."

Keheningan yang menyusul terasa lebih berat dari sebelumnya.

Gerakannya tenang saat ia mengambil map.

Ia membukanya lalu membaca semua yang tertulis.

"Jadi," ucapnya sambil meletakkan map itu kembali ke meja dengan sangat perlahan.

"Kamu tidak hanya ingin uangku untuk melunasi hutangmu, Kamu juga ingin masuk ke dalam perusahaanku."

Aku tersenyum. "Aku ingin sesuatu yang lebih konkret dari sekadar cek," balasku.

"Aku tahu kamu cukup pintar untuk tidak mengikat diri dengan seseorang yang hanya akan menjadi beban, Aku bukan liabilitas, Nate."

"Aku adalah aset Dan aku akan membuktikannya, baik sebagai istrimu di depan publik, maupun sebagai mitra di ruang rapat."

Dia menatapku lama, Aku menahan nafas, menolak untuk memalingkan muka.

Lima menit berlalu.

Akhirnya, dia mengulurkan tangannya untuk mengambil pena yang kuletakkan di atas dokumen.

Dengan satu gerakan tegas, dia menandatangani perjanjian.

Begitu dia selesai, aku menarik map itu kembali, lalu, aku menandatangani kontrak pernikahan yang sejak awal ia sodorkan.

Nathaniel mengangkat gelas winenya, mengarahkannya sedikit ke arahku. "Untuk kemitraan yang... jauh lebih menarik dari yang kuduga."

Aku menyentuhkan gelasku ke miliknya, bunyi dentingannya terdengar seperti lonceng.

"Untuk sebuah awal yang baru," balasku sebelum menyesap sisa wine-ku.

Ketika wine kami habis, kami bangkit tanpa banyak bicara.

Kami berjalan keluar dari restoran, langkah kaki kami menggema serempak di lantai marmer.

Di luar, dua mobil hitam legam telah menunggu di sisi jalan yang berbeda.

Nathaniel berjalan menuju mobilnya tanpa menoleh, sementara aku menuju kendaraanku sendiri.

Begitu aku duduk di balik kemudi dan menyalakan mesin, aku sempat melirik kaca spion.

Nathaniel sudah ada di dalam mobilnya, dan entah kenapa, aku merasa tatapannya yang dingin itu tertuju lurus ke arahku, bahkan melalui kaca mobilnya yang gelap.

Aku menginjak pedal gas perlahan, meluncur ke jalanan kota yang ramai, Lampu-lampu gedung memantul di kaca depan.

Di kaca spion, aku melihat mobil Nathaniel melakukan hal yang sama.

Mobilnya melaju dengan kecepatan stabil, tetap sejajar denganku di lajur sebelah.

Lima belas menit perjalanan dalam keheningan.

Hingga akhirnya, di sebuah persimpangan besar, mobilnya memberi sein ke kanan.

Aku tetap melaju kearah kiri.

Aku terus mengendalikan kemudi setir mobilku dengan tenang, selama perjalanan berlangsung, aku hanya terfokus ke jalanan yang disilaui oleh cahaya cahaya lampu jalan.

20 menit berlalu, aku sampai di depan apartemenku, aku membuka gerbang pagar dengan remote control.

"Open Gate" Ucapku dengan lembut.

Lalu gerbang pagar apartemenku terbuka dengan otomatis.

Aku berjalan menuju pintu masuk, mengambil kunci dari tas lalu memasukkan kunci kedalam pintu masuk.

Aku memutar gagang pintu lalu membukanya perlahan karena kelelahan, ketika terbuka, aku berjalan untuk masuk.

Begitu pintu apartemenku tertutup di belakangku.

Tumit high heels kulepas satu per satu, melemparnya begitu saja di lantai marmer yang dingin.

Langkahku menuju ruang kerja terasa lebih berat dari biasanya.

Aku tidak menyalakan lampu utama, hanya lampu meja yang cahayanya redup.

Aku menjatuhkan diri di kursi kerja yang terasa lebih nyaman dari ranjangku, masih mengenakan pakaian yang sama.

Dengan napas berat, aku meraih ponsel.

Jariku berhenti sejenak di atas layar sebelum akhirnya membuka grup internal perusahaan.

Jemariku mengetik dengan cepat

"Segera adakan rapat eksekutif besok pagi jam delapan. Tanpa terkecuali. Ada keputusan fundamental yang harus kita ambil."

Beberapa detik kemudian, tanda centang biru muncul satu per satu, diikuti balasan singkat yang patuh dari beberapa eksekutif.

Aku membuang napas pelan, lalu membuka laptop.

Angka itu memenuhi layar.

Rp 40.000.000.000.000,-

"Tidak lagi," gumamku pada ruangan yang kosong. "Malam ini, kita berbalik melawan."

Jari-jemariku mulai mengetik di atas keyboard.

Dokumen pertama: Strategi Pemberhentian Pendarahan.

Aku mencoret setiap pengeluaran yang tidak perlu.

Perjalanan bisnis mewah, proyek sampingan yang tidak mendesak, kontrak vendor yang kemahalan.

"Semua sudah aku pangkas tapi Ini tidak akan cukup" fikirku.

Dokumen kedua: Likuidasi Aset, Beberapa properti komersial, mesin produksi tua, saham-saham kecil. "Jual," batinku. "Ubah semuanya menjadi modal untuk perusahaan ini."

Aku membuka sebuah dokumen baru yang kosong.

"Jika aku tidak bisa menang dalam persaingan lama," pikirku, "maka aku harus menciptakan persaingan yang baru."

Konsep awal mulai terbentuk di layar:

Desain Modular: Ponsel yang bisa di-upgrade per bagian, Bosan dengan kamera lama ? Ganti modulnya, bukan seluruh ponsel.

Keamanan Berbasis AI: Sistem keamanan yang bukan hanya melindungi, tapi juga belajar dan beradaptasi dari ancaman. Data adalah emas baru, dan kami akan membangun brankas terkuat untuk menyimpannya.

Material Graphene: Bodi yang lebih kuat dari baja tapi setipis kertas.

Ide-ide itu mengalir deras, mengisi halaman demi halaman, Aku lupa waktu, lupa rasa lelah, lupa pada kontrak pernikahan yang baru saja kutandatangani.

Yang ada hanya aku, laptopku, dan secercah harapan yang mulai bersinar di tengah kegelapan.

Tangan dan otakku terus bekerja.

Saat aku selesai dan melipat mukena, mataku kembali tertuju pada meja kerja.

Aku kembali duduk di kursi, namun saat aku hendak membuka laptop lagi, sebuah pikiran tiba-tiba menggangguku.

"Cincin itu..."

Aku melihat ke tangan kiriku Kosong.

Aku memejamkan mata, mencoba mengingat.

"Kotak beludru hitam itu... aku tidak pernah membukanya, Benda itu masih ada di tangan Nathaniel, Aku bahkan belum pernah menyentuh cincin itu."

Aku menyandarkan kepalaku ke sandaran kursi sambil menghela napas.

Tanpa kusadari, mataku yang berat akhirnya terpejam.

~ Tring... Tring.... Tring.... Tring ~

Aku mengerjapkan mata, punggungku terasa kaku dan pegal karena tertidur di kursi.

"Baiklah," gumamku pada diriku sendiri.

"Saatnya mulai bersaing."

Aku memaksa tubuhku untuk bangkit.

Tanpa buang waktu, aku melangkah ke kamar mandi dan berdiri di bawah pancuran air hangat.

Di depan meja rias, aku mulai mengenakan 'baju hitam, aku mengusapkan contouring untuk mempertajam raut wajah, dan alis yang kubentuk dengan presisi.

Terakhir, sentuhan lipstik merah tua

Aku berdiri di depan lemari, memilih setelan blazer hitam paling tajam yang kumiliki, dipadukan dengan rok pensil dan heels.

Aku menatap ke arah cermin.

"Sempurna".

Saat aku mengambil tasku, ponselku bergetar.

Sebuah pesan dari nomor yang tidak kusimpan, tapi aku tahu persis siapa pengirimnya.

Nathaniel: Kuharap tidurmu nyenyak, Hari ini akan jadi hari yang panjang untukmu.

Jemariku mengetik balasan singkat.

Aku: Aku selalu siap untuk hari yang panjang, Nate, Sebaiknya kamu juga.

Aku memasukkan ponsel ke dalam tas, menarik napas dalam, lalu melangkah keluar.

Beberapa saat telah berlalu, akhirnya aku telah sampai di perusahaan ku.

Saat aku melangkah anggun melewati lobi, beberapa karyawan menyapa dengan hormat namun dengan tatapan penuh kekhawatiran.

Di dekat lift eksekutif, asisten pribadiku yang sangat efisien sudah menunggu.

"Selamat pagi, Miss Vellion," sapanya sambil menyodorkan tablet. "Direksi sudah menunggu, Direktur Operasional, Celeste Moreau, ingin bicara sebentar dengan Anda."

Aku mengangguk, memasuki lift bersamanya.

Pintu tertutup.

"Celeste tampak gugup ?" tanyaku tanpa menoleh dari layar tablet yang menampilkan agenda hari ini.

"Dia khawatir dewan direksi akan menolak rencana restrukturisasi yang terlalu radikal, David Langston dari divisi keuangan sudah menyebar desas-desus bahwa Anda akan menjual separuh perusahaan," lapor Eleanor.

Aku tersenyum dingin. "Biarkan saja dia bicara."

Pintu lift terbuka.

Celeste Moreau sudah berdiri di sana, mondar-mandir dengan cemas.

"Sienna," sapanya, nadanya mendesak. "Kamu harus hati-hati. David membawa data yang menunjukkan rencanamu bisa membuat arus kas kita macet total dalam tiga bulan."

Aku berhenti sejenak, menatap langsung ke mata Direktur Operasionalku itu. "Celeste, apa kamu percaya padaku ?"

Dia terdiam, menatapku beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Aku percaya padamu. Tapi mereka..."

"Kalau begitu cukup," potongku dengan lembut namun tegas. "Aku tidak butuh mereka percaya. Aku hanya butuh mereka patuh."

Aku meninggalkannya yang masih terpaku dan melangkah menuju pintu ruang rapat.

Dengan satu tarikan napas panjang, aku membuka pintu.

Suasana di dalam langsung senyap, Semua mata tertuju padaku.

Aku berjalan ke kursi utama di ujung meja, meletakkan tabletku, lalu menatap mereka semua satu per satu.

"Selamat pagi," suaraku memecah ketegangan.

"Saya tahu kenapa kalian semua ada di sini.."

"Kalian pasti masih berfikir tentang sekoci"

"Sekarang Lupakan sekoci itu."

"Saya tidak akan membuang waktu kalian dengan janji kosong, Mari kita hadapi kenyataan."

Aku menoleh ke arah David Langston.

"David, silakan tunjukkan pada semua orang seberapa dalam lubang yang sedang kita pijak."

David tampak sedikit terkejut.

Dia berdiri dan menyalakan proyektor, Layar di belakangku langsung menyala, dipenuhi grafik merah yang menurun tajam dan angka-angka yang membuat mual.

"Seperti yang bisa kalian lihat," mulai David, suaranya terdengar datar.

"Arus kas kita negatif, Utang jangka pendek akan jatuh tempo dalam tiga bulan, dan penjualan kita terus menurun 15% dari kuartal sebelumnya."

"Total utang kita..." Dia berhenti sejenak.

"...adalah empat puluh Quadratriliun rupiah."

"Kesimpulan saya," lanjut David sambil menatapku, "satu-satunya langkah logis adalah melakukan restrukturisasi radikal."

"Kita harus menjual divisi riset kita yang paling mahal, memberhentikan 30% staff, dan fokus menjadi perusahaan manufaktur skala kecil, Ini satu-satunya cara untuk bertahan hidup."

Perlahan, aku bangkit dari kursi.

"Terima kasih, David, untuk gambaran suramnya," ujarku dengan tenang. "Kamu benar, Angka-angka itu tidak berbohong, Kita memang sedang berdarah." Aku menatap semua orang.

"Tapi rencana yang kamu usulkan bukanlah cara untuk bertahan hidup. Itu adalah cara untuk mati perlahan."

Aku berjalan ke depan layar, membelakangi grafik merah. "Rencana saya terdiri dari dua fase."

"Fase pertama: Triage, Kita akan melakukan semua yang David sarankan—memotong anggaran, menegosiasikan ulang kontrak, bahkan mungkin menjual aset yang tidak vital, Tapi tujuan kita berbeda, Bukan untuk bertahan, tapi untuk mengulurkan waktu."

Aku berhenti, memastikan semua orang mendengarkan. "Karena di fase kedua, kita akan melakukan sesuatu yang tidak pernah mereka duga."

"Fase kedua adalah: Kelahiran Kembali."

Aku memberi isyarat pada Eleanor, dan layar proyektor berganti, menampilkan konsep awal ponsel modular yang kubuat semalam.

"Kita akan mempertaruhkan segalanya pada satu proyek inovasi yang akan mengubah persaingan."

"Sebuah ponsel yang belum pernah ada di pasar."

Saat itulah Aurora Lin, Kepala Divisi Riset dan Pengembangan yang brilian angkat bicara.

"Kelahiran kembali terdengar indah, Sienna," katanya, suaranya dipenuhi keraguan.

"Tapi ini fantasi, Untuk membangun prototipe awal dan melakukan riset pasar saja, kita butuh dana minimal dua puluh miliar."

"Dari mana uang itu datang ? Kita bahkan tidak punya cukup uang untuk membayar gaji bulan depan !"

Aku tersenyum tipis, menatap lurus ke arah Aurora.

"Kamu benar. Kita tidak punya uang, Karena selama ini, mentalitas kita salah, Kita selalu mencari dana untuk menutupi lubang, bukan untuk membangun fondasi."

Aku melangkah mendekat ke tengah meja. "Kita tidak butuh dua puluh miliar sekarang. Yang kita butuhkan adalah sebuah presentasi, sebuah visi yang begitu kuat, yang bisa meyakinkan investor untuk memberi kita dana senilai dua ratus miliar."

Aku menoleh pada Aurora, tatapanku menantangnya. "Aurora, aku tidak memintamu membuat ponsel besok, Aku memintamu membuat presentasi paling visioner dalam hidupmu, Buat para investor itu merasa bodoh dan takut jika mereka melewatkan kesempatan ini."

Mata Aurora yang tadinya ragu kini bersemangat.

Lalu aku beralih ke Sophia Renner, Kepala Hubungan Investor. "Sophia, susun daftar semua investor lama yang pernah percaya pada visi ayahku, Aku ingin bertemu mereka satu per satu, mulai besok."

Terakhir, aku menatap David Langston. "Dan kamu, David. Aku ingin kamu menyiapkan analisis keuangan baru. Bukan berdasarkan skenario terburuk, tapi berdasarkan skenario jika proyek ini berhasil. Tunjukkan pada semua orang di ruangan ini berapa besar keuntungan yang akan mereka lewatkan jika mereka terus menjadi pengecut."

Aku kembali ke kursiku, menatap mereka semua yang kini terdiam.

"Pertemuan selesai," ucapku. "Kalian semua sudah tahu apa yang harus dilakukan."

"Sekarang, kembali bekerja."

Para direksi mulai berdiri dan meninggalkan ruangan.

Eleanor tetap di sisiku.

"Kamu berhasil membungkam mereka," bisiknya pelan.

Aku menghela napas

"Membungkam mereka itu mudah, Eleanor," jawabku sambil menatap layar kosong di depanku. "Membuat mereka percaya, itu baru persaingan yang sesungguhnya."

Setelah rapat selesai, aku berjalan kembali ke ruanganku dengan langkah yang lebih santai

Eleanor mengikutiku, tabletnya sudah menampilkan jadwal pertemuanku dengan Edgar Langford.

"Dia akan tiba dalam dua puluh menit," lapor Eleanor. "Aurora dan timnya sudah menyiapkan materi presentasi. Tapi ada satu hal lagi."

Ekspresinya berubah serius. "Tim keuangan menemukan sesuatu saat menggali laporan transaksi lama untuk persiapan data."

Dia menyodorkan tablet itu padaku.

Di layar, terpampang beberapa baris transaksi dari dua tahun lalu, saat krisis Luxverra mulai parah.

"Ini bukan sekadar kesalahan pencatatan," bisik Eleanor.

"Ini sabotase yang disengaja, Seseorang dari dalam telah menggerogoti perusahaan ini jauh sebelum semuanya runtuh."

"Telusuri lebih jauh," perintahku, suaraku dingin.

"Aku ingin tahu siapa yang berada di balik ini, Lakukan secara diam-diam."

Pintu ruanganku diketuk pelan, aku berjalan menuju pintu lalu membuka pintu.

Dia masuk lalu mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.

Aku mengulurkan tanganku juga untuk berjabat tangan.

"Saya datang ke sini karena hormat pada mendiang ayahmu, bukan karena saya percaya pada keajaiban yang kamu rencanakan, Nona Vellion," ucapnya tanpa basa-basi. "Waktu Anda lima belas menit."

Aku tersenyum. "Saya hanya butuh sepuluh menit untuk menjelaskan."

Aku menjelaskan visiku dengan lugas dan penuh semangat.

Langford mendengarkan tanpa ekspresi, jari-jarinya mengetuk meja.

"Resikonya terlalu besar," katanya setelah seleaai

"Kenapa saya harus mempertaruhkan uang saya pada perusahaan yang secara teknis sudah bangkrut ?"

Aku mencondongkan tubuh ke depan, menatapnya lurus.

"Karena orang lain akan melihat ini sebagai risiko, Tuan Langford."

"Tapi seorang visioner seperti Anda akan melihatnya sebagai sebuah kesempatan yang datang sekali seumur hidup." Aku sengaja memuji egonya.

"Anda tidak hanya berinvestasi pada sebuah perusahaan, Anda berinvestasi pada sebuah legacy, Pada kebangkitan nama Luxverra."

Akhirnya, dia berdiri. "Kirimkan proposal lengkapnya, Tim saya akan meninjaunya," katanya sebelum berbalik pergi.

Setelah langford meninggalkan ruangan, aku berjalan keluar dari ruanganku.

Beberapa saat kemudian, aku sudah di lobby utama gedung.

Aku menatap sekeliling dan melihat mobil hitam legan terparkir tepat agak jauh di depan aku.

Kaca jendelanya turun perlahan, menampakkan wajah Nathaniel Ardian yang tanpa ekspresi.

Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya memberiku isyarat dengan kepalanya untuk masuk.

Jantungku berdebar kencang saat aku membuka pintu dan duduk di kursi penumpang.

Nathaniel menginjak pedal gas dan mengemudikan mobilnya keluar dari perusahaanku.

Saat di dalam mobil.

"Langford menghubungiku," ucapnya langsung, matanya tetap menatap lurus ke depan.

"Dia terdengar... terkesan dengan seorang CEO muda yang berani.".

"Kenapa, Nate ? Kamu khawatir aku bisa mendapatkan pendanaan sendiri tanpa perlu bersembunyi di balik namamu ?" balasku

Akhirnya dia menoleh padaku.

Tatapannya begitu tajam, Mobil kami terparkir di pinggir jalan yang ramai.

"Aku tidak khawatir," bisiknya

"Aku hanya ingin mengingatkanmu."

Tangannya terulur, dan untuk sesaat aku mengira dia akan melakukan sesuatu yang kasar.

Tapi ujung jarinya hanya dengan lembut menyingkirkan sehelai rambut yang jatuh di pipiku.

"Permainan ini lebih besar dari yang kau kira, Sienna," lanjutnya, matanya tak lepas dari mataku. "Pastikan kamu tahu siapa lawan dan siapa kawanmu yang sesungguhnya."

Setelah mengucapkan kalimat penuh teka-teki itu, dia kembali menatap ke depan. "Keluarlah."

Aku terdiam sejenak untuk berfikir apa yang nathaniel ucapkan.

Beberapa saat kemudian, aku membuka pintu dan keluar dari mobilnya.

Begitu pintu tertutup, mobil itu langsung melaju, menghilang di tengah lalu lintas kota.

Aku berdiri terpaku di trotoar.

"Siapa yang dia maksud ? Apakah dia tahu tentang sabotase di dalam perusahaanku ?"

Aku berdiri terpaku di trotoar yang ramai, deru klakson dan hiruk pikuk kota

Setelah menarik napas panjang untuk menenangkan jantungku yang masih berdebar tidak karuan, aku merogoh ponsel dari dalam tas, Jariku dengan cepat menekan nomor Eleanor..

"Eleanor, aku butuh tumpangan," kataku.

"Tumpangan ? Sienna, kamu di mana? Mobilmu..."

"Aku di persimpangan Elysian-Veridia," potongku

"Bisa jemput aku sekarang?"

"Oke, oke. Aku segera ke sana, Jangan ke mana-mana," jawab Eleanor, nada suaranya berubah dari bingung menjadi cemas.

Lima belas menit berlalu.

Aku menyandarkan punggung ke dinding sebuah butik mewah, melipat tangan di dada, dan mengawasi setiap mobil yang lewat dengan perasaan khawatir.

Tak lama kemudian, sebuah sedan hitam yang kukenali sebagai mobil Eleanor menepi.

Kaca penumpang turun, menampakkan wajah sahabatku yang dipenuhi kekhawatiran campur aduk dengan kejengkelan.

Aku segera membuka pintu dan masuk.

"Bisa jelaskan apa yang terjadi ?" tanya Eleanor langsung, bahkan sebelum aku sempat menutup pintu dengan benar.

"Kenapa kamu meninggalkan mobilmu begitu saja dan berakhir di sini ?, Kamu tahu betapa tidak amannya—"

"Nathaniel sudah di depan," jawabku pelan, memotong omelannya.

dia menginjak pedal gas dan mobil kami kembali melaju

Suasana di dalam mobil hening untuk beberapa saat.

Eleanor fokus menyetir

"Apa yang dia katakan padamu ?" Eleanor akhirnya memecah keheningan, matanya tetap lurus menatap jalanan di depan

Aku menceritakan semuanya.

"Dia menyentuh pipimu ?" tanya Eleanor, suaranya terdengar lebih tajam

Aku mengangguk. "Hanya menyingkirkan rambut, Lalu dia menyuruhku keluar begitu saja dari mobil." Aku menoleh menatap Eleanor.

"Menurutmu apa maksudnya ? Tentang kawan dan lawan, Apa mungkin dia tahu soal sabotase itu ?"

Eleanor tidak langsung menjawab.

Dia membelokkan mobil ke jalan yang lebih sunyi.

"Sienna," ujarnya dengan nada yang sangat serius.

"Aku tidak percaya pada kebetulan, terutama jika menyangkut orang seperti Nathaniel Ardian, Peringatannya datang di hari yang sama saat kita menemukan masalah dalam laporan keuangan. Ini tidak mungkin hanya kebetulan."

Dia menghela napas panjang, cengkeraman tangannya pada setir mobil sedikit mengerat.

"Laporan dari tim keuangan tadi... ternyata lebih dalam dari yang kita duga, Ini bukan sekadar penggelapan dana kecil, Ini adalah sabotase, Ada transaksi palsu ke perusahaan, laporan inventaris yang dimanipulasi, bahkan kontrak pasokan fiktif."

Penjelasan Eleanor membuat perutku mulas.

"Nathaniel... apa dia mencoba membantuku dengan caranya sendiri ? Atau dia hanya sedang mempermainkanku, melihat seberapa jauh aku bisa bertahan ?" bisikku, lebih pada diriku sendiri.

Mobil berhenti di depan gedung apartemenku.

Namun, tak satu pun dari kami yang bergerak untuk turun.

Aku menatap lurus ke depan, ke gerbang

"Aku tidak suka menjadi pion dalam permainan orang lain, El."

"Maka jangan jadi pion," sahut Eleanor dengan tegas. "Jadilah Ratu."

"Hubungi Daniel Kinsley," perintahku, suaraku.

"Aku mau dia datang ke kantorku besok pagi, satu jam sebelum jam kerja dimulai. Katakan padanya untuk membatalkan semua agendanya. Penyelidikan ini sekarang menjadi prioritas utama."

"Dan Eleanor... Beri Daniel akses penuh ke semua server dan data keuangan. Tanpa terkecuali. Aku tidak peduli prosedur apa yang harus kita langgar. Aku ingin tahu siapa tikus yang selama ini bersembunyi di dalam kantorku."

Eleanor mengangguk.

"Akan kulakukan."

Saat aku membuka pintu mobil untuk keluar, aku menoleh kembali pada Eleanor.

"Terima kasih sudah menjemputku."

Eleanor tersenyum tipis

"Kapan pun, Sienna. Kapan pun."

Aku melangkah keluar dari mobil.

Mobil sienna melaju meninggalkanku yang sedang berdiri di depan gerbang apartement.

Saat mobilnya benar-benar tidak terlihat.

"Open Gate" ucapku.

Gerbang apartement otomatis terbuka dan aku berjalan masuk kedalam apartement.

Saat aku berjalan menuju ke arah ruanganku, Blazer kulempar begitu saja ke sofa, diikuti kemeja sutra yang terasa mencekik.

Heels kulepaskan dengan tendangan, membiarkannya tergeletak di lantai marmer yang dingin.

Aku melepas pakaianku.

Menyisakan pakaian dalam seperti bra dan celana dalam, aku mengambil handuk tebal dari lemari dan langsung menuju kamar mandi.

Di bawah pancuran air panas, aku akhirnya membiarkan diriku rilex.

Aku menyandarkan keningku ke dinding keramik yang dingin, membiarkan air mengguyur punggungku.

Setelah beberapa menit, aku mematikan air.

Dengan handuk melilit tubuhku, aku berjalan ke dapur.

Lalu menyalakan mesin kopi, saat mesin kopi menyala, aku membuka penutup sambil menuangkan segelas air, menambahkan serbuk kopi, lalu menutup mesin kopi itu.

Beberapa saat kemudian, aku membuka penutup mesin kopi itu lalu menuang cairan hitam itu ke dalam cangkir favoritku, tanpa gula, tanpa susu.

Aku membawa cangkir itu ke dekat jendela besar di ruang tamu yang memperlihatkan panaroma keindahan malam hari.

Aku menyesap kopi itu perlahan lalu menghabiskannya hingga tetes terakhir.

Dengan langkah yang terasa jauh lebih santai, aku berjalan menuju kamar tidur.

Saat sampai, aku langsung merebahkan tubuhku yang sangat lelah tanpa memikirkan apapun.

You May Also Like

RANJANG CINTA CASANOVA

NOVEL DEWASA 21+!!! Banyak mengandung adegan ranjang, kekerasan fisik, kekerasan verbal, adegan pembunuhan, serta berkutat pada kehidupan mafia yang keras era ’90-an di Kota Venesia, Italia. Sehingga bijaklah dalam membaca! Novel ini bergenre fiksi realistis-magis, ditulis untuk mengikuti ajang WSA 2022. Akan ada banyak pelajaran yang terkandung di dalamnya, sehingga jangan sampai kau lewatkan setiap detail di dalam buku ini! Salam Hangat, HARAS. **** BLURB! (Italia, 1798) Tak banyak orang tahu. Sebelum kematian menjemputnya, sang legenda Biacomo Casanova diam-diam berlayar ke tengah laut untuk membuang benda pusakanya yang paling berharga. Sebuah cincin berkekuatan magis, yang dengannya, seorang pria akan mampu menaklukan hati wanita manapun. “Wala! Kini berakhir sudah perjalanan cintaku. Maka demi menebus dosa, sebab dengan cincin ini aku telah meniduri ratusan wanita, maka akan kubuang cincin ini dan berharap, tidak ada manusia lagi yang akan memakainya di kemudian hari.” Setelah mengucapkan kalimatnya sang legenda pecinta wanita itu mati, dalam keadaan miskin dan sepi, tanpa ada seorang pun menemani. Lalu, 200 tahun kemudian, seorang pemuda tampan bernama Casanova malah menemukan cincin magis tersebut. Maka dari itu seketika roda nasibnya berubah total! Casanova yang tadinya hidup miskin dan dihina-hina menjadi sosok pria kaya, sangat percaya diri, berkarisma, serta sangat digilai oleh para wanita. Namun, ada pantangannya. Casanova memang bisa menaklukan hati wanita. Menggombali dan bahkan meniduri perempuan manapun hanya dengan satu jentikan jari. Tapi satu hal yang tak boleh dilakukan. Casanova tidak boleh jatuh cinta! Sebab cinta akan menghilangkan kekuatan magis dari cincinnya tersebut! Serta cinta, merupakan kutukan dari Sang Dewa yang akan membuat Casanova menjadi pengemis tak berdaya! Maka, mampukah Casanova meredam hasrat cintanya? Berapa banyak wanita yang akan dirayu hingga naik ke ranjangnya? Lalu, adakah nanti seorang wanita yang bisa membuat Casanova jatuh cinta? Simaklah perjalanan Casanova dari yang bukan siapa-siapa menjadi pria luar biasa! Dia memang terlahir untuk 'tulus' menaklukan setiap hati wanita, dan juga 'cerdik' meladeni perlawanan para gembong mafia di seluruh Italia. "Lihat, Aku mengutusmu seperti domba ke tengah-tengah serigala. Sebab itu hendaklah kamu 'cerdik' seperti ular, dan 'tulus' seperti merpati.” (Matius 10:16)

HARAS_ · Realistic
Not enough ratings
256 Chs

ratings

  • Overall Rate
  • Writing Quality
  • Updating Stability
  • Story Development
  • Character Design
  • world background
Reviews
WoW! You would be the first reviewer if you leave your reviews right now!

SUPPORT