webnovel

Friend With(Out) Benefits

Wendy, terjebak dalam hubungan yang sedang digandrungi banyak remaja kekinian. Dengan peraturan di mana keduanya tidak diperbolehkan menaruh hati. Suatu kebodohan membuat dirinya terjerumus dan semakin terperosot. Kesalahan yang sudah pasti berisiko tinggi tetap ia lanjutkan hingga hatinya siap tak siap harus menghadapi kehancuran.

HuskyUsagi · Teenager
Zu wenig Bewertungen
11 Chs

#10

Setelah kejadian malam itu, hubungan Wendy dan Petra mulai merenggang. Keduanya enggan berbicara banyak kecuali masalah pekerjaan. Keduanya sama-sama menjunjung profesionalitasnya untuk tidak membawa masalah individu. Bahkan ketika membahas revisi, keduanya seperti biasa. Seperti sebelum kejadian dua bulan lalu.

Begitupun dengan Wendy dan Surya, hubungan mereka mulai membaik. Dan berkat perginya Petra, Surya merasa mempunyai harapan kembali untuk mendapatkan Wendy. Karena mau bagaimana pun, Wendy sekarang sendiri. Perkara Wendy ingin membuka hati atau tidak, Surya tidak peduli. Selama dirinya berusaha lagi, pasti ada kemungkinan Wendy membuka pintu untuknya.

Sementara itu, Roni dan Chindy sudah mulai melangkah ke jenjang yang lebih serius. Hanya berjalan tak lebih dari setahun, keduanya sudah memantapkan diri untuk menyatukan hidup mereka dan siap menghadapi segala terpaan bersama. Rencananya, tiga bulan ke depan mereka melangsungkan pernikahan. Berbagai macam persiapan telah diurus jauh hari, meskipun untuk beberapa hal masih dipikirkan. Surya turut andil untuk mengurus sedikit persiapannya. Pria itu telah membuka usaha rangkai bunga dan sedang merintis karir untuk dekorasi pernikahan. Tentu saja Roni mengambil beberapa peran Surya untuk pernikahannya.

"Pagi, sayang~"

Suara genit itu menghampiri sosok Petra yang berdiri di samping Sandi untuk memberikan arahan lebih dalam desain yang dikerjakan. Ia hanya melirik Irine yang membawa kotak bekal untuknya. Namun tak ada tanggapan lain, seperti biasa Petra tak membalasnya.

"Masih cuek aja, padahal udah jadian seminggu," ucap Irine dengan suara yang dikeraskan, bermaksud penghuni ruangan mendengarnya. Namun tak ada yang peduli.

Irine mulai bete, ia lalu duduk di kursi Petra dan mengeluarkan kaca kecil. Melihat make upnya hari ini. Merasa sangat cantik dan seksi dengan lipstik merah merona yang siap mencium Petra kapan saja.

Seusai Petra menjelaskan pada Sandi, ia pun kembali ke mejanya. Namun dia diam ketika Irine lagi-lagi menduduki kursinya. Petra sudah sangat lelah untuk protes dan memilih diam saja.

"Makan bekelku, dong. Aku udah bikin susah-susah, loh," pinta Irine kemudian berdiri dan merangkul lengan kanan Petra. Tak lupa ia tempelkan ke dadanya yang gemuk. Petra dengan cepat menarik tangannya dan mendorong pelan Irine untuk menjauh.

"Ga beli di warteg depan lagi, ya?" ledek Sandi disambut tawa anak desain lainnya, kecuali Wendy yang hanya tersenyum tipis.

"Mulutnya, yaaa. Ini aku masak tadi pagi. Dicobain nanti. Aku balik dulu. Love youu~" Irine segera keluar dari ruangan setelah teman-teman satu divisinya menunggu di depan pintu desain, agenda makan bersama.

Roni yang sejak tadi diam, akhirnya mendekati Petra yang menatap kotak bekal Irine. Sorot mata Petra terlihat putus asa. Benar, Petra merasa mungkin ini saatnya benar-benar melepas Wendy. Meski selama dua bulan ini ia enggan membuka hatinya karena cintanya sudah terlanjur mengakar.

Irine, wanita yang selalu mendatanginya. Sangat menyebalkan. Tapi dia sangat berusaha untuk mendekatinya meski caranya salah dan murahan. Haruskah Petra membuka hati untuknya?

Tatapan Petra beralih sekilas ke arah Wendy di seberangnya. Gadis itu tak memperhatikan dirinya. Sudah lama Wendy tidak peduli dengan apa yang ia lakukan. Mungkin benar, Wendy benar-benar menganggap hubungan mereka semurah itu.

Hanya dirinya yang menganggap ini semua spesial. Benar. Wendy si polos yang selama ini dikenalnya ternyata hanya ingin bermain-main saja. Tidak ada alasan untuk mempertahankan hati untuk Wendy.

"Mau kamu makan?" tanya Roni memastikan ketika Petra duduk di kursi dan menarik kotak bekal Irine. Petra mengangkat kedua bahunya dan menghela napas.

"Aku laper," jawab Petra sekenanya, enggan menjawab pertanyaan pasti yang sudah jelas Roni tahu sebenarnya Petra tak mau. Pria itu tak ingin mengurusinya dan memilih keluar untuk menemui calon istrinya.

Sandi memandang Petra sejenak, kemudian tertawa sinis. "Gila. Jilat ludah sendiri," sindirnya, agak kecewa dengan keputusan sahabatnya. Tapi Petra tak peduli. Dia tidak mau makan hati lagi.

"Ck. Asin banget telurnya," komentar Petra setelah menggigit kecil lauk yang dimasak Irine. Sandi tertawa kencang, meledeknya puas dan keduanya saling bercanda.

Sementara di sisi lain, Wendy meliriknya dengan sedih. Diamnya menahan sesak di dada. Dirinya memejamkan mata sejenak sembari menghela napas pelan, kemudian melanjutkan menggambar desain baju.

Tak disadari, Surya telah melihat pujaan hatinya yang menahan perih di dada. Hatinya kembali terusik akan rasa bersalahnya. Karena dirinya, Wendy tak mendapatkan kebahagiaannya. Percuma dirinya nanti mendapatkan Wendy, tapi wanita yang dijaganya tak menaruh hati padanya. Ini lebih sakit daripada melihat Wendy bersatu dengan Petra.

Kini ia menyadari jika dirinyalah yang paling egois.

"Pet, bisa minta tolong bahas berkas klien yang baru masuk ga?" tanya Surya kemudian merapikan berkas-berkas yang ada di atas meja. Ia memberikan salinannya ke meja Wendy, kemudian berjalan ke arah Petra yang bingung.

"Biar kamunya nanti ga ada revisi banyak, bisa dibahas sama Wendy nanti konsepnya gimana. Agak ribet soalnya," jelas Surya kemudian diiyakan oleh Petra. Begitupun dengan Wendy yang membaca berkas tersebut. Dirinya setuju jika konsep kali ini agak ribet.

"Aku ikut sekalian aja gapapa, biar engga ngejelasin dua kali." Wendy mengajukan diri dan bersiap untuk pergi.

Namun Surya langsung menahannya. "Ga usah, itu revisian Petra tadi dikelarin dulu. Aku ga mau kamu mikir banyak-banyak."

Jawaban Surya itu cukup membuat Petra terkejut. Surya terlihat sangat perhatian, Petra bisa menebak apa dalam benak Surya sebenarnya. Namun ia memilih tak memberikan ekspresi lebih. Kemudian dirinya mengikuti Surya untuk keluar dan tak menghabiskan bekal Irine.

=====

Segala penjelasan Petra dan beberapa argumen telah dicatat Surya yang nantinya diberikan pada Wendy. Memang benar konsep ini sulit, bahkan Surya sendiri tak mampu mencernanya dengan benar. Hingga akhirnya mengambil kesimpulan yang paling terdekat, keduanya mengakhiri diskusi.

Ketika Surya sibuk membereskan berkas, Petra memanggilnya pelan.

"Kamu suka sama Wendy, ya?" tanya Petra lalu memberikan berkasnya ke Surya. Yang ditanya tersenyum gemas, matanya sayu. Terlihat sedih dan bersalah.

Keduanya yang saat ini berada di taman kantor terbungkus keheningan sesaat.

"Ya. Aku suka sama Wendy dari SMA," jawab Surya sembari menumpuk berkas di atas pahanya. Petra mengangguk-angguk paham dan membuang muka seraya berdehem.

"Daridulu aku ikutin Wendy ke manapun. Aku pengen ngejaga dia. Dia ini polos. Aku pengen bikin dia seneng, Pet."

"Ini saatnya, dong? Mumpung Wendy sendiri," potong Petra, terdengar tergesa dan menahan emosinya.

Surya terkekeh pelan. "Iya, rencanaku gitu. Tapi pas tahu Wendy ternyata engga bisa ngebuka hati buat aku, aku ga bisa maksa lebih jauh dari ini."

"Maksudnya?" Petra kini menoleh ke Surya, heran dan bingung.

"Belum lama ini aku lihat kalian berdua di ruangan, ciuman. Itu bikin aku sakit hati banget. Aku bego waktu itu. Aku ke diskotik, dan berakhir dijebak Irine."

Sekarang Petra mengarahkan seluruh atensinya kepada Surya. Ia menatap Surya, berharap dari sorot mata pintanya untuk melanjutkan cerita.

"Aku tahu hubungan awal Roni sama Wendy, dan aku bahas soal itu waktu di diskotik bareng Irine. Dari situ Irine ngancam Wendy buat jauhin kamu karena dia pegang rahasia Wendy."

"Wendy ga mau kamu tahu soal hubungan dia dulu sama Roni. Hubungan bukan sekadar kagum yang kamu kira. Jujur, aku tahu banyak di mana mereka 'kencan' sebelumnya, sejauh apa. Rasa kepoku bikin aku ngikutin Wendy ke mana dia dibawa waktu itu."

Surya diam sejenak sebelum melanjutkan. "Wendy ga mau kamu ada rasa ga enak sama Roni dan malah ngerusak pertemanan kalian."

Petra segera memotong dan menatapnya dengan tajam. "Gimana kamu tahu itu yang Wendy mau?"

"Selama ini Wendy cerita ke aku, Pet. Karena aku yang paling dia percaya. Dan justru aku yang bikin dia sesedih ini." Penjelasan Surya membuat Petra hampir tumbang. Ia masih tidak mempercayai segala cerita Surya. Terasa seperti dongeng, tapi siapa lagi yang lebih tahu?

"Pet, aku minta maaf karena selama ini diem. Kali ini aku bener-bener lepasin Wendy. Bahagiain Wendy, ya."

=====

"Petra mana? Kok bekelku ga dimakan, sih?" Irine mendekati meja Petra dengan bekalnya yang tak habis. Sandi meledeknya, menghina masakannya yang asin.

Sebelum Irine membalas, pintu terbuka lebar. Petra dan Surya masuk ke dalam. Namun bukannya kembali ke tempat duduk, Petra mendekati Wendy sementara Surya mengajak Sandi keluar ruangan. Sebuah kode dari Petra membuat Sandi menurut dan ikut keluar.

Irine mengikuti Petra yang mendekati Wendy. Ia sudah memberikan tatapan kepada Wendy ketika Petra menarik Wendy untuk berdiri dan menggenggamnya erat.

"Bilang semua. Bilang apa yang Irine tahu soal rahasiamu."

"Apaan, sih, kok aku dibawa-bawa?" Irine protes. Ia melempar kotak bekalnya di atas meja Wendy kasar hingga tutupnya terbuka dan isinya ke mana-mana. Wendy panik karena semua pekerjaannya kotor.

Dirinya melepas genggaman Petra dan memilih menyelamatkan pekerjaannya. Petra melihatnya sejenak kemudian menatap tajam Irine. Kebencian menyeruak dalam netra gelapnya.

"Berhenti buat main licik. Udah cukup lo ngusik. Mau gimanapun Wendy dulu, gue ga peduli. Mau sama Roni, sama siapapun gue ga peduli. Sekarang dia sama gue,  gue ga perlu mikirin yang dulu-dulu."

Irine tertawa miris. "Dia bekas Roni! Mau sama bekas temen lu sendiri?!" seru Irine menunjuk remeh Wendy dengan tatapan jijik.

"Dan lu bekas orang-orang diskotik sekota. Ga usah merasa paling suci. Manfaatin kelemahan orang udah bagus banget buat jadi nilai minus lu."

Wanita itu tak berkutik. Dirinya menajamkan matanya, bengis. Sebelum akhirnya meninggalkan ruangan dengan amarah meletup-letup.

Tersisalah mereka berdua dengan suasana ruangan yang mulai hening. Wendy tak berbicara semenjak kepergian Irine dan menyibukkan diri membersihkan mejanya dan bekal Irine yang tumpah. Tak banyak yang kotor, tapi ini membuatnya harus bekerja dua kali untuk menggambar ulang.

"Wen. Bohong, kan, kamu cuma anggap sebatas itu aja?" Petra lalu menahan tangan kecil Wendy yang asik dengan buku-buku di mejanya. Wendy tak menjawab, dia masih diam. Dirinya ingin sekali berteriak dan memeluk Petra, menangis di dada pujaan hatinya. Tapi ia sadar telah melukai begitu dalam hati Petra.

"Aku tanya, Wen."

Wendy enggan menahannya lagi. Hatinya tidak mampu berbohong. Terus mendorong dirinya untuk jujur. Sudah cukup ia menipu hatinya untuk berkata baik-baik saja ketika dirinya hancur di masa-masa perbaikan.

Ia menyingkirkan barang yang dia pegang. Menatap sosok tinggi bersamanya. Sepasang mata sendunya memandang paras yang sudah lama dirindukan. Keduanya merasakan hal yang sama. Bertautlah ciuman mereka, memadu kasih. Seolah dunia milik berdua, tak peduli dengan adanya dua sosok yang menjaga pintu ruangan. Mereka tidak peduli. Rasa rindu yang membara telah membakar dirinya. Candu yang teramat, tertahan begitu lama, kini meletus bak Gunung Pompeii.

Bersamaan dengan itu, suara alarm kebakaran menyala. Seluruh karyawan berhamburan keluar gedung. Berlomba menyelamatkan diri. Tapi Sandi yang sejak tadi berdiri di pintu hanya mengetuk dua kali dan memberikan jempol, menandakan ini semua ulah mereka—yang tentu saja Roni masuk dalam komplotan jahil ini.

Kini di balik ricuhnya pegawai yang berlarian, Wendy dan Petra menghabiskan sisa waktu untuk melanjutkan kegiatan mesranya. Seluruh furnitur dan ruangan menjadi saksi bisu bagaimana Petra kembali menggagahi Wendy, menaklukkan gadis yang kini resmi menjadi kekasihnya.

== === ==