webnovel

Jangan Penasaran

"Vil, kamu mau kasur yang mana?" tanya Kintan.

Vildana mengalihkan perhatiannya dari pakaiannya yang ada di dalam koper dan menoleh ke arah Kintan. Dia mengamati sebentar dua ranjang susun itu sebelum memutuskan pilihannya. "Ranjang atas dekat jendela kosong, nggak?"

Kintan mengangguk. "Iya. Kamu mau?"

"Iya. Aku mau yang itu aja," putus Vildana.

Kintan pun langsung membersihkan dua ranjang susun tersebut agar bisa mereka tempati. Tadi, Artiya sudah memilih ranjang dekat lemari karena dia takut tidur di dekat jendela. Untungnya, Vildana memilih ranjang bagian atas, jadi Kintan tidak perlu repot-repot membujuk Vildana agar dia bisa tidur di ranjang bawah.

Vildana merasa beruntung karena dia bisa sekamar dengan orang yang menurutnya punya pemikiran yang tidak terlalu ribet. Kalau ada satu orang yang menginginkan sesuatu, maka yang lainnya akan langsung mengalah karena kebetulan ketiganya tidak memiliki hal-hal yang bisa membuat mereka sensitif.

Meskipun kamar yang mereka tempati tidak memiliki fasilitas lengkap seperti kamar yang lain, tapi hal itu tidak membuat ketiganya kehabisan akal agar bisa mengatur kamar mereka layak untuk ditinggali. Contohnya, saat ini mereka tidak memiliki meja untuk meletakkan peralatan makan dan memasak mereka. Kamar mereka hanya kebagian dua ranjang dan satu lemari tiga pintu.

Namun, beberapa saat yang lalu, ketiganya memutuskan untuk mencari apapun itu yang bisa mereka jadikan tempat untuk mengatur barang-barang mereka agar tidak berserakan dimana-mana. Yang mendapat tugas untuk mencari benda tersebut adalah Artiya.

Dan sekarang dia baru kembali entah darimana dengan membawa dua bangku kayu berukuran besar. Wajahnya terlihat senang dengan apa yang dia dapatkan.

"Kamu dapat bangkunya di mana, Ar?" tanya Vildana yang langsung ikut membantu Artiya memasukan bangku tersebut ke dalam kamar.

"Dari asrama putra. Mereka kebetulan lagi buang barang-barang yang nggak kepake. Dan ini semua bermanfaat buat kita, kan?" ujar Artiya senang.

"Kamu cari barang-barang buat kamar kita sampai ke asrama sebelah?" tanya Kintan tidak percaya.

Artiya mengangguk. "Di bawah masih ada dua lagi. Harus segera diambil biar nggak diambil sama penghuni lain."

"Aku bantuin," usul Vildana dan langsung ikut dengan Artiya turun ke bawah.

***

Vildana melirik jam yang melingkar di tangannya dan sudah menunjukkan pukul 4 sore. Sekarang, semua penghuni lantai empat sedang berkumpul di aula lantai empat karena beberapa menit yang lalu, pengawas lantai mengumumkan akan ada pembagian piket harian dan juga aturan spesifik yang ada di lantai empat tersebut.

Bising yang diciptakan oleh orang-orang yang berkumpul di aula tersebut seketika reda saat seorang perempuan berperawakan tinggi keluar dari ruangan yang di depan pintunya bertuliskan 'Kamar Pengawas'. Aura yang dipancarkan pengawas tersebut terlihat dingin. Ekspresinya datar tapi bisa membuat Vildana menarik sebuah kesimpulan bahwa pengawas lantainya ini adalah orang yang tertutup.

"Saat ini saya akan membagikan piket harian setiap kamar dan juga jadwal kelas tambahan. Tapi, sebelum itu kita akan memilih ketua untuk blok 1 sampai 4," ujar pengawas yang baru saja memperkenalkan diri sebagai kak Lynelle.

"Ada yang mau mengajukan diri?" tanya kak Lynelle lagi sembari menatap satu-persatu penghuni lantai empat.

"Saya, Kak."

Semua perhatian orang yang ada di aula tersebut langsung teralihkan ke asal suara. Ternyata itu Ava. Dia saat ini tengah mengacungkan tangannya tinggi-tinggi agar kak Lynelle me-notice dirinya.

"Oke, maju," pinta kak Lynelle dan langsung dilaksanakan Ava. Dia mengambil tempat di sebelah kiri kak Lynelle. "Ada lagi?"

Beberapa detik berikutnya, terdengar satu orang lagi yang mengajukan diri. Kali ini suaranya terdengar familiar di telinga Vildana dan Amaya. Saat keduanya menoleh ke sumber suara, ternyata itu Tamanna.

"Tamanna?" gumam Vildana. "Kok dia ngajuin diri, sih?"

Amaya dan Vildana saling tatap setelah melihat Tamanna dengan senyum lebarnya melangkah ke depan dan berdiri di samping Ava. Amaya melempar tatapan bingung ke Vildana. Vildana hanya bisa mengedikkan bahu tanda dia tidak tahu kenapa teman mereka itu sampai berani mengajukan diri sebagai ketua blok.

Di tengah-tengah Vildana dan dua temannya membuat inventaris barang untuk keperluan asrama, Tamanna pernah memperingati dua temannya itu untuk tidak masuk dalam segala bentuk kepengurusan yang ada di asrama. Katanya, sih, merepotkan. Apalagi kalau sampai dipilih sebagai ketua blok.

Namun, sekarang yang terjadi malah sebaliknya. Orang yang memberi peringatan malah mengajukan diri dengan suka rela. Itulah kenapa Vildana dan Amaya dibuat bingung dengan tindakan Tamanna yang sangat bertolak belakang dengan apa yang dia katakan dua hari yang lalu.

Vildana kembali mengalihkan perhatiannya ke kak Lynelle di depan sana. Terlihat Tamanna sedang membisikkan sesuatu ke pengawas lantai mereka. Setelah itu, kak Lynelle mengangguk sekilas. Vildana tidak tahu apa yang dikatakan salah satu temannya itu ke pengawas mereka. Yang jelas saat ini terdengar namanya dan Amaya disebut oleh kak Lynelle.

"Vildana dan Amaya mana?" seru kak Lynelle.

Sebelum mengangkat tangan, Vildana dan Amaya lagi-lagi saling melempar tatapan tanya.

"Kalian berdua dipilih jadi ketua blok yang kalian tempati," ucap kak Lynelle.

"Apa?!" seru Vildana dan Amaya berbarengan.

"Teman kalian sendiri yang bilang kalian sangat siap dan kandidat paling cocok untuk memimpin teman-teman yang lain. Gimana yang lain? Kalian setuju dengan ketua blok ini?"

Terdengar seruan yang menyetujui ucapan kak Lynelle barusan. Hal itu tentu saja semakin membuat Vildana dan Amaya kebingungan. Mereka kan sama sekali tidak berpikir untuk menjadi ketua blok. Kenapa malah mereka tiba-tiba dijadikan ketua blok? Kenapa juga Tamanna mengajukan dirinya dan menyeret dia temannya untuk ikut jadi ketua blok?

Vildana masih bertanya-tanya kepada Tamanna alasan dirinya mengajukan diri jadi ketua blok dan sampai menyeret dua temannya yang lain ke posisi ini. Tapi, Tamanna hanya cengengesan sambil memberikan jawaban yang sukses membuat Vildana mendaratkan tangannya di belakang kepala Tamanna.

"Udah, terima aja. Siapa tahu kita bakal dipermudah sama pengawas kalau kitanya yang jadi ketua blok," tambah Tamanna masih dengan mode berbisik.

***

Setelah pemilihan lantai dan pembagian piket selesai, sekarang kak Lynelle sedang menempelkan jadwal kelas tambahan di papan informasi. Sebelum mereka dibubarkan, kak Lynelle kembali mengingatkan mereka untuk segera menyelesaikan beres-beres di masing-masing kamar agar mereka bisa siap-siap untuk melakukan pengambilan absen sore untuk pertama kalinya.

"Gila, ya, kamu, Tam. Bisa-bisanya ngajak aku sama Amaya jadi ketua blok. Katanya kamu nggak mau ngambil posisi ini," sungut Vildana.

Vildana dan dua temannya, serta Ava yang baru saja dinobatkan sebagai ketua blok 1 sampai 4, sedang berkumpul di depan ruangan kak Lynelle. Mereka diminta untuk tidak meninggalkan aula saat penghuni yang lain diperintahkan untuk bubar. Katanya masih ada beberapa hal yang akan disampaikan kak Lynelle mengenai jobdesk mereka berempat sebagai ketua blok.

"Aku berubah pikiran setelah ada yang bilang kalau jadi ketua blok kesempatan untuk keluar di jam malam akan semakin besar. Kamu mau kan jalan-jalan di luar saat teman-teman yang lain nggak diizinin?"

"Jadi ini alasan kamu?" Amaya ikut menimpali.

Tamanna mengangguk. "Udah, nikmatin aja. Kita bakal dikenal sama penghuni lain dan akan disegani juga. Banyak lho benefit jadi ketua blok ini."

Vildana mendengus sambil memutar bola mata malas. "Siapa yang bilang kemarin katanya ini adalah posisi yang melelahkan?"

Tamanna hanya menampilkan sebuah cengiran. Jawaban untuk sindiran Vildana itu terpaksa terhenti saat kak Lynelle keluar dari kamarnya dan ikut duduk melantai di depan keempat ketua blok tersebut.

"Ini jobdesk kalian sebagai ketua blok. Aku rasa udah nggak perlu jelasin semuanya satu-satu, kan?" Kak Lynelle membagikan dua lembar kertas ke masing-masing ketua blok.

"Dari semua aturan yang ada di kertas itu, yang harus aku tekankan ke kalian berempat adalah jangan sampai ada anggota blok kalian yang sengaja masuk ke ruangan paling ujung di blok empat. Ingat, itu Vildana." Kak Lynelle berujar penuh penekanan dan menatap dalam beberapa detik ke arah Vildana. "Yang lain juga sama," lanjut kak Lynelle.

"Kak, aku boleh tanya?" Vildana mengacungkan tangan.

"Tanya apa?"

"Memangnya di ruangan itu ada apa? Apakah ruangan itu ada kuncinya?"

Tiga orang temannya dan juga kak Lynelle menatap Vildana dengan ekspresi sedikit terkejut. Apalagi kak Lynelle. Dari semua penghuni asrama yang pernah tinggal di sini, Vildana lah orang pertama yang berani menanyakan mengenai isi dari ruangan tersebut.

Tamanna dan Amaya juga sama terkejut dengan pertanyaan Vildana barusan. Mereka bertiga kan sudah bercerita soal rumor mengenai ruangan tersebut. Amaya juga sudah memperingati dua temannya itu untuk tidak penasaran dengan ruangan tersebut.

Sementara Ava, meskipun awalnya dia tidak menyangka dengan pertanyaan Vildana itu, tapi sekarang dia melihat Vildana dengan tatapan penuh selidik.

Semua mantan penghuni asrama, terutama lantai empat tahu rumor mengenai ruangan tersebut. Meskipun banyak yang tidak percaya dengan rumor yang beredar, tapi tidak ada satu orang pun selama ini yang berani secara terang-terangan mempertanyakan soal ruangan tersebut. Apalagi ke pengawas langsung.

"Kamu tidak diperkenankan tahu soal ruangan tersebut, apalagi sampai mencari tahu. Yang harus kamu dan yang lain lakukan adalah jaga jarak dari ruangan itu," tegas kak Lynelle.

Vildana akhirnya memilih diam. Sebenarnya dia juga takut bertanya mengenai ruangan itu. Karena memang awalnya dia juga sudah memutuskan untuk tidak tertarik dengan segala bentuk rumor yang beredar mengenai ruangan tersebut.

Namun, saat dirinya pertama kali menginjakkan kaki di lantai ini, tanpa dia sadari ruangan itu terlihat sedikit berbeda dari ruangan yang lain. Ada hal yang mengusiknya sehingga dia tidak tahan dan akhirnya berani menanyakan soal ruangan itu kepada pengawas lantainya.

Untuk saat ini, Vildana memilih menjalankan perintah pengawasnya. Mungkin apa yang mengusiknya sejak tadi soal ruangan tersebut hanya perasaannya saja. Kalau benar ada sesuatu yang ganjil dari ruangan itu, Vildana hanya berharap itu tidak berbahaya bagi mereka.