"Sampai kapan kita berpatroli?", tanya Raefal.
"Sampai Yang Mulia Raja memerintahkan kita untuk berhenti", jawab Jenderal Yoshi.
Kerajaan Tirtanu, Tahun 1349
Jenderal Yoshi, Raefal, Xavier, dan Yudanta pulang ke istana keesokan paginya. Mereka langsung berganti baju dan beristirahat setibanya di markas Tim Akas dalam komplek istana. Mereka baru melakukan evaluasi kerja setelah bangun tidur.
Sekitar pukul 2 siang, semua anggota tim Akas berkumpul. Ada 20 orang di sana. Sebenarnya, ada 19 orang karena Jenderal sebelumnya pensiun dan digantikan Jenderal Yoshi. Kemudian, Raja Ehren memasukkan anggota tim Akas yang baru, yaitu Dimas. Dimas adalah anggota termuda tim Akas.
"Jadi, apa yang akan kita lakukan nanti?" tanya Yudanta.
"Kita gerakkan warga desa", jawab Jenderal Yoshi.
"Maksudnya?", tanya Xavier.
"Beberapa waktu yang lalu ada teror ketuk pintu, kan? Karena teror itu, warga takut keluar rumah di malam hari. Para warga percaya bahwa mereka akan mati jika berani keluar rumah malam-malam. Kemarin, kami tidak menemukan apapun saat patroli. Artinya, teror ketuk pintu sudah selesai", kata Jenderal Yoshi.
"Atau kita bisa tahu apakah teror ketuk pintu akan terjadi lagi jika warga keluar malam? Atau kita bisa tahu penyebab sebenarnya dari teror ketuk pintu", kata Raefal.
"Benar. Nanti kita yakinkan pada warga bahwa malam ini aman, warga bisa keluar rumah, dan kita jaga. Itulah mengapa kita butuh semua anggota tim Akas", kata Jenderal Yoshi.
"Baiklah", ucap Yudanta.
Di sore harinya, semua anggota tim Akas pergi ke Desa Kaliko. Mereka meyakinkan semua warga untuk memberanikan diri keluar rumah di malam hari. Mereka juga meyakinkan warga bahwa tim Akas akan melindungi warga saat keluar malam. Tim Akas tidak akan membiarkan warga Kaliko meninggal karena teror ketuk pintu.
Apakah semua warga mau keluar rumah? Tentu saja tidak. Tidak ada warga yang mau keluar rumah di malam hari. Mereka masih ketakutan. Salah satu hal yang paling sulit dilakukan saat hidup adalah melawan ketakutan yang muncul dari diri sendiri.
Senja kini sudah berganti malam. Karena warga tidak ada yang mau keluar rumah, akhirnya mayoritas tim Akas berjaga di depan rumah penduduk. 1 anggota tim Akas menjaga 1 deretan rumah pada sebuah ruas jalan.
Untungnya, Desa Kaliko saat itu cukup sepi karena penduduknya masih sedikit. Jadi, 15 anggota tim Akas sudah cukup. Anggota yang lain berjaga di tempat-tempat lain seperti hutan, pelabuhan, dan balai desa. Mereka langsung bergerak saat malam tiba.
Dimas menjadi salah satu orang yang berpatroli di pelabuhan. Pelabuhan itu sangat sepi. Benar-benar sepi. Tidak ada satupun manusia di sana. Sebagian kapal diikat di dermaga dan sebagian lagi dibiarkan mengapung di tengah laut dengan jangkar.
Dimas segera mengambil teropongnya. Dia meneropong bagian laut. Anehnya, tidak ada satupun kapal atau perahu yang mengapung. Padahal, malam ini adalah malam yang paling sempurna untuk mencari ikan. Namun, tidak ada satupun nelayan yang berani melaut di malam itu.
"Apakah warga yang meninggal kemarin adalah seorang nelayan? Lalu karena teror, para nelayan jadi takut untuk melaut?", pikir Dimas.
Dimas adalah Dimas. Dia hanya pemuda polos yang baru masuk tim Akas. Dia melanjutkan patrolinya. Dia menyusuri pantai ditemani oleh lampu obor merah. Hal ini membuat tubuh Dimas terlihat jelas dari kejauhan.
Seseorang memandangi Dimas dari sebuah bukit yang jauh. Tidak ada hal aneh dan hal berbahaya yang dilakukan orang itu. Dia hanya memandangi Dimas saja. Terkadang, dia juga menggunakan teropong untuk mengawasi Dimas.
Walaupun sepi dan sendirian, Dimas tetap berjalan. Hingga tiba-tiba…
"Aduh… auch…" keluh Dimas tersandung batu.
Dimas tersandung batu pantai yang terendam air. Dia tidak sampai terjatuh karena batunya tidak terlalu besar. Peristiwa itu membuat Dimas untuk duduk sejenak di sebuah batu untuk memeriksa kakinya.
Saat duduk, Dimas membuka ikatan sepatunya. Terlihat kakinya yang memar merah. Kuku ibu jari kakinya juga berdarah dan rusak. Dimas membersihkan jari kakinya yang terluka dengan air laut. Perih sih… Sangat perih. Tapi itu yang paling praktis dan mudah.
"Apa ini?" ucap Dimas saat menundukkan kepala.
Dimas melihat sebuah kertas jatuh terselip di bebatuan. Untungnya, kertas itu tidak sampai jatuh ke air sehingga bisa diambil oleh Dimas dan tidak hancur. Kertas itu terlipat dengan lipatan yang berantakan.
"Ini bukan kertas biasa. Ini kertas mahal. Tidak mungkin warga sipil biasa mau membeli ini, kecuali untuk surat cinta", kata Dimas sambil memutar-mutar kertasnya.
Penasaran, Dimas segera membuka kertas itu. Dia penasaran, kata-kata manis apa yang tertulis dalam surat cinta ini. Begitu terbuka, dia langsung membaca isi suratnya.
"Nanti ada patroli. Kembalilah. Jangan kirim barang hari ini", ucap Dimas membaca surat itu.
Dimas kaget. Lalu dia segera menyembunyikan kertas itu di saku bajunya yang ada di dada dan tertutup zirah. Dia tahu, ini bukan kertas biasa. Dia tahu, dia akan menyesal seumur hidup jika sampai kehilangan kertas ini.
"Patroli apa yang dia maksud? Patroli tim Akas? Bagaimana dia tahu bahwa tim Akas sekarang sedang berpatroli? Barang apa yang dia maksud?" pikir Dimas kebingungan.
Dimas langsung melihat sekelilingnya. Dia melihat ke depan, kanan, kiri, dan belakangnya. Tidak ada orang yang mengawasinya di sana. Dia mendongak ke arah langit, ternyata hanya ada bintang-bintang di atas sana.
Dimas memutuskan untuk memakai sepatunya kembali dan merapikan pakaiannya. Lalu dia kembali lagi berpatroli di sekitar pelabuhan. Suasana masih sepi, menyeramkan, dan gelap. Untungnya masih ada suara deburan ombak yang memecah kesunyian. Dia berjalan menyusuri pasir pantai yang sepi di malam hari.
Setelah berjalan cukup lama, tiba-tiba langkah Dimas berhenti. Dia fokus untuk mendengarkan sesuatu. Dia merasa ada yang mengikutinya. Entah siapa itu. Tiba-tiba Dimas menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa di belakangnya.
Dimas mencoba melangkah lagi, selangkah demi selangkah. Jantungnya berdegup kencang karena kaget. Dia berjalan ke depan dengan hati-hati dan waspada. Sesekali dia menengok ke arah kanan, kiri, dan belakang. Tentu saja, tidak ada orang di sana.
"Tek…tek…tek…", muncul suara pasir pantai yang terinjak.
Dimas melihat kakinya, kakinya sedang berhenti. Padahal kakinya diam, tapi muncul suara pasir terinjak. Hal ini membuatnya bergidik ngeri. Jika didengarkan dengan seksama, suara itu berasal dari belakang. Anehnya, sekarang Dimas tidak berani lagi melihat ke belakang.
"BUK!" tiba-tiba ada yang menepuk punggung Dimas. Dimas yang kaget langsung mengeluarkan pedang dan berbalik ke belakang.
"Tenang… tenang… Ini saya Xavier", sapa Xavier sambil menangkis pedang Dimas dengan pedangnya.
"Maaf, sa… saya kaget. Saya kira anda siapa", jawab Dimas terbata-bata karena kaget.
"Memangnya, kamu berharap siapa yang datang?" tanya Xavier menggoda Dimas.
"Oh ya, Kak. Tadi aku menemukan sesuatu di pantai sebelah sana", kata Dimas sambil menunjuk arah belakang dengan matanya.
Sontak, Xavier ikut melihat ke arah belakang. Ternyata kosong, tidak ada siapapun. Hanya ada pohon, pasir pantai yang banyak bebatuannya, dan kapal-kapal yang berjajar.
"Apa yang kau temukan?", tanya Xavier.
Dimas segera mengeluarkan kertas yang tadi dia temukan. Lalu, dia memberikan kertas itu ke Xavier. Xavier langsung membuka lipatan kertas dan membacanya dengan seksama.
"Nanti ada patroli. Kembalilah. Jangan kirim barang hari ini. Oh, bentar… dari mana kau dapat ini?", tanya Xavier.
"Tadi jatuh di bebatuan sebelah sana", jawab Dimas sambil menunjuk arah belakang dengan tangannya.
"Siapa yang menulis ini? Dari mana dia tahu kalau kita sedang patroli sekarang?", tanya Xavier.
"Entahlah. Karena itulah, saya berikan surat ini ke anda", kata Dimas.
"Sebentar, sepertinya aku familiar dengan tulisan ini? Ini tulisan siapa ya?" ucap Xavier sambil berusaha mengingat sesuatu.