webnovel

Part 9 (Mencintaimu pada pandangan pertama)

"Senang bisa bertemu kembali," ucap Justin seramah mungkin, bahkan Laura yang mendengarnya nyaris tersedak.

Valen hanya tersenyum menanggapinya. Kedua mata Laura yang nyaris melompat dari tempatnya, menatap Justin dengan tatapan mengejek.

"Oh, ada apa dengan seorang Justin saat ini," ejek Laura dengan sebelah alis terangkat.

Justin tidak merespons. "Kamu sahabat Laura. Kok bisa betah sahabatan sama dia," celetuk Justin hingga membuat mata Laura membelalak.

"Justin!!" teriak Laura sambil berlari ke arah kakaknya itu sambil memukul.

"Hentikan Laura, hentikan!" pekik Justin saat Laura mencoba menarik rambut kesayangannya.

Valen yang melihatnya tertawa kecil, Laura sedari dulu selalu bersikap kekanak-kanakan. Setelah bersahabat selama 10 tahun lamanya, baru kali ini Valen melihat wajah kakak laki-laki dari Laura yang memilih menatap di Mexico saat itu.

Setelah percekcokan antara kakak-adik itu usai. Barulah mereka bisa duduk dengan tenang di sajikan beberapa minuman kaleng serta camilan.

"Jadi namamu siapa?" tanya Justin penasaran.

"Valensia Anggraini Wijoyo," jawabnya sembari tersenyum ringan.

Justin tersenyum ramah. "Nama yang indah seperti orangnya," puji Justin dengan setulus hati. Laura yang melihat kakak laki-lakinya bersikap sok manis seperti saat ini membuat perutnya menjadi sakit.

"Kamu masih mengingat namaku, bukan?" tanyanya kembali dengan rasa penasaran.

Valen tersenyum kikuk sambil menggaruk tengkuknya. Seketika wajah Justin mendadak kaku.

"Namaku Justin Wilson," beritahunya sekali lagi.

Laura tertawa terbahak-bahak sambil memukul lengan kakak laki-lakinya itu. "Kau lucu sekali Justin, perutku sampai sakit," ledeknya sambil mengedipkan sebelah mata.

"Jadi kerja di mana?" tanya Justin yang seperti memiliki seribu pertanyaan di dalam kepalanya.

"Berhentilah bertanya seperti itu Justin, Valen sudah menikah," beritahu Laura secepat mungkin.

Senyuman yang menghiasi wajah Justin seketika sirna. "Ah, begitu rupanya."

Justin menggaruk tengkuknya. "Aku hanya penasaran, tidak usah di pikirkan," ujarnya.

Justin membuka minuman, meneguknya hingga tandas. Laura yang melihat bisa merasakan aura menyeramkan dari balik punggung Justin.

"Kau bukannya harus ke kantor Justin?" ucap Laura sambil mengedipkan sebelah matanya.

"Oh iya, aku nyaris lupa." Justin berdiri dari posisi duduknya. Sebelum berbalik Justin menyempatkan diri untuk tersenyum lalu berkata dengan sangat tenang. "Senang bertemu denganmu Valen, semoga kita bisa bertemu dilain waktu." Setelah itu dengan cepat Justin melangkah kakinya meninggalkan Laura dan Valen yang kini saling menatap.

Laura menatap canggung ke arah Valen yang juga menatap seperti halnya Laura.

"Aku tidak tahu kakakmu sudah menatap di Indonesia?" Mulai Valen memecahkan kecanggungan di antara keduanya.

"Ah, sekitar dua bulan yang lalu Justin kembali. Ada beberapa perusahaan yang harus diurus," beritahunya sambil mengambil camilan di atas meja.

"Kakakku sepertinya menyukaimu Valen," ucap Laura blak-blakan, bahkan kedua mata Valen melotot mendengarnya.

"Haha, apa sih Laura. Kakakmu hanya penasaran, makanya bertanya seperti itu," elak Valen sambil memakan makanan yang disajikan di atas meja.

"Aku mengenal Justin, kakakku yang malang," ucapnya sedih. Laura menatap ke arah Valen. " Seandainya kakakku lebih dulu bertemu denganmu, pasti semuanya akan lebih baik."

Valen hanya memilih diam, rasanya ini bukan hal yang pantas dirinya bahas, bahkan mengingat statusnya sudah memiliki seorang suami.

***

"Kau terlihat lelah?" tanya Angga sambil memainkan rambut Valen yang memilih menempel dengan dirinya di atas ranjang.

"Hm, sedikit," balasnya sambil berusaha mencari tempat ternyaman di dalam pelukan Angga.

"Apakah hari ini semuanya berjalan lancar?" tanya Valen sambil menyusupkan sebelah tangannya ke bawah bantal, rasanya sangat dingin.

"Tentu saja. Bagaimana kabar sahabatmu itu, pasti kau sangat senang bisa bertemu dengannya?"

"Dia terlihat sangat baik. Tentu saja aku sangat senang bertemu dengannya. Laura sudah seperti adikku sendiri, dia gadis yang sangat baik," beritahu Valen dengan ceria.

Usapan di atas kepala Valen membuat dirinya semakin mengantuk, melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 10 malam.

"Kau mengantuk Valen?" Valen menjawabnya dengan mengangguk pelan.

Valen mendongakkan wajahnya, menatap Angga dari bawah dagu suaminya itu. "Kakak sudah mengantuk?" Angga menggeleng.

Usapan di kepala Valen membuat kedua matanya semakin berat. "Tidurlah kalau kau sudah mengantuk," bisik Angga pelan.

Valen sudah terlelap dalam tidurnya, dan Angga memilih menatap langit-langit kamar dengan kening berkerut.

Apakah langkah yang diambil Angga sudah tepat, hal itulah yang menjadi pertanyaan Angga beberapa hari terakhir ini.

Dirinya merasa dihantui oleh bayangan Katy yang sesekali memasuki alam mimpinya. Terasa sangat mengganggu dan membuat Angga sedikit goyah.

Namun hati kecil Angga sudah tidak bisa melakukan kekejaman seperti dulu, terasa sangat tidak berperasaan. Valen hanya wanita lemah yang seharusnya di lindungi.

Seandainya saja Katy tidak meninggal. Pasti Angga tidak akan melangkah sejauh ini. Takdir seakan mempermainkannya saat ini.

Antara di suruh memilih cinta lama atau kehidupan baru yang terasa lebih menyakitkan setiap harinya, bayang-bayang Katy selalu menghantui dirinya.

Entah bagaimana ceritanya hingga akhirnya kedua mata Angga tertutup rapat dan ikut tertidur dengan posisi memeluk erat tubuh istrinya itu.

***

"Kau terlihat sangat buruk," celetuk Laura sambil menatap kelopak mata Justin yang terlihat lebih hitam dari biasanya.

Justin memilih diam sambil memainkan ponselnya, tidak menghiraukan Laura yang tidak berhenti mengoceh sedari 10 menit yang lalu.

"Apa ini karena Valen?" tebak Laura. Seketika Justin mendongak dengan tatapan terluka.

"Haruskah kau mengungkit wanita itu?!" balas Justin dingin.

Seluruh tubuh Laura meremang. "Kau menyukainya?" tebak Laura lagi, rasa penasaran lebih mengalahkan rasa takutnya saat melihat aura gelap di sisi tubuh Justin.

Justin mengentakkan punggungnya ke badan sofa. "Tentu, aku terang-terangan memperlihatkan aku menyukainya, apa kau tidak melihat?!" ucapnya dengan mata terpejam.

"Tapi Valen sudah memiliki suami," beritahu Laura sekali lagi.

"Yah, kau sudah mengatakannya, tidak perlu kau katakan lagi," ucapnya ketus.

"Seharusnya kau tidak menyukai Valen, Justin. Kalian tidak mungkin bersama," nasehat Laura sambil melempar bantal di atas pangkuannya ke arah Justin.

Kedua mata Justin melolot. "Mana aku tahu kalau dia sudah menikah, bisakah kau berhenti menyalahkanku Laura?!"

"Aku turut sedih Justin," ucap Laura setulus hati.

"Tapi seharusnya kau bisa dengan cepat melupakannya bukan? Bahkan kalian baru dua kali berjumpa."

Justin menyengir. “Tiga kali lebih tepatnya, bukan ini yang dinamakan takdir.”

Laura menepuk bahu kakak laki-lakinya itu. “Masih banyak wanita di luaran sana.”

“Entahlah, tapi kalau dia berniat meninggalkan suaminya, aku tidak masalah, aku mau menerimanya," ucap Justin tanpa keraguan. Terlihat ada tekat besar dari tatapan Justin saat ini.

Laura mengeram, melotot marah, lalu melempar botol di tangannya ke arah Justin. "Apa kau gila?"

"Yah, aku gila," balasnya dingin.

Justin tersenyum masam. "Mungkin kau tidak akan percaya lalu akan menertawaiku. Aku mencintainya sejak pertama kali aku melihatnya." Setelah itu Justin beranjak dari tempatnya, melangkah cepat meninggalkan Laura yang terbengong.

Seketika raut Laura mendadak muram. Untuk pertama kalinya Justin jatuh hati dan harus berakhir tragis. Bagaimanapun Laura hanya memiliki Justin sebagai saudaranya, sedangkan kedua orang tuanya terlalu sibuk dengan bisnis mereka. "Justin yang malang," lirih Laura sambil menatap punggung Justin yang semakin mengecil.

Bersambung...