webnovel

Zoella

"Apa namanya Tian?" tanya Roy dengan hati-hati.

"Bukan."

"Ah jadi beda lagi ya," jawabnya. "Sepertinya gadis itu tidak tahu kalau disukai banyak pria," gumam Roy.

"Maaf?"

"Tidak tidak. Kemarin aku tidak sengaja melihat ponselnya saat kau menelepon. Aku sedang dalam perjalanan dinas dan secara kebetulan Maya mendaftar untuk menjadi pengasuh. Kupikir kau dekat dan ingin mengetahui kondisinya. Dia sudah pulang sekarang."

"Astaga dokter, aku sangat berterima kasih." Andra bersyukur akhirnya ia menemukan Maya. Kalau tidak Nico akan selamanya jadi anak pemalas di rumah. Ia bisa bernapas lega.

***

Maya bekerja di sebuah bar bernama Mary's Bar. Pemiliknya seorang wanita dewasa bernama Mary. Dia membutuhkan karyawan penuh untuk menjadi pramusaji. Maya tergiur karena gajinya yang tinggi. Jika kampus tahu dia pasti akan dikenai sanksi karena bekerja di bar, namun beruntung ia sedang cuti sekarang.

Jdarrr!

Di luar hujan sangat deras. Maya masih menyajikan jus dan alkohol untuk para pelanggan. Beberapa dari mereka mabuk, saling bercumbu bahkan melakukan hal mesum di lorong. Bar club itu sangat besar dan biasa didatangi oleh para tamu tetap seperti para VIP. Setelah bekerja di sana, Maya jadi tahu dunia malam. Ada beberapa pejabat yang datang untuk menyewa perempuan muda, bahkan orang terkenal di negara ini sekalipun. Para selebriti dan tokoh-tokoh yang memiliki reputasi dan karir cemerlang. Maya berpikir bahwa di manapun pria memang sama saja. Ia bahkan tidak menyangka akan bekerja di tempat laknat seperti ini. Namun di sini dia bisa mendapat gaji yang lebih tinggi dari cafe biasa.

Ia melihat keributan di luar dekat pintu utama. Maya melangkah mendekat dan melihat penjaga berusaha mengusir seorang gadis muda. Ia meminta penjaga tenang dan dia berbicara pada gadis itu.

"Ada apa?" tanya Maya. Gadis itu basah kuyup dan bertelanjang kaki. Ia terlihat menyedihkan dengan rambut acak-acakan.

"Aku ingin bekerja di sini," katanya. Ia nampak putus asa.

"Siapa namamu?"

"Aku tidak ingat. Tapi aku ingin menjual diriku sendiri."

"Apa?"

Flashback

"Jalan buntu. Jadi benar ini cuma mimpi seperti biasanya. Seri ke berapa kira-kira?" gadis tak bernama itu berhenti di depan tembok besar yang tingginya hampir sama dengan pohon cemara. Ia berada di gang buntu.

Gadis itu berbalik dan memandang jauh gang sempit itu yang hanya disinari samar-samar cahaya lampu entah dari mana. Lurus tak bercabang hingga tidak terlihat ujungnya.

"Apa gadis itu mabuk?" terdengar suara mengejek dan tertawa.

Tiga laki-laki berjalan berlawanan. Satu diantaranya bertubuh gempal dan terlihat kuat fisiknya, dia seorang bawahan. Sedang dua lainnya tinggi dan matanya tajam. Satunya memakai sarung tangan hitam di tangan kanannya, satunya berambut merah menyala.

"Aah..preman rupanya. Kurasa ini akan buruk."

Kata gadis itu seraya berjalan cepat melewatinya tanpa mempedulikan tatapan mereka yang jelas-jelas mengincarnya. Hingga suara srak seperti benda terjatuh membuat gadis itu berhenti dan menoleh tanpa pikir panjang. Tas hitam milik seorang pria yang kebetulan lewat di sana dibanting keras dengan pria gangster bertubuh gempal dan kekar.

Sedang pria berjas rapi yang tampak kerempeng itu mundur ketakutan.

Si pria berambut merah menyadari ketertarikan pria yang bersamanya. Ia tersenyum dan menyeretnya dalam permainan mereka. Pria bertubuh gempal menarik lengan gadis itu dan melempar tubuh kecilnya di dinding yang telah berumput dan berlumut.

"Kau ingin menolongnya?" tanya pria berambut merah dengan sok kuasa pada pria kerempeng.

Gadis itu berlari meraih kaki pria kerempeng itu dan meminta pertolongan. Ia berpikir bahwa setidaknya pria bisa melindungi dirinya sendiri.

"T…tolong aku, Tuan." gadis itu meringkuk di bawah kakinya dan berkeringat dingin.

"Coba lihat gadis ini. Menarik sekali," kata pria berambut merah itu pada pria bersarung tangan hitam yang dipanggilnya Dean. Pria yang memiliki rambut warna merah itu adalah Ian.

Dean hanya menunjukkan wajah datar.

"Memangnya siapa yang bisa menyelamatkanmu!" teriak pria kerempeng seraya melempar tubuh gadis itu ke dinding hingga terkulai dan tak bergerak.

Dean melihat pergelangan kaki gadis itu yang memar lalu mendecih melihat kejadian itu.

"Ian.. habisi pria kerempeng itu." Dean menatap tajam pada rekannya.

"Benarkah kita boleh bermain dengannya?" Ian memastikan.

Dean tak menggubrisnya.

Ian memberi instruksi supaya bawahannya yang bertubuh gempal itu menyeret pria kerempeng itu menjauh.

Sedang Dean menghampiri gadis itu yang masih setengah sadar. Ia membuka sarung tangannya, lalu mengangkat dagunya kasar.

"Siapa namamu?"

Gadis itu membisu, lebih tepatnya tidak bisa menjawabnya.

"Gadis yang menarik," komentar Ian.

Dean memeriksa wajah gadis itu dan mencari kalau kalau ada luka. Gadis itu menatapnya jijik dengan alis mengerut. Pandangan yang tak nyaman bagi Dean. Namun yang pasti Dean tahu dari sorot matanya yang tajam, gadis itu seperti putri bangsawan yang dibuang. Rambutnya panjang kusut dan bajunya nampak mahal hanya saja compang-camping. Dean berjongkok dan menatapnya serius.

"Apa kau masih perawan?" tanya Dean seketika.

"Kau serius bertanya itu?" Ian yang berdiri di sampingnya menoleh terkejut.

"Kenapa?" Dean tetap menatap gadis menyedihkan yang duduk di tanah dan kotor itu. "Gadis ini sepertinya perlu pertolongan kita," ia melirik Ian.

Gadis itu tahu kalau geng pria di hadapannya ini bukan pria biasa.

Keesokan paginya.

"Gadis perawan?" Ian miris mengingat pertanyaan Dean kemarin malam. "Apa dia serius? Dia pasti sudah gila."

Ian berjalan menuju ruang tengah. Cuitannya terdengar Dean dan yang lainnya. Mereka berkumpul di sana.

"Kau memang tak bisa mengontrol mulutmu seperti biasa," sahut Onyx, pria berambut gelap yang duduk di samping Dean.

"Sumpal saja mulutnya dengan rokok," teriak Sano yang baru memasuki ruangan. Ia melirik Ian yang duduk di daun jendela dengan santai.

"Oi oi aku sudah berhenti merokok." Ian tersenyum main-main. "Sekolah menangkapku kemarin. Aku hampir saja dikeluarkan."

"Rasakan kau!" Sano senang mendengarnya. "Kau akan ditendang Dean jika sampai dikeluarkan dari sekolah kan?"

"Sekolah? Yang benar saja. Mana mungkin aku dikeluarkan."

Onyx meliriknya.

Dua pria lain yang duduk di ruang tengah adalah Elias dan Zen. Elias seorang yang tenang, ia duduk dengan tangan terlipat di dada. Sedang zen jangankan mendengarkan perdebatan rekan-rekannya, kerjaannya sibuk makan camilan dan bermain ponsel. Kecuali di tengah pertempuran, kepribadiannya yang lain mungkin akan keluar. Usianya baru 15 tahun. (seumuran dengan Viola).

"Apa kita benar-benar akan mengurus gadis yang dibawa Dean kemari?" tanya Sano.

Yang lain hanya diam, mereka juga ikut memikirkannya.