webnovel

Wings

"Kau lebih buruk dari anjing pelacak. Kau harusnya menjadi detektif alih-alih menjadi gangster. Kau tidak berencana keluar dari sini?" pancingnya.

"Tidak tidak, kau salah lagi," Onyx mendekat ke Elias. Ia tersenyum mencemooh.

"Aku bisa lebih buas daripada Dean, lebih kuat daripada Sano, lebih aneh dari Ian, lebih psiko dari Zen, dan lebih jenius dari kau. Mau bagaimana lagi...aku tidak bisa keluar dari sini karena kalian membutuhkan aku."

Onyx merentangkan kedua tangannya dan berbangga diri.

"Kemungkinan kau berkhianat juga lebih besar dari kami. Bagus juga kalau kau sadar diri," Elias memasukkan tangannya ke saku celana. Membalas perkataannya dengan senang.

Onyx tersentak. Ia berdehem pelan.

Elias mendekat dan berbisik di telinganya.

"Jika kau ingin melakukannya (berkhianat), lakukan lebih dulu padaku. Kupastikan suntikku lebih cepat dari pada pistolmu."

"Apakah perbincangan ini bahkan ada akhirnya?"

Onyx menggaruk kepalanya sembari tertawa konyol. "Aku bukan praktisi hukum jadi aku agak lelah adu argumen. Kau ingin tahu keadaan Dean dan Cherry, bukan?"

"Aku tahu kau belum puas menyudutkanku." Elias membenarkan letak kacamatanya.

"Mereka baik-baik saja. Mungkin keduanya sedang bercinta di hotel sekarang. Dan bersenang-senang."

"Kau pintar mengalihkan topik, Onyx Holmes."

"Aku tersanjung mendengarnya, Dokter Watson, em, maksudku Dokter Elias."

Elias tersenyum remeh.

"Aku tidak sudi jadi partnermu."

Mereka berdua saling menatap tajam satu sama lain, namun Onyx sesekali memberikan senyuman simpul. Dia tidak ingin ada perang internal lagi. Dan untuk Elias, wajahnya memang tidak ditakdirkan untuk tersenyum. Ah menyebalkan, begitu pikir Onyx ketika beradu argumen dengannya, meskipun ia juga menikmatinya.

Di hotel

Dean duduk di tepi ranjang sembari memegang plester. Ia hendak menempelkan plester ke wajahnya namun tidak yakin akan tepat di lukanya. Ia meringis menahan perih.

(Dean terluka di pipi karena gunting yang dilayangkan Cherry)

Sebelum plester benar-benar tertempel di pipi Dean, ranjang bergerak dan Dean mendapati Cherry bangkit dari tidur. Ia duduk di hadapan Dean. Secepat kilat diraihnya plester itu dan ditempelkan ke pipi Dean dengan pelan.

"Harusnya kau menempelkannya sambil bercermin," kata Cherry datar.

"Harusnya kau sadar ini semua gara-gara siapa."

"Bukankah kau menikmatinya, permainanmu semalam?" Cherry mendekatinya, mendesaknya dan mendorongnya hingga terlentang di ranjang. Dean menyipitkan matanya.

"Kau puas hanya memandangiku semalaman? Aku tidak habis pikir bisa-bisanya kau tidak menyentuhku sama sekali. Atau kau merasa terlalu berdosa memuaskan nafsumu di atas gadis yang tertidur pulas?" Cherry menekan selangkangan Dean dengan liar.

"Apa kau tidak mengenakan pakaian dalam?" Dean merasa sesuatu yang kenyal menabrak dada bidangnya.

"Aku melepasnya tadi saat kau sibuk dengan plestermu."

"Kau benar-benar menyukai posisi seperti ini rupanya."

Dean meraih pinggangnya hingga membuat tubuh kecil Cherry terjatuh di atasnya.

"Apa yang kau inginkan di pagi buta begini?" tanya Dean serius.

"Kenapa kau tidak menyentuhku? Atau setidaknya mencoba memeperkosaku?"

"Sebegitunya kau ingin uang?" Dean tersenyum remeh.

"Kalau begitu belikan aku baju."

"Dengan sex?"

"Kenapa? aku secara spesial memilihmu, sepertinya kau bukan pria 'loyo',"

Cherry tersenyum mengolok. Ia membalas dekapannya dengan membuka satu persatu kancing kemeja Dean dan meniup telinganya sembari berbisik.

"Apa kau…. perjaka?"

***

Sano menguap lebar sembari menggaruk kepalanya, ia menuruni tangga dengan santai dan bersyukur akhirnya bisa tidur nyenyak tanpa harus memikirkan Dean dan semua permasalahan di Sky Lynx. Ia berjalan menuju dapur untuk mengambil jus di kulkas, tak sengaja ia melihat Elias keluar dengan setelan jas rapi serta kacamata yang mengkilap.

"Kau akan kembali ke perusahaan?" teriak Sano, ia meminum air putih.

"Uhm," Elias berdehem.

"Bukankah terlalu cepat, kita baru cuti beberapa minggu. Aku masih belum puas menghajar si bangs*t Black Bird."

"Justru sebaliknya, kita bisa menaklukkan mereka lebih baik lewat ekspansi perusahaan ekspor impor kita."

"Aku jadi khawatir kalau kau mengambil alih bagianmu di sana."

Sano mendecakkan lidah merasa tak yakin karena banyak karyawan mengundurkan diri ketika Elias mengambil alih menjadi CEO tahun lalu. Bisa dibayangkan dia orang yang perfeksionis dan semuanya harus sesuai dengan aturannya.

"Kutegaskan sekali lagi. Aku tidak peduli dimana Dean sekarang atau gadis entah berantah itu, tapi akan kupastikan dia tidak membuat kekacauan ini lagi," kata Elias sembari melipat lengan kemejanya.

Setelah ia melangkah keluar, Sano mengedikkan bahunya dan bergumam bahwa Elias kadang-kadang memang tidak waras. Tidak waras maksudnya terlalu berlebihan terhadap semua hal. Memang siapa yang benar-benar percaya bahwa dia setidak peduli itu dengan Dean, atau siapa yang percaya bahwa dia tidur semalaman saat Dean menghilang. Semua orang di Sky Lynx tahu bahwa Dean dan Elias menunjukkan rasa pedulinya pada masing-masing dengan cara yang unik.

Disusul Ian yang kemudian keluar dengan seragam sekolah dan tas punggung yang ia gantungkan di bahu kirinya. Bahu kanannya masih di perban. Sayang, penampilannya acakadut. Dasinya longgar, tidak memakai blazer, sepatu warna-warni, rambutnya dicat warna merah menyala mirip idol, ujung atas dan ujung bawah kemeja tidak dikancingkan. Ia melenggang begitu saja di depan Sano, sebelum Sano meneriakinya.

"Woy!"

Ian mendecih lalu menoleh sembari mengumpat.

"Kau salah makan? Kenapa teriak-teriak?!"

"Harusnya aku yang tanya!" Sano mendekat dan menarik dasinya. "Kau mau tawuran apa mau sekolah huh?"

"Apa pedulimu, dasar pak tua."

"Oi, panggil aku kakak. Aku heran kenapa kau hanya sopan ke Dean dan Elias? Menyebalkan sekali bocah ini."

"Kalau Onyx memanggilmu Kakak aku akan menirunya," kata Ian sembari mengunyah permen karet.

"Sudah-sudah pergi sana. Kalau kau bukan pelajar sudah kuhabisi kau." Sano mengangkat tangannya seolah akan memukulnya. "Berangkatlah dengan Onyx!" teriak Sano kemudian.

"Aku akan cari cewek hari ini, aku malas memungutnya!" teriaknya.

Setelah Ian keluar, diikuti Onyx yang tengah berlarian menuruni tangga sembari merapikan dasinya dan Zen yang berjalan santai menuju dapur. Tidak lain lagi pasti tengah mencari susu kesukaannya di kulkas.

"Sano, apa Ian sudah berangkat?" kata Onyx terburu-buru. Sepatunya hampir lupa ia pakai.

"Dia baru saja keluar."

"Dasar anak itu, cih! Tak akan kubiarkan kau meninggalkanku. Woy Ian! Tunggu aku! Aku bilang akan nebeng kan!" teriak Onyx tak jelas. Ia berlarian keluar.

"Setidaknya panggil aku Ka... arghh... dasar anak-anak tak berguna itu. bagaimana bisa kalian melakukan ini padaku? Padahal aku seumuran dengan Dean dan Elias."

Sano akhirnya pasrah diperlakukan tak sopan oleh keduanya.

"Sudahlah, Kak Sano. Sini duduk bersamaku, ayo minum susu," sahut Zen.

"Ketika kau sudah dewasa nanti jangan meniru mereka. Aku sedih sekali, huhu."