webnovel

Wild

Cherry berusaha mengelak dan menutupi tubuhnya dengan selimut. "Lepaskan! Lepaskan aku!"

Dean menghela napas berat. Ia memegang kepalanya yang pening, lalu melangkah mendekati mereka. Ia menarik rambut Jeffry dan menyeretnya.

"Aw aw apa yang kau lakukan?" protesnya. "Pacarmu ini pencuri! Dia ini gadis jal…."

Buagh!

Dean memukulnya hingga dia jatuh ke lantai, hampir pingsan. Namun ia bangun lagi sembari memegang kepalanya yang sakit.

"Sial sekali aku hari ini!" Jeffry marah. "Ini semua gara-gara kau!" ia menunjuk Cherry.

"Keluarlah! Pelayan di luar akan mengurus uangmu. Biar aku yang mengurus gadis ini. Dan satu kali lagi." Dean mengarahkan pistol itu ke arahnya lagi. "Dia bukan pencuri, paham?"

Pria itu mengumpati Dean. Namun karena dia memegang pistol, akhirnya ia memilih keluar. Diambilnya kemeja dan jasnya lalu dipakai di tempat. Ia lalu keluar dengan dongkol dan marah.

"Pastikan kau mengembalikan uangku," katanya dengan penuh penekanan. Ia keluar dengan membanting pintu.

Setelah Jeffry keluar, Dean mendekat ke Cherry di ranjang. Dean menodongnya dengan pistol. Wajahnya dipenuhi amarah.

"Asal kau tahu saja, aku bahkan belum mendapat bayaran sepeserpun!" Cherry marah. "Tembak saja! Tembak saja aku!"

Prang!

Dean tiba-tiba membuang pistolnya dan naik ke atas ranjang. Ia membuka kemeja dengan brutal lalu di dorongnya tubuh Cherry dan menindihnya.

"Kalau begitu aku yang akan menggantinya."

Dean menekan selangkangan Cherry dengan lututnya hingga membuatnya merintih. Mereka berada di posisi yang tidak seharusnya. Dean mendekatkan bibirnya ke bibir Cherry namun Cherry mengelak dan menoleh ke samping. Dean mengambil kesempatan itu untuk merogoh bawah bantal. Ia menemukan black card milik pria tadi ia sembunyikan di sana.

"Ini yang kau inginkan? Apa kau pencuri?"

"Ini milikku!" Cherry berusaha mengambilnya namun Dean menghalanginya. "Aku memang pencuri. Kenapa!"

Dean menyadari sesuatu. Gadis itu memang sudah gila. Dari awal dia memang tidak waras. Ia terus-terusan melakukan percobaan bunuh diri atau menjual dirinya. Ia bangkit dan berdiri sembari kembali mengenakan bajunya.

"Kalau kau sangat menginginkan uang kenapa takut melakukannya?"

Cherry bangkit dan memungut pakaiannya di lantai, diambilnya gunting di laci lemari kecil sisi ranjang kemudian memotong-motong pakaiannya hingga beberapa jarinya berdarah karena ujung gunting yang tajam.

Dean menoleh dan terperangah menatap apa yang dilakukannya. Ia melotot dan panik melihat darah menetes di lantai. Cherry tak mengenakan pakaian yang pantas.

"Kenapa? Kau pikir aku gila kan? Kau tidak salah. Aku memang gila! Gadis gila! Hahaha!" Cherry tertawa terbahak-bahak sembari memotong-motong bajunya.

Dean mendekat dan berniat menghentikan kegilaannya namun Cherry mengayunkan gunting ke udara hingga pipi Dean tergores dan mengeluarkan darah segar.

"Kau pikir aku akan membiarkan pria tadi meniduriku? Kau yang gila di sini! Kau menghancurkan rencanaku! Memangnya siapa kau?!"

Dean menghela napas. Ia mendekati Cherry dan meraih gunting itu secepat kilat lalu melemparnya ke dinding. Ia membuka kemejanya lalu memakaikan bajunya ke tubuh Cherry.

"Kau bisa mati jika terus begini."

"Aku memang harus mati. Memangnya kau tahu apa?!"

"Hentikan semua ini! Hentikan!" Dean memegang bahunya yang gemetaran. Setelah ia meneriakinya, gadis itu agak tenang. Ia terdiam sejenak. Dean lalu mengancingkan kemejanya dan merapikan baju Cherry, meskipun kemeja itu terlalu besar di tubuhnya.

"Kenapa? Kenapa kau datang ke sini?!" Cherry memegang kepalanya sendiri dan memukul-mukulnya lalu menarik rambut panjangnya hingga rontok. "Kenapa kau datang ke sini?!"

Dean menarik tangannya agar berhenti menyakiti dirinya sendiri.

"Berhenti! Berhenti menyakiti dirimu sendiri!"

Cherry mendongak lalu menatapnya. "Kenapa kau datang ke sini?" matanya berkaca-kaca memerah.

Dean terdiam sembari menatapnya. Lalu menjawab. "Aku tidak punya alasan."

Cherry memegang ujung kemeja yang ia kenakan dan menundukkan kepala.

"Kalau kau mau menyelamatkan, kau harus melakukannya sampai akhir."

Dean mendengar suara Cherry yang serak dan melemah. Ia tahu kalau gadis malang itu mulai menangis.

"Kau harus melakukannya sampai akhir!" teriaknya sembari memejamkan mata. Air mata luruh di pipinya.

Dean menatapnya pilu. Ia mendekap gadis itu dalam pelukannya. "Aku akan melakukannya. Kau puas? Jadi berhentilah menyakiti dirimu sendiri."

Di luar kamar, Onyx mengelus dadanya lega begitu juga Mary yang menggeleng melihat kelakuan dua manusia di bar hotelnya.

Onyx loyo dan terduduk di lantai sembari bersandar di dinding. Mary menepuk punggungnya. Onyx sudah bekerja keras hari ini. Ia menghela napas berat.

"Akhirnya aku menemukan keduanya, huft," keluhnya.

Beberapa waktu sebelumnya, Onyx menghubungi Ian dan meminjam mogenya (motor gede) di bengkel langganannya.

"Aku akan pergi ke Vorska. Apa motormu masih di sana?" tanya Onyx di seberang telepon.

"Kau pasti sedang melakukan hal seru tanpaku, dasar," Ian asyik ngemil buah.

"Bukankah kau sedang bersantai memakan apel sekarang?"

"O? Seperti biasa kekuatan cenayangmu memang yang terbaik di negeri ini."

Onyx mendecih mendengar pujian setengah-setengah yang biasa dilontarkan Ian. Ia hendak berbicara lagi, namun tiba-tiba panggilan dari Mary masuk.

"Pokoknya aku pinjam motormu ya," kata Onyx lalu menutup panggilannya sepihak.

Klik!

"Woy, Onyx! Ah sialan bocah ini." Ian menutup ponselnya lalu melanjutkan harinya dengan memakan buah dan menikmati hari-hari liburnya, entah di organisasi ataupun di perusahaan.

Onyx mengangkat panggilan dari Mary.

"Kurasa aku tahu dimana Dean dan gadis yang kau cari," katanya di seberang telepon. Onyx menyalakan dan bergegas. Rupanya ia memang sudah meminjam motornya. Hanya saja ia telat meminta izin.

"Maaf, Ian. Tapi sebelum meminta izin, aku sudah meminjam motormu lebih dulu," batin Onyx.

Ia memakai helm lalu segera menuju ke tempat Mary. Ia mengendarainya dengan kecepatan di atas rata-rata.

Sesampainya di bar, ia menemui Mary di ruang kendali cctv. Di sana terlihat Cherry dan pria asing tertangkap kamera tengah melewati koridor sekaligus Dean yang berdiri tak jauh dari mereka. Di depan kamar Dean juga terlihat sedang panik bersama asisten Mary. Onyx melihat wajah Dean yang marah, panik, kesal, sekaligus kecewa. Ia memperhatikannya dan menyimpulkan sepertinya Dean akan mempertahankan gadis ini.

"Dean….dia tidak pernah seperti ini sebelumnya," kata Onyx sembari menatap Dean di layar cctv yang panik. "Dia selalu tenang seperti singa yang tertidur. Namun kali ini tidak ada angin dan badai, bahkan musuh tidak akan membuatnya berekspresi seperti itu. Tapi kali ini…." Onyx tidak bisa melanjutkan kata-katanya lagi.

Mary menatap wajah Onyx dari samping yang terlihat serius.

"Jangan lupa, kau hutang penjelasan padaku," Mary mendecih. Ia membuat suasana agar tidak terlalu tegang.

"Ingatkan aku nanti. Apa kau tidak lihat itu?" Onyx menunjuk kamera pengawas dengan panik.