webnovel

Viola

"Jelas.

Semakin jelas, makin segalanya menjadi lekas pudar,

Ambigu yang berkepanjangan,

Ilusi, intuisi, membaur tanpa materi,

Aku berlalu dengan bisu."

Viola POV

Sesuatu yang merongrong di setiap jalanan. Merintih kesakitan. Debu bercampur darah. Sakal diantara jendela-jendela. Terlelap suatu masa manusia. Satupun tak ada. Hati terkubur dalam. Menanggung hal tabu dengan kalap. Hitam melahap. Cahaya dalam butiran padang pasir. Jatuh sepasir waktu. Habis dimakan sengatan serangga. Kupu-kupu dan kunang-kunang. Berdecak mulut berdesak-desakkan dengan lidah. Pahit dan asin. Begitulah rasa. Terombang-ambing maple coklat tipis. Mendarat pelan di udara lalu perlahan berada di atas telapak tangan putih. Mendongak sedetik saja. Ke atas ranting-ranting yang mulai rapuh. Berbicara pelan dan lembut akarnya. Jalanan masih sepi. Lalu aku meninggalkannya dalam kebisuan.

Bisu yang membutakan. ku menatap keduanya. Kepompong dan jentik-jentik. Manakah yang mengeluarkan racun? Manakah yang paling menjijikkan? Tidakkah terlalu naif pembahasan yang sangat biasa ini. Masih melangkah setapak. Di reruntuhan daun layu sekitar. Terperangah memandangi kabut kejauhan. Menyilaukan mata, namun menimbulkan keingintahuan. Bukan pengecut yang melarikan diri. Mengubah warna biru langit menjadi abu-abu gelap. Aku mematung menatap kegilaan. Kabut kemerah-merahan menyingkap satu persatu halangan. Hingga jelas segalanya. Diperumit dan dipersulit. Namun bayangan itu makin terlihat. Ia mendekat. Pasti secara perlahan dan mendebarkan. Aku hampir merona. Jari lentik yang mengetuk kuku. Lalu senyuman merekah di bibir. Mengingat kepahitan, kadang-kadang rasa hangat sebuah...

"Lihatlah aku." pria itu menyibakkan poninya yang ringan. Hampir tertutup kedua matanya. Tersenyum dengan entah apa artinya. Lekat menatap iris cokelatku.

"Kau muncul lagi," celotehku berurai kenangan. Mendengar rayuannya membuatku gila. Ingin melarikan diri namun tak bisa.

"Kau lah yang bodoh, masih saja tak percaya takdir," wajahnya berbinar. Dan sebuah senyuman kecil di bibir. "Jangan marah. Aku hanya mengikuti arah mata angin di kompasku."

Tatapan semacam itu. Seolah membunuh. Aku tak bisa diam. Dan takut terluka. Karena goresan pisau yang tak terlihat. Mimpi buruk yang membayangi malam. Tak berhenti sampai kemarin, hari ini maupun esok. Emosi yang membuncah. Tak sabar membuatku ingin segera mati. Suara palsu. Pandangan palsu. Seakan dopamin tak dapat membantu.

"Kau...tidak nyata," tenggorokanku tertahan.

"Cahaya, kabut, hadiah, kereta, tongkat, pena, dan cinta. Kauterlalu bodoh memahami semua hal itu. Itu semua adalah tentang pilihan. Yang kau butuhkan, atau yang kau inginkan. Sejujurnya aku sangat berhati-hati dalam percakapan kita sekarang ini. Aku hampir saja menyerah. Tapi aku tidak bisa menyerah semudah itu sekarang" gurat-gurat di pelipis pria jangkung itu semakin banyak. Seperti seseorang yang lelah namun tetap bersemangat. Daun maple di telapak tangan halus, serta genggaman di jari-jari. Tak mampu membohongiku," tukasnya.

"Aku mengerti. Kalau begitu pergilah. Lanjutkan perjalanan panjangmu yang harus kau tempuh. Sesungguhnya aku masih tak paham apa sebenarnya dirimu."

"Bukan aku. Tapi kau yang harus menempuhnya."

Aku terdiam, mengernyitkan dahi sejenak. Helaan napas melelahkan jalan satu-satunya. Pria itu tersenyum pucat. Melengkung seperti pita merah muda. Hambatan tali temali ia usap. Lalu blam!

Hanya mengerjap beberapa kedipan. Seperti berat ia meraih sesuatu. Namun hati kecil sama layaknya seseorang yang sayu karena luka. Ia berjalan dengan langkah tegap dan pelan. Meraih daun maple di tanganku. Menggenggamnya seolah memilikinya. Matanya masih indah. Terpancar sinar senja. Sorot violet redup dengan butiran kristal 0.001 mm. Jantungnya juga berpacu seperti tak ada bedanya. Kulit seputih susu dan rona cahaya di tubuhnya. Jiwanya. Apa yang aku khawatirkan lagi dengan makhluk yang hampir sempurna itu? Yang perlu kulakukan hanyalah menghabiskan detak jam yang membosankan. Seperti hidup namun tak hidup.

"Kau...hidup?" suaraku getir. "maksudku, apa aku sedang berada di lembah kematian atau semacamnya?"

Pandanganku mengedar. Lalu terpaku lurus pada gumpalan awan yang berjajar seperti barisan. Pria itu tak menanggapi pertanyaanku. Ia memendam raut muka yang sulit dipecahkan.

"Retorika kemanusiaan, parodi kemanusiaan, orasi kemanusiaan, dan...atau manusia yang bermain kemanusia-manusiaan. Kau percaya itu?" tanyanya.

"Aku tidak punya jawaban yang cukup bagus. Tapi mengenai poin terakhir, kurasa memang begitulah adanya."

Pria itu melangkah mendahuluiku. Ia melonggarkan sedikit jaket tebal yang menyamai bentuk tubuhnya. Jalanan setapak tak nampak menggairahkan badan. Lurus tak berujung. Seperti sesuatu yang tidak jelas jika berada di kejauhan. Batang-batang akasia melengkung nyaris menyentuh tanah. Masih ada kesenggangan bicara satu sama lain. Di satu sisi aku merasa heran. Di satu sisi lagi tak ada perasaan apa-apa mengenai keadaan sekitar. Seolah embun dan akar-akar serabut telah membiarkanku menemui hal-hal itu.

Aku memandangi punggung pria itu yang perlahan-lahan mengecil. Jauh di depanku. Memudar. Menghitam seperti bintik. Lalu menghilang. Apa aku merasa kesepian?.

Berat. Kepalaku terasa berat. Apakah ini beban?

Aku limbung dimakan asaku sendiri. Tertimbun lelah, penat bertahan. Daun-daun menjulang. Terperosok makin dalam ke kubangan. Sebelah mataku menerawang. Adakah pilar yang tumbang di sebelah sana? Aku terbungkam, pandanganku menyipit. Bibirku tersenyum getir. Tengah melawan.

"Kau...baik-baik saja?" suara berat nan basah. Terdengar ringan di telinga.

Ternyata pipiku menyentuh jalanan yang rindang itu. Tertidur di sembarang tempat, memang kebiasaanku. Ini semua gara-gara pil itu. Diantara setapak yang sunyi. Setapak yang menghalau cahaya matahari. Yang membuat hawa dingin dan air dedaunan menetes lemah. Aku ingin bangun.

"Sangat dingin bukan?" ujarnya lagi.

Pria itu membangkitkan tubuhku yang terkapar. Ia menahan bahuku yang tak berdaya seperti sekarat. Ini bukan sesuatu yang krusial. Seolah sudah biasa. Seolah dirinya mengerti orang macam apa aku ini. Dulu sekali. Aku menatapnya nanar.

"Hentikan!" teriakan melengking dari bibirku.

Mirip kicauan burung-burung yang mulai kembali di kala senja. Langit mulai menguning diiringi puisi dan sebuah adagium. Aku mundur beberapa langkah menghindarinya. Genggamannya. Sentuhannya. Wajah pasinya. Semua yang ingin kubuang atau hampir kubuang.

"Kubilang hentikan!" napas terengah-engah. Aku menampik lengan besarnya ke udara. Buliran jernih diantara kelopak. Memenuhi emosi. "Aku tidak tahu apa itu deduksi. Apa itu mutasi. Atau tentang gradasi mengenai aksioma. Kau menghilang seperti abu. Kau menghilang seperti buih. Ini seperti aku sedang membaca kisah anomali. Aku seharusnya tidak perlu melihatmu lagi dan kau tidak perlu melihatku lagi. Ini mimpi buruk yang terlalu jelas. Aku sadar itu. Lalu apa kau akan mengatakan 'Ini bukan mimpi, aku nyata dalam pikiranmu. Ini dunia yang sama' begitu? Aku tidak mau menangis atau meneriakimu sekarang. Aku hanya ingin pulang"

"Tapi sayangnya, kau tidak punya tempat untuk pulang," sanggahnya.

Aku membisu.

Bab 37 Tak Bernama

"Tapi sayangnya, kau tidak punya tempat untuk pulang," sanggahnya.

Aku membisu, lalu tersenyum setengah hati. Membenarkan ucapannya dalam batin terdalam. Lidahnya kalap. Ia menggertak, menjadikan apa yang kukatakan sebagai umpanku sendiri.