webnovel

Uang dan Uang

Semua kelas bersiap dan para guru juga sibuk. Koridor penuh dan sesak, semua siswa siswi bersiap-siap. Kara berjalan di belakang Ian dan hampir tertendang yang lain, hingga ia hampir jatuh.

Kara terkejut dan hampir kehilangan keseimbangan. Ia terdorong ke belakang, namun tiba-tiba sebuah tangan dari depan muncul dan meraih tangannya. Itu adalah Ian.

Bruk

Ian menarik Kara hingga ia menabrak tubuhnya. Ian memegang kepalanya agar tidak tertendang yang lain.

"Astaga!" Kara terkejut.

"Kau baik-baik saja?"

Kara mengangguk.

"Hati-hati kalau jalan. Duh sesak sekali lagi di sini. Pegang tanganku."

"A...apa?" Kara kikuk.

"Apalagi? Ayo cepat, kita akan terlambat."

"Em, iya." Kara meraih tangannya.

Ian diam-diam tersenyum lalu menggenggam erat tangan Kara. Mereka berdua berlari di koridor. Ia menoleh ke belakang dan tersenyum padanya.

"Apa ini? Kenapa dia tersenyum seperti itu?" batin Kara bergejolak. Ia menggeleng pelan untuk menyadarkan dirinya sendiri.

***

"Viola! Viola! Viola!"

Roy membuka semua ruangan di rumah dan tidak menemukan Viola dimanapun. Ia mendapat chat darurat dari guru bahwa Viola kabur dari kelas latihan try out untuk ujian. Setelah berlari dari universitas ke sekolah Viola, guru mengatakan bahwa dia tidak ada di sudut manapun. Staf dan guru sudah mencarinya di seluruh bangunan. Roy membuka jas dokternya dan membawanya di lengan

"Ma...maafkan saya. Maafkan adik saya!" Roy membungkuk dan terus-terusan meminta maaf di kantor sekolah.

"Pak Dokter, anda tidak perlu membungkuk seperti itu," semua guru sudah tahu kalau Viola memang murid spesial dan berbeda. Mereka merasa kasihan pada Roy.

"Tetap saja ini salah saya. Saya tidak bisa menjaganya dengan benar. Maafkan saya. Saya akan memastikan ini tidak akan terjadi lagi."

Wali kelas 9-1 mendekat dan menepuk lengan Roy pelan. Beliau sudah berumur dan dengan lembut mengatakan tidak apa-apa.

"Sebaiknya Pak Dokter segera mencarinya. Jangan pikirkan kami. Kami memakluminya."

"Terima kasih. Saya pamit permisi dulu." Roy dengan raut wajah cemas dan khawatir lalu bergegas keluar dan meninggalkan sekolah.

Wali kelas menghela napas dan menyayangkan keadaannya, Roy masih muda dan harus menanggung beban berat di pundaknya.

Ia masuk ke dalam mobilnya. Di kursi samping ada buku harian Viola yang Roy bawa. Di sana tertulis.

"Aku hanya beban untuk Kakak. Aku akan mandiri dan pergi ke taman bermain sendirian."

"Kau bukan beban, Viola. Kau itu adikku! Astaga!"

Roy menghela napas sembari memegang keningnya.

"Oh Maya!" Roy teringat Viola ingin mengajak Maya bersamanya.

***

Maya berdiri di depan bar Mary. Ia membawa tas berisi baju seragam yang rusak beserta sepatu yang hilang. Ia harus berani dan menghadapi masalah yang sudah terjadi.

"Semoga Ny. Mary memaafkanku," batinnya. Ia lalu masuk ke dalam dengan dengan keteguhan hati.

Maya masuk ke dalam dan berjalan melewati koridor menuju ruangan Mary. Ia lalu mengetuknya pelan.

"Masuk."

Maya membuka pintu dan betapa terkejutnya ada Dean di dalam bersama Mary.

"Kebetulan sekali yang dibicarakan datang," kata Dean.

Maya tertegun sesaat.

"Ada apa?" tanya Mary.

"Anu Nyonya...Saya minta maaf karena menyebabkan keributan kemarin. Seragam saya...itu seragamnya saya rusak."

"Apa?" Mary berdiri dan meminta tas berisi seragam.

Mary mengeluarkan rok yang sobek parah dan kemeja yang sobek lengannya juga beberapa kancingnya hilang.

"Si Jeffry sialan itu! Dia merusak seragam yang kudesain sampai separah ini!"

Maya yang tadinya menunduk takut mendadak terkejut mendengarnya.

"Eh?"

"Kenapa kau yang minta maaf? Dia sudah menimbulkan kekacauan dua kali di barku. Aku sudah mencabutnya jadi pelanggan VVIP disini."

"Lalu saya...apakah saya...."

"Kau dipecat," sela Dean. Ia berdiri dengan memasukkan tangan ke saku celana dan mendekati Maya.

"Apa?"

"Kau tidak dengar? Kau dipecat."

"Dean, ini terlalu cepat," bisik Mary.

"Nyonya...sebenarnya apa yang terjadi?" tanay Maya dengan sinis menatap Dean, begitu juga sebaliknya.

"Jadi begini, May..."

"Aku akan mengganti kerugianmu. Semua gaji yang ditawarkan Mary akan kuganti dua kali lipat. Sebagai gantinya kau berhenti mulai hari ini." Dean berbicara sangat dingin dan menyeramkan.

"Ah begitu ya," Maya merilekskan bahunya. Ia ingat Dean sudah menyelamatkannya kemarin.

"Kau ingat siapa aku?"

Maya membisu dan manatap Dean dengan diam seribu kata.

Dean mendekat dan terus menatap Maya.

"Kenapa kau tidak menjawabku?"

"Dean, sudahlah," Maru menarik lengan Dean namun ia tak berkutik dan terus dingin berbicara pada Maya.

"Jawab aku."

"Aku terima tawaran anda. Aku akan berhenti dengan gaji dua kali lipat."

"Kau suka uang?" Dean tersenyum meremehkan.

"Memangnya anda tidak suka?"

Mary melihat Dean dan Maya bergantian, keduanya saling menatap sengit.

"Aku bisa memberikanmu yang lebih dari yang kau butuhkan."

"Tidak perlu. Cukup tepati kata-kata anda saja."

"Menarik sekali anak ini. Apa kau seorang siswa?"

"Karena aku kecil jadi anda kasihan pada saya?"

"Apa?" Dean merasa Maya berputar-putar.

Maya lalu mengulurkan tangannya, ia menatap Dean dengan wajah datar. Dean tidak paham uluran tangan Maya.

"Berikan gajiku sekarang."

"Maya, tunggu dulu May..." Mary berusaha menenangkan Maya yang sepertinya marah besar. "Dean, kau juga!" Mary meliriknya.

Dean paham maksud Maya. Ia lalu merogoh saku dalam jasnya dan mengambil dompetnya.

"Nyonya Mary membayarku 39.000 per jam, sehari aku bekerja mulai pukul 17.00 sampai 24.00, tujuh jam di kali 39.000, hasilnya 273.000, dan saya tidak pernah libur meski hari libur, bulan Februari ada 29 hari, berarti 273.000 di kali 29, hasilnya 7.917.000, jika anda ingin membayar saya dua kali lipat, maka... berikan saya 15.834.000."

Dean terkejut dan melotot menatap gadis kecil itu menghitung gajinya dengan cepat dan akurat. Maya masih mengulurkan tangan, ia menaikkan satu alisnya dengan berbangga diri.

Mary memegang peningnya. Baru kali ini Dean kalah bicara dengan seorang pelayan, sedang Dean berdehem pelan. Ia membuka dompetnya dan tidak mendapati ada uang cash di sana, hanya ada kartu kredit.

"Em jadi begini, Maya namamu kan, ehem! Aku sedang tidak membawa uang cash, jadi..."

"Ah, anda mau berhutang?"

"Apa?" Dean shock. "Hu...hutang?!"

"Anda memecat saya hari ini juga, jadi kenapa saya tidak bisa mendapat gaji hari ini juga?" Maya menoleh ke Mary. "Nyonya, apa anda benar-benar memecat saya?"

"Untuk seragam aku akan memberimu yang baru nanti malam. Untuk hari ini pulanglah."

"Hanya Nyonya Mary yang bisa memecat saya," Maya menekankan kata-katanya sembari melotot pada Dean. Setelah itu dia keluar dan meninggalkan ruangan.

"Apa-apaan gadis mata duitan itu!" Dean berkacak pinggang.

"Memang kau yang salah!" Mary melototinya.

Dean mendecakkan lidah sebal. Sementara itu Maya, di luar ia memegang dadanya yang seolah mau copot.

"Dasar gila kau Maya! Kenapa adu mulut sama orang kaya?! Siaaaaaaallll!" jeritnya dalam hati.

Sesampainya di luar kakinya lemas. Ia duduk di bangku. Wajahnya murung dan ekspresinya kosong. Ia merasa sedang menggali kuburannya sendiri. Maya kemudian berjalan pulang dengan geloyoran seolah tak memiliki tenaga yang tersisa.

"Eh kenapa aku berhenti di sini?" Maya turun dari bus dan tersadar ia malah datang ke apartemen lamanya bukannya kompleks perumahannya.

Ia mengacak rambutnya sendiri dengan frustasi.

"Semua orang merayakan hari valentine tapi kenapa aku malah sial begini, sih."

Maya berbalik dan hendak pergi dari sana, namun tiba-tiba...

"Maya?"

"Se...senior?"