webnovel

Topeng

Elias tengah membuat kondisi di aula itu kacau. Ia tahu kalau Dean akan marah mendengarnya.

"Aku benci gadis jalang itu," katanya.

"Kau!"

Buagghh…

Dean memukul wajah Elias hingga sudut bibirnya berdarah. Elias terpental mundur, ia mengelap darah di bibirnya dengan tenang. Telapak tangan Dean mengepal memanas, matanya berapi-api melihat Elias yang berekspresi biasa saja. Padahal ia tengah membuat kondisi yang tidak kondusif di sini. Elias hanya merapikan mantelnya dan melempar lengan Dean yang mencengkeram bajunya.

"Menyusahkan."

Elias melewatinya begitu saja dengan tatapan dingin lalu keluar dari ruangan. Meninggalkan Dean yang masih marah padanya dan semua orang di sana khawatir dan tentu panik.

Dean menghela napas lalu melangkah keluar. Seorang supir membukakan pintu untuknya, Ia masuk ke dalam dengan wajah sangar dan tegang. Begitu juga Sano dan Zen yang hanya membatu di dalam.

Dari atas, Ian melihat drama yang terjadi di lantai bawah. Nampaknya ia telah melewatkan adegan yang seru. Ia tersenyum kecil, sesuatu yang menarik akan terjadi lagi.

"Gadis itu telah memulai parade di rumah ini."

***

"Elias?" Onyx sedikit terkejut mendengar penjelasan dari pelayan itu.

"Aku tidak tahu pasti percakapan mereka, tapi sangat jelas suara mereka yang terdengar tidak akur. Nona Cherry juga sempat berteriak dan ada suara seperti seseorang yang terdorong ke dinding."

Onyx mengangguk mendengarkan dengan saksama lalu diam sejenak. Setelah mendengarkan penjelasan darinya, ia menyuruh pelayan itu kembali. Onyx termenung dan mendadak ingatannya kembali pada masa itu. Dengan jelas semuanya masih terpatri dalam ingatannya. Sungguh menyedihkan untuk mengingatnya lagi. Namun sikap Elias sepertinya patut dipertanyakan.

Flashback

Di depan batu nisan yang basah. Seorang pria berkemeja hitam berdiri di depannya, memandang sedih memori seseorang yang tengah tertidur di dalam tanah.

Air mukanya datar, tatapannya kosong, nanar menatap batu nisan yang seolah menangis. Ia berdiri berjam-jam sendirian. Meski menggigil ia tak akan bergerak dari sana. Telapak tangannya mengepal, air matanya telah mengering tak dapat mengalir lagi.

Hujan telah menghapus jejaknya hari itu. Dan akan terus pudar tiap waktu yang ia lewati. Tubuhnya telah kaku dengan kenangan yang telah mengendap terlalu dalam. Rasa bersalah, ketakutan, dan perasaan tak ingin kehilangan. Hari itu, semuanya berakhir. Hidup gadis itu dan juga hidupnya. Tak ada yang ia inginkan lagi. Segalanya telah berakhir.

Pria itu menunduk menatap kuburan itu, lalu mendongak menatap langit, berharap Tuhan mengambilnya juga. Namun ia hanya merasakan air hujan menetes di pipinya dengan menyedihkan. Pria itu menyembunyikan tangisnya dalam hujan. Ia adalah Elias.

Flashback End

Onyx berlari dan menuju ke ruangannya. Ada sebuah lemari kecil yang tersembunyi di bawah tangga yang dapat digunakan sebagai laci-laci praktis. Ia mengambil sebuah foto album di sana dan memperhatikannya dengan serius. Ia melihat-lihat kembali album lama mereka, itu adalah foto-foto lama Sky Lynx. Mendadak keringat di pelipisnya mengalir, wajahnya kaku menatap salah satu foto. Alisnya mengerut dan mendesah sedih. Ditutupnya album itu dengan tergesa. Onyx mulai bertanya-tanya pada apa yang telah terjadi. Ia hanya bisa menduga-duga.

"Tidak mungkin…" gerutu Onyx yang tak mengharap kejadian buruk di masa lalu terjadi lagi. "Kuharap ini tidak ada kaitannya dengan itu."

***

"Kemana sebenarnya anak itu!"

Sano mengerahkan anak buah untuk ikut mencari keberadaan Cherry, sekaligus menyuruh mereka melapor segera jika melihat Dean. Zen duduk merenung, menyatukan dua kepalan tangannya dengan wajah tertekuk. Sano meyakinkannya bahwa ini bukan salahnya, tapi Zen tetap tidak nyaman.

"Aku akan ikut mencari Kak Cherry," kata Zen.

Ia hendak berdiri namun Sano memegang bahunya dan mendudukkannya kembali.

"Apalagi, aku harus melakukan sesuatu bukan?"

"Kau tidak benar-benar berniat mencarinya. Kau hanya mencari jalan pintas untuk membuang rasa bersalah mu, kan?"

"Lalu aku harus bagaimana? Aku ingin membantu!"

"Duduklah, Aku dan Onyx yang akan menangani masalah ini. Kau sebaiknya pergi ke kamar Ian dan menjaganya."

"Memangnya aku anak kecil? Zen mengeluh kesal.

"Memangnya kau berencana mencari kemana? Kalau kau ikut hilang malah akan lebih menyusahkan."

"Apa kau ibuku, huh?" Zen kesal mendengar nasihat Sano yang mirip racauan ibu-ibu yang mencari anaknya yang hilang. Ia sebal sendiri.

Zen akhirnya kalah dan duduk meskipun hatinya resah. Sano kemudian meraih ponsel di saku celana dan menghubungi Onyx yang telah meluncur keluar entah kemana.

Drfftt drrfttt

Namun Onyx tidak mengangkatnya karena masih sibuk menatap foto lama di kamarnya. Hingga ia akhirnya sadar dan mengangkat panggilan itu. Sano menghubunginya.

"Kau di mana? Jangan bilang kau menyusun rencana sendiri tanpa melibatkan siapapun."

"Ada sesuatu yang seharusnya tidak boleh kita ungkit lagi, tapi membayangkan masalah ini menyelinap dan menyulut lilin hingga berkobar, sudah tidak menarik lagi. Ini benar-benar sebuah masalah," batin Onyx dalam hatinya.

"Kau...baik-baik saja?" Sano bingung karena Onyx diam tak bersuara. "Halo? Apa kau tersesat lalu kepala mu membentur sesuatu?"

"Aku baik-baik saja. Tidak usah mengkhawatirkanku. Lebih baik kau kerahkan seluruh personil untuk mencari Dean."

"Kalau kau bilang tidak perlu khawatir malah semakin membuat khawatir. Kau tidak merencanakan sesuatu yang berbahaya kan?"

"Apa aku seceroboh itu? Sudahlah aku tutup dulu. Sangat tidak nyaman berbincang dengan orang tua seperti mu di telepon."

Sano hanya menghela napas mendengar semua orang nampaknya punya masalah hidupnya masing-masing, termasuk dia yang memikirkan semua member yang sekarang berpencar seperti permainan petak umpet.

Sementara itu Ian tengah bersantai di ranjang pasiennya dengan nyaman sembari menikmati teh dan membaca majalah di tangannya. Alih-alih panik, dia bersenandung pelan tanpa beban. Entah sudah berapa gelas teh yang telah ia habiskan. Kakinya bergerak-gerak mengikuti irama lagu yang ia senandungkan. Sangat nyaman menikmati waktu luang seperti ini. Sepertinya ia harus sering-sering terluka, begitu pikirnya.

Tok tok tok.

Seseorang masuk ke kamarnya tanpa mengetuk. Ia masuk lalu menutup pintunya kembali. Itu adalah dokter yang mengurus Ian, siapa lagi kalau bukan Elias.

"Masih pura-pura belum sembuh?"

"Seperti yang diharapkan," Ian menutup majalahnya dan duduk tegap tak bersandar pada bantalnya lagi. "Si muka dingin Elias yang penuh bias. Dia kadang-kadang membantuku membuang rasa bosan. Hehe," batin Ian.

Elias menarik sudut bibirnya kecil. "Apa aku membuatmu kecewa?"

Ia berdiri di depan ranjang sembari memasukkan tangannya ke saku celana.

"Sejujurnya aku tidak terlalu senang melihat wajah penuh bias mu." Ian meledek.

"Lebih baik daripada seribu lidah."

"Apa? Apa aku maksudmu" Ian menunjuk dirinya sendiri dengan kebingungan.

Elias hanya diam dan mengambil beberapa peralatan di meja samping kasur.

"Wah. Ternyata rumor itu bukan hoax. Berbicara dengan mu benar-benar menyenangkan. Haha memang sedikit menarik, akan kubiarkan karena kau adalah dokter pribadiku," Ian tersenyum santai.

"Kalau kau menjengukku artinya.…kau sudah menyelesaikan urusanmu, apa aku benar?"

"Justru aku menjengukmu karena urusanku belum selesai."

Elias mendekat ke sisi ranjang. Lalu mencondongkan badannya ke depan. Tatapannya intens ke arah Ian, hingga sedetik kemudian beralih ke bahu kanannya yang terluka kemudian memegangnya agak kasar.

"Aduh duh… "