webnovel

Tinggi Badan

"Tu! Wa! Tu! Wa!" Suara para senior saat ospek di kampus begitu menggelegar.

Mahasiswa baru sit up berulang kali di tengah lapangan di bawah teriknya matahari. Bayangkan siapa yang tahan. Beberapa dari mereka bahkan ada yang pingsan. Kebanyakan perempuan, ada juga laki-laki yang daya tahan tubuhnya lemah seperti memiliki penyakit.

"Kalau sakit segera maju ke depan! Jangan menyusahkan temannya! Kalian udah gede kan?!" Teriak salah satu dari mereka.

Sesudah itu. Para mahasiswa baru diminta berbaris menjadi lima banjar (secara vertikal). Semuanya berjalan baik-baik saja, namun tiba-tiba dari baris paling belakang terdengar sedikit cekcok. Beberapa mahasiswa yang berdiri di depan tertegun tetapi mereka lebih memilih untuk menyelaraskan barisannya daripada peduli, sebelum dimarahi senior.

Senior yang mengetahuinya mengeceknya ke belakang.

"Kamu yang hati-hati dong! Jatuh ya salahmu sendiri!" Seorang laki-laki meneriaki seseorang di belakangnya yang terjatuh di tanah. Sekilas ia melirik seorang senior perempuan, namun bukannya diam malah kembali memarahinya lagi seolah membenarkan perbuatannya.

"Dia yang salah, Kak. Bukan aku!"

"Ada apa ini?!" Senior perempuan mendekat ke laki-laki.

"Perempuan ini tidak sengaja jatuh, Kak. Dia marah-marah bilang kakiku menendang kakinya."

Perempuan yang jatuh itu berdiri dan membenahi pakaiannya sembari membela dirinya. "Memang benar kau menendang kakiku. Tapi siapa yang marah-marah? Kan malah kau yang marah-marah!"

Tiba-tiba laki-laki itu menutup mulutnya menahan tawa kemudian berteriak, "Itu karena kau pendek, Dasar Kurcaci! Bwahahaha. Senior lihatlah, dia kecil dan pendek. Dia pasti terjatuh karena kakinya yang pendek!" Laki-laki itu tertawa di tengah keheningan para calon mahasiswa. Sedang mahasiswa lain menatap kasihan gadis kecil itu sembari menahan tawa. Tak terkecuali para senior yang mulai tertarik dan megerubungi keduanya.

"Sebutkan nama lengkapmu?" Tanya senior perempuan pada gadis pendek itu.

"Ma...Maya Forenzo." Maya menunduk malu ketika semua orang menatap fisiknya dengan tatapan yang sudah biasa ia terima.

"Oi bukankah dia memang kecil?"

"Iya ya. Kenapa dia sangat pendek?"

"Benarkah dia sudah lulus SMA?"

"Aku tidak percaya dia ikut ospek mahasiswa"

"Kukira dia baru lulus SD"

Maya menghela napas panjang.

Senior perempuan tadi memegang bahunya dengan sedikit membungkuk mengejek. "Adek manis. Jangan asal menuduh ya, itu bisa jadi fitnah. Apa benar dia menendang kakimu sampai jatuh?" Senior itu berbicara lembut tapi terdengar seperti menyudutkannya.

"I...itu...itu..."

"Kalau gagap akan kuanggap berbohong."

Maya lagi-lagi hanya menunduk. Mengepalkan telapak tangannya yang berdarah karena terjatuh tadi. Ia menyembunyikan kedua tangannya di belakang tubuh.

"Kalian tahu apa itu diskriminasi??!!" seru salah satu senior terdengar di megaphone. Ia melangkah santai dari bangku penonton ke tengah lapangan. Semua mahasiswa lain menatapnya. Ia melihat Maya yang menunduk, sekilas diliriknya papan nama dari kardus di dada laki-laki yang tertawa tadi.

"Namamu Alex, ya. Jadi.. berapa tinggi badanmu?" Tanya senior itu tiba-tiba sembari memberikan megaphone yang ia bawa pada senior perempuan.

Nampaknya ia senior yang cukup berpengaruh, karena senior yang lain juga terdiam begitu dia mendekat.

"Tidak mau menjawab seniormu?" Ia mendecih kemudian berteriak lebih keras. "Berapa tinggi badanmu?!!"

Semua mahasiswa termasuk para senior terdiam.

"Ti..tinggi badan? Ke...napa senior?"

"Kenapa gagap?" Senior itu menyilangkan kedua tangannya di depan. Benar-benar seram begitulah pikiran Maya yang sedikit melotot.

"I...itu..."

"Cepat jawab! Berapa tinggi badanmu?"

Senior itu berdiri sangat dekat dengannya sampai harus menghadapkan kepala ke bawah, matanya menyipit tajam. Ia sengaja mengukurnya dengan angkuh.

"179," jawabnya dengan menunduk ketakutan.

"Kakimu yang sama sekali tidak lebih panjang dariku itu cukup untuk menendang gadis kecil itu hingga terjatuh. Kau menendangnya dengan kakimu, kan?"

"A...aku tidak sengaja senior. Ma...maaf"

"Dengan siapa kau minta maaf? Denganku? Jadi kau mau menendangku? Sekarang? Di sini?" Senior itu tersenyum, ia menguji.

"Bu...bukan...bukan senior."

"Senior Tania!" ia memanggil perempuan yang tadi memojokkan Maya.

"Siap senior!"

"Suruh pemfitnah ini push up 20x. Dan juga..." Senior melototinya, "jangan menyuruh orang mengakui kesalahan yang tidak dia buat. Paham?"

Senior perempuan itu tertegun. Dia menyadari kalau senior itu ingin ia mengakui kesalahannya saat mendesak kasar mahasiswi pendek tadi.

"Menakutkan. Benar-benar menakutkan. Meskipun tadi aku melawan, aku benar-benar tidak bisa berkata apa-apa." suram Maya dalam hati. "Apa senior itu membelaku tadi? Tapi wajahnya yang menakutkan tak terlihat seperti pahlawan keadilan. Apa dia tipe yang suka menyiksa setelah melakukan kebaikan... hiiii ngeriiiii."

***

"Tian!"

Seorang berkacamata hitam berlari sembari membawa tas ranselnya di bahu kanan. Ia menepuk bahu temannya dari belakang, lebih tepatnya memukulnya.

"Cari mati?"

Tian berhenti dan menoleh. Ia sudah menduga siapa orangnya. Siapa lagi kalau bukan si Dion, anak jurusan DKV (Desain Komunikasi Visual) aka temannya Tian.

"Aku dengar kau kau menyelesaikan masalah di kegiatan ospek hari ini. Wow! Kau keren dan menyebalkan seperti biasanya. Haha."

Tian mengerutkan dahi lalu menggeleng pelan, menghela napas.

"Kacamatamu itu mencolok tau."

"Kau harus menceritakannya padaku apa yang terjadi hari ini. Apa kau menegur senior yang semena-mena? Atau kau menyelematkan cewek seksi, tinggi dan cantik seperti di drama-drama?"

"Seksi?" Tian mendadak mengingat gadis kecil yang telapak tangannya berdarah di lapangan tadi.

"Apa ini? Kenapa kau menyahut? Kau benar-benar menyelamatkan cewek seksi? Wah ini tidak adil? Kau benar-benar bertemu dengan cewek seperti itu?" Dion membuka kacamata hitamnya dengan sebal sekaligus tidak percaya .

"Tidak ada cewek dengan kriteria yang kau sebutkan tadi. Kau pikir semua orang sempurna," kesalnya.

"Hah sudah kuduga kau membual." Dion mengenakan lagi kacamatanya. "Kau mau kemana? Kantin? Perpus? Masak kau mau pulang jam segini?"

Tian berhenti berjalan, ia melirik sebal Dion sembari menunjukkan raut muka 'Enyah kau, Dasar Tukang Tanya!'

"Aku sebenarnya serius tanya. Kau mau kemana?"

"Klub Olahraga."

"Sendirian?"

"Ditemani bayangan."

"Kau benar-benar tidak seru. Sudahlah aku mau kembali saja."

"Mau pulang? Jam segini?" Tian balik tanya, Dion mengengeh.

Setelah agak jauh Dion berteriak akan mampir ke kamar apartemen Tian dan membawakan majalah favoritnya.

"Kalau kau mengizinkanku main ke kamarmu akan kubawakan majalah itu!" Teriak Dion.

Orang-orang yang lewat melihat keduanya dengan aneh. Ia tidak tahu apa yang ada dalam pikiran temannya itu hanya cewek cewek dan cewek. Kuliahnya juga belum betul, bolos kelas, nongkrong di kantin. Yah meskipun begitu Dion adalah mahasiswa berprestasi yang sering ikut olimpiade dimana-mana, karena itu dia banyak bicara dan extrovert. Tian hanya bisa mendesis marah sembari pura-pura tak dengar dan berjalan menjauh dari Dion.

"Benar-benar tidak waras itu anak."

Di depan pintu ruang klub olahraga di tempel pengumuman bertuliskan

"Penerimaan anggota klub ditutup sampai hari ini. Ada rapat jam 15.00. Silahkan diikuti bagi member baru. Jangan terlambat!"

Tian berdiri di depan pintu dan mengecek jam di pergelangan tangannya, jam menunjukkan pukul empat sore. Rapat penerimaan sudah di mulai sejak satu jam yang lalu. Ia membuka pintu dan melihat banyak mahasiswa baru yang duduk melingkar di lantai.

"Wah banyak juga yang daftar tahun ini." Tian tersenyum ramah menyapa.

Namun matanya tiba-tiba berhenti di salah satu member baru. Dia adalah gadis kecil yang terjatuh pagi tadi.

"Kau juga daftar?" Tian tertegun melihat Maya.

"Eh i...iya, Kak." Maya tersenyum canggung.

"Kalian berdua saling kenal?" Tanya salah satu senior yang berdiri di tengah, ia memberi materi dasar klub.

Tidak biasanya Tian yang galak dan kaku menyapa orang asing lebih dulu.

"Kau pasti tidak lihat tadi. Dia gadis kecil tadi yang jatuh di lapangan," santainya sembari tertawa kecil.

Maya menatapnya jengkel, tak percaya mendengar kata-kata senior yang sok bersikap pahlawan keadilan tadi siang, kini menjadikannya guyonan.

"Kau tadi benar-benar kacau. Sudah baikan sekarang?"

"Dasar gila!" Teriak Maya tanpa sadar.

Semua orang di ruangan itu menatapnya terkejut.