webnovel

Silent Attack

"Mundur semuanya! Bawa pengawal yang terluka! Onyx, Sano, Ian!" teriak Dean memberi instruksi.

Tiba-tiba….

Duaaarrr!

"Argh!"

Terdengar tembakan dan raungan bersamaan. Mereka menoleh dan panik melihat Ian terjatuh. Bahunya tertembak, ia limbung seketika.

Onyx dan Sano masih terperangkap karena dikerubungi beberapa orang sedang Elias dan Zen juga masih bertarung dengan beberapa orang. Sedari awal memang Ian tengah sendirian di antara mereka. Tujuan mereka pasti melemahkan salah satu dari kami dan membuat markas ini terbongkar. Ian sendiri tidak menyangka mereka menargetkannya alih-alih Dean. Sedang musuh mundur dan meninggalkan markas begitu mengetahui salah satu anggota lawan roboh. Sano dan Zen berteriak panik, mereka berlari menghampirinya lebih dulu. Onyx dan Elias menyusul kemudian.

"Ian!"

"Sial!" umpat Onyx begitu melihat mereka berlarian pergi begitu salah satu dari Sky Lynx terjatuh.

Elias lalu mengeluarkan alat medis portable dari sakunya berupa alat suntik, cairan anestesi, perban, dan obat entah apa nama dan fungsinya. Hanya ia yang tahu.

"Baringkan dia, cepat!" perintah Elias yang kemudian diikuti Sano dan Onyx yang kemudian membantu Ian yang hampir pingsan.

Ian meringis menahan sakit namun ia menahannya. Ia menyeka darah dengan telapak tangan kanannya hingga darah bersimbah di seluruh tubuhnya. Sano dan Onyx membaringkannya.

"Dari awal memang bukan aku targetnya!" Dean menyadari sembari masih bertarung dengan beberapa orang yang tersisa. Mereka memakai masker hitam dan pemukul bisbol. "Beraninya kalian yang melukai orangku!"

Buagh buagh

Emosinya kini bertambah dua kali lipat meskipun ia menggunakan tangan kosong. Orang-orang bawahan itu akhirnya limbung dan beberapa kabur karena melihat mata Dean yang memerah karena amarah, dan tentu saja itu hal yang merugikan jika mereka bertahan.

***

Elias dan beberapa perawat pribadi masih di ruang operasi. Rumah yang bak istana ini memang lengkap dengan fasilitas nya. Penthouse yang berpuluh-puluh lantai dan area bawah yang lengkap melebihi hotel bintang 5. Dean duduk di kursi tanpa lengan sambil memejamkan mata. Dahinya mengerut dan wajahnya tertekan. Ia sebenarnya khawatir dengan kondisi Ian. Meskipun dia anak yang menyebalkan namun ia adalah andalan dalam pekerjaan lapangan dan sekarang dia berada di ambang kematian. Jadi begini strategi Black Bird, bukan menyerang kepala namun jantungnya.

Sano duduk di sofa sembari menyilangkan tangan dan kakinya dengan raut wajah tertekuk. Begitu juga yang lainnya.

"Apa yang kita khawatirkan? Kau pikir Ian akan mati karena tembakan sepele itu?" kata Onyx sembari melirik ke arah Sano..

"Yah memang ada benarnya, untung saja bukan area fatal yang tertembak," sahut Sano.

"Tapi tetap saja Kak Ian…" Zen menunduk sedih.

Onyx duduk dengan menyatukan telapak tangannya dan meletakkannya di depan mulut. Ia juga khawatir. Terlebih lagi Dean, ia pasti merasa paling bersalah diantara mereka.

"Kak Elias pasti akan menyelamatkannya." Zen berusaha mencairkan ketegangan para kakak-kakaknya.

Seketika Dean beranjak dari kursinya dan berjalan mendekat ke arah Zen.

"Zen?" Katanya dengan nada yang datar. Zen memahami maksudnya.

"Tenang saja dia sedang tidur di kamar."

"Cherry?" Sano dan Onyx serentak heran.

"Hey Dean. Jangan bilang kau memberinya nama," Sano memastikan. "Apa genre hidup kita yang penuh darah ini, sebentar lagi akan berubah menjadi asmara?"

"Sudah kuduga gadis itu pasti amnesia." Onyx bergumam. Ia kembali ke ekspresi awal dan tak terkejut sama sekali. "Dari wajahnya, penampilannya dan karakternya yang tidak memiliki rasa takut. Dengan keadaannya yang seperti ini dia akan jadi ancaman. Tapi Dean akan menghentikanku kalau aku berbuat sesuatu."

Seorang maid perempuan datang tergesa dan memberitahukan bahwa operasi Ian telah selesai. Mereka bergegas melangkah ke sana. Kondisi Ian masih tertidur karena obat bius. Dean dan yang lainnya masuk ke kamar VIP itu dan mendapati Ian terbaring lemah dengan perban di baju kanannya.

Perlahan mata Ian bergerak dan membuka dengan lambat. Ia tersenyum kecil melihat satu persatu rekannya yang mengelilingi nya. Wajah Sano yang garang, wajah Onyx yang agak terkejut, Zen yang memegang pergelangan tangannya dengan sedih dan si muka datar Dean.

"Kalian pikir aku akan mati?" Kata Ian santai.

"Kalimat macam apa itu, sialan!" Sano membuat gesture seolah akan meninjunya. Ia sama sekali tidak bisa bercanda sekarang.

"Siapa yang menembakmu?" Dean menatapnya dengan serius.

"Seorang Dean mengkhawatirkanku, entah kenapa tertembak membuatku senang," guraunya.

"Kenapa kau tidak mati saja dan malah menghambat yang lain," Dean bergurau namun dengan wajah serius dan datar. Itu tidak terlihat begitu.

"Cih. Aku tidak tahu siapa yang menembakku," Ian mengingat lagi tadi kondisi saat ia mendadak dikelilingi saat baru datang. "Sepertinya mereka mengincarku dari awal. Kemungkinan tembakan itu meleset ke bahu karena mereka terlalu tergesa."

"Benar. Itu tembakan meleset yang seharusnya tepat diarahkan ke jantung. Jaraknya cukup dekat dengan area yang fatal," sahut Elias yang datang setelah mencuci tangannya.

"Dengarkan kata-kata Elias, dia harus mencecokimu dengan obat."

Setelah Dean keluar, ke empatnya bisa bernapas lega. Setidaknya Ian selamat dan tidak ada hal yang serius.

"Selalu saja dia seperti itu, main keluar meninggalkan ruangan," kata Sano.

"Dia memang begitu. Canggung dan kaku. Aku harus sering-sering mengganggunya." Ian memegang bahunya yang mendadak nyeri.

Elias mendekatinya dengan raut wajah serius. Yang lainnya juga khawatir dengan kondisinya.

"Perhatikan bahumu. Jangan terlalu banyak bergerak," kata Elias.

Seorang maid perempuan membawakan nampan berisi semangkuk bubur lengkap dengan air putih. Lalu meletakkannya di meja kecil samping ranjang.

"Kenapa juga aku harus mendengarkanmu?" Ian masih berusaha sok kuat.

"Kalau begitu makan buburnya."

"Malas sekali aku harus makan bubur. Bukankah kau lihat sendiri aku sudah baik-baik saja sekarang?"

Ian menggerakkan tangannya untuk mengambil bubur itu tapi mendadak ia merintih kesakitan. "Aduh duh!"

"Makan sendiri saja tidak bisa sudah berlagak baik-baik saja. Kalau kau tidak bisa makan dengan tangan kiri terpaksa harus ada yang menyuapimu." Elias dengan dingin menepuk bahu Ian hingga ia mengecoh sebal, kemudian keluar ruangan.

"Dasar dokter kasar!" umpat Ian.

"Apa kondisi separah itu?" tanya Onyx.

"Sesuai dengan perilakunya," jawab Elias. "Jika dia menurutiku dengan baik dia pasti bisa sembuh dengan segera.

Dean kemudian masuk kembali membawa sebuah barang yang telah dimasukkan plastik khusus seperti barang bukti. Ia menunjukkannya pada Elias.

"Ini kan…." Elias terkejut melihatnya. "Di mana kau menemukannya?"

"Sepertinya mereka sengaja meninggalkan pistol ini untuk memperingatkan kita."

"Black Bird sialan!" Sano memukul dinding dengan tinjunya.

"Kenapa kau kesal?" sahut Ian pada Sano. "Harusnya aku yang marah di sini. Beraninya menargetkanku sebagai umpan. Tunggu saja sampai aku kembali, bangsat sialan!"

Ian menggenggam erat sendok besi yang ia gunakan untuk makan bubur, hingga sendok itu bengkok. Ia bersungguh-sungguh ingin menghabisi mereka semua sendirian.