webnovel

Shotgun

"A…aku benar-benar akan menembakmu jika kau mendekat!"

"Tembak saja," kata Dean sambil terus melangkah mendekatinya dengan tenang

"Kubilang jangan mendekat!"

Duar!

Sano, Elias, Ian, Onyx dan Zen terkejut mendengar suara pistol. Mereka beranjak dari kamar masing-masing dan bisa menebak dari mana asal suara itu.

"Dean!" Sano panik.

"Apa lagi yang dilakukan orang itu!" gerutu Elias.

"Mereka perang tanpa mengajakku?" Ian malah bersemangat.

"Astaga," Onyx memegang kepalanya.

Sementara itu,

"Sudah ku bilang untuk melepaskan benda asing itu dari tanganmu kan."

Dean melihat wajah gadis itu terkejut dan sejenak mematung. Ia terduduk di lantai, pistol kosong tak berpeluru itu terlepas dari genggamannya.

Dean mendekat dan berjongkok di hadapannya. Ia membantunya berdiri dan pelan-pelan meminta kembali pistol itu dari genggaman tangannya yang gemetaran. Ia membantunya duduk di tepi ranjang. Dean paham kalau gadis itu tengah berusaha lari dari sesuatu. Nampak dari wajahnya yang ketakutan, meskipun penampilannya kini lebih baik dari kemarin, gadis asing itu masih terlihat pucat dan panik, seperti khawatir dan takut pada sesuatu.

Seorang maid masuk karena khawatir mendengar suara tembakan dari kamar, namun ia melihat Tuan muda yang tengah duduk menemani gadis itu.

"Tuan, apa anda baik-baik saja?" panik maid perempuan itu.

"Bawakan bubur hangat."

Maid itu melihat gadis yang kini bersandar di bahu Tuan muda tengah gemetaran dan ketakutan tanpa alasan. Ia paham perintah tuannya dan segera pergi untuk membawakan bubur.

Gadis tanpa nama itu lalu berdiri dan menahan rasa gemetar di tangannya. Ia menatap Dean dengan takut dan panik.

"Kau…kenapa membawaku kemari?"

Dean berdiri sembari menyimpan pistol di saku jasnya.

"Kau mau kabur?"

"Aku tanya kenapa kau menolongku? Kau tidak terlihat sebaik itu."

"Beritahu aku namamu. Lalu aku akan membiarkanmu lari dari sini."

"Mau apa kau dengan namaku?"

"Apa itu penting?"

Gadis itu menatapnya.

"Apa kau selalu menatap orang lain dengan tatapan seperti ini?" Dean menggulung lengan bajunya dan melonggarkan dasinya yang seolah mencekik lehernya.

"Namaku…" gadis itu panik, bola matanya bergerak ke kanan kiri. "Namaku adalah…"

Dean menebak situasinya.

"Kau lupa siapa dirimu?"

Gadis itu tersentak. Ia sendiri baru menyadarinya.

"Perhatikan sekitarmu. Mulai sekarang namamu adalah Cherry."

"Apa-apaan kau?! Apa kau baru saja memberiku nama? Beraninya kau!"

Gadis itu meraih selimut tebal dan melemparkannya ke arah Dean sembari meracau, kaki dan tangannya mengacau, ia menarik rambutnya sendiri dan menjerit penuh kegilaan. Dean berkacak pinggang dan bingung sendiri dengan sikap Cherry yang berubah-ubah. Ia menarik tangan Cherry yang terus berusaha menyakiti dirinya sendiri.

"Apa kau gila, huh?!" teriak Dean.

"Aku harap…aku bisa membunuh siapapun yang kumau dengan tatapan mata ku ini," sorot matanya tajam.

Dean sejenak membisu dan entah kenapa terpukul dengan kata-katanya. Ia tidak tahu apa yang sudah dilalui gadis itu, namun nampaknya itu sangat traumatis hingga ia bahkan melupakan namanya sendiri. Dean mengingat dirinya sendiri, itu adalah perasaan yang sama saat pertama kali pimpinan yaitu ayah angkatnya memberinya nama. Gadis ini mengingatkan Dean pada dirinya sendiri.

"Kau... apa kau bisa mewujudkannya?"

Dean menatapnya. Jujur saja ia terkejut mendengar permintaannya. Gadis itu nampak sangat putus asa pada hidupnya.

Sementara itu di luar, saat teman-teman Dean keluar dari kamar masing-masing, terjadi hal yang tak terduga. Sebenarnya kediaman itu bukanlah kediaman asli. Mereka hanya menggunakannya villa mewah itu hanya beberapa hari, dan benar saja penyerangan pun terjadi. Black Bird yang sudah menyetujui gencatan senjata, berkhianat. Sky Lynx sudah tidak kaget lagi dengan mereka yang selalu ingkar janji dan dendam.

Brak!

Suara benda saling bertabrakan di luar ruangan terdengar sangat keras. Dean sempat menoleh dan mengira pasti ada yang tak beres.

"Kak Dean! Kak Dean!" Suara Zen yang berteriak memanggilnya lambat laun semakin keras. Ia membuka pintu kamar dengan tergesa.

Dean menoleh dan mendapati Zen berdiri di ambang pintu

"Darurat!" teriak Zen.

Dean mengerutkan alisnya lalu beralih menatap Cherry dengan serius. Ia menjawab pertanyaan Cherry dengan sungguh-sungguh.

"Aku akan mewujudkannya. Tatapan yang mampu membunuh orang itu, aku akan mewujudkannya." Dean menjawabnya dengan penuh penekanan.

Ia lalu berjalan ke luar dan menyuruh Zen untuk tetap berada di sisi Cherry. Meskipun Zen bergumam sebal, namun tetap menurutinya.

Buagh buagh!

"Bangs*d kau!!"

Teriakan Ian melengking di halaman. Ia meninju wajah pria kekar yang memakai setelan jas hitam. Dengan tato gagak kecil di leher kanan mereka.

Tidak salah lagi itu adalah orang-orang Black Bird.

Gerbang yang dijaga ketat oleh pengawal, roboh dengan mudahnya. Di halaman yang luas itu puluhan dari mereka menyerang markas dan menjatuhkan para pengawal. Ian, Onyx, dan yang lainnya masih sibuk bertarung dengan mereka. Meskipun mereka hanya menganggapnya serangga liar, namun jumlah mereka kalah banyak. Dean menggertakkan giginya dan turun dari tangga kecil depan dengan amarah membara.

Para amatir yang mendekatinya dengan balok kayu ia hempas dengan satu tangannya. Anak buah Black Bird yang membawa pistol menembaki Dean dengan acak, dapat ia hindari dengan mudah, gerakan mereka telah terbaca. Namun bukan itu masalahnya, markas ini sudah mereka ketahui. Sekarang sudah tidak aman lagi berada di sini. Jika perusahaan tahu, ayahnya juga tidak akan tinggal diam. Semua member organisasi pasti akan mendapatkan kartu merah pendisiplinan.

"Oi Dean!" teriak Ian. "Kukira kau tidak akan sadar kami sibuk di sini karena kau asyik bercinta dengan gadis barumu itu!"

Seperti biasa mulut Ian yang terlalu lebar tak bisa dikendalikan, bahkan Dean sering dikritik oleh anak ingusan remaja itu. Onyx sibuk mengganti peluru dan bersiap menembaki mereka. Ia mendecih karena mereka terus bergerumul di depan.

"Apa mereka berniat melakukan bunuh diri? Jelas-jelas ini tidak akan bisa mengalahkan kita dengan mudah! Cih!"

Onyx berdiri di sudut halaman dan sibuk mengganti peluru. Beberapa orang mendekatinya karena lengah terhadap sekitar, namun itu tak mudah.

"Hiyyyaaaat!"

Suara Sano yang hobi bertempur menjagal mereka dan meninjunya dengan sekali pukul.

"Hey Onxy, setidaknya perhatikan sekelilingmu!" keluhnya.

"Lalu apa gunanya kau di sini?"

"Cih! Merepotkan."

Sano memukuli mereka dengan brutal, kekuatannya masih di atas rata-rata meskipun tadi dia bersiap tidur. Begitu juga Ian dan Onyx yang agak kewalahan. Zen adalah satu-satunya yang menghabisi paling banyak dari mereka. Ia menggila dan memukuli mereka dengan brutal dan tertawa.

Baju putih Elias terciprat darah karena anak buah yang terus berjatuhan, ia menghampiri mereka satu persatu dan membalut luka mereka dengan cekatan.

"Bawa ke dalam semua yang terluka!" teriaknya pada pengawal yang disuruhnya mundur untuk membantu yang lain yang sedang terluka.

"Mereka tidak ada habisnya." Elias menyeka darah yang memenuhi wajah putihnya. Napasnya terengah.

"Bangsat! Mereka setuju gencatan senjata tapi menyerang di malam hari!" umpat Ian.

Orang-orang Sky Lynx sudah bersiap dengan kemungkinan pengkhianatan perjanjian. Mereka maju dan membantu para pilar. Meski begitu banyak yang terluka, Elias meminta mereka yang terluka parah mundur.

"Mundur semuanya! Bawa pengawal yang terluka! Onyx, Sano, Ian!"