webnovel

School

(Terjadi setelah kejadian pesta Kara dan sebelum ketahuan Kara tentang pistol itu.)

"Oi kau tahu?" tanya Ian sembari menyeruput minuman yogurt di bawah pohon rindang dekat lapangan.

Beberapa siswa laki-laki bermain basket dan para siswi berteriak-teriak seolah konser idol favorit mereka.

"Apa?" Onyx balik tanya.

"Gadis bernama Cherry itu... apa kau pernah mengira kalau dia seumuran dengan kita?"

"Kurasa dia lebih tua sekitar dua atau tiga tahun."

Mereka berdua menyeruput yogurt.

"Kau dengar ada murid yang dicabut beasiswanya?"

"Memangnya kau tahu berita? Kau kan tidak pernah masuk kelas."

"Kau sendiri? Bukannya kau sama denganku?"

"Tentu saja aku tahu."

Ian menoleh tidak percaya.

"Dia sekelas dengan kita." Onyx menatapnya. "Kau tidak tahu?" oloknya.

"Kau pasti menyelidikinya. Iya kan?"

"Kau gila? Itu tersebar tahu? Karena yang membuat murid itu kehilangan beasiswa adalah anak kepala sekolah."

"Ah mungkinkah karena kejadian di pesta yang berlebihan kemarin itu?"

"Ehm." Onyx berdehem. "Yah pesta itu memang berlebihan sih untuk ukuran anak sma. Kau kan yang hampir menyelamatkannya, masa lupa?"

"Benarkah? Entahlah, apa dia cantik? Biasanya aku akan ingat kalau cantik."

Onyx meliriknya dan menggeleng miris. "Sudah kubilang untuk tidak terlalu mencolok di sekolah kan? Kau hampir saja membuat pesta kemarin tambah runyam."

"Kita sering bolos. Bukankah itu malah membuat kita semakin mencolok."

"Itu kau, bukan aku!"

"Kau tahu apa yang paling membuatku penasaran?" Ian menatap Onyx serius.

"Jangan tanya." Onyx malas menanggapinya.

"Kenapa kau duduk di sampingku seolah-olah kalau kita sedang pacaran di sini, huh?!"

Onyx terkejut dengan teriakan Ian dan menutupi telinganya refleks karena suaranya yang melengking.

"Kita baru saja melewati maut di jalan raya. Harusnya kau memelukku seolah-olah akan dipisahkan maut."

"Kau lupa kalau kita memang selalu hampir mati, di sini... juga di rumah." Ian membuang muka.

Onyx terdiam seolah tahu maksudnya, mereka memikirkan hal yang sama. Suasana malah jadi kikuk. Tiba-tiba Ian mengingat gadis yang ada di pesta kemarin.

"Oh iya, gadis yang memakai dress biru! Iya kan?" Ian menggebu sembari menepuk-nepuk lengan Onyx.

"Kau ingat dress-nya? Sepertinya kau menganggapnya cantik."

"Tapi siapa ya namanya? Aku lupa," Ian nampak berpikir dan mengingat-ingat.

"Bukan lupa, kau memang tidak tahu."

"Memangnya kau tahu namanya?"

"Tentu saja," sombong Onyx. "Aku hafal semua informasi di sekolah ini. Kau tidak tahu kalau aku ini informan terbaik?"

"Cih!" Ian menyipitkan matanya sebal.

Drffftt.....

Ponsel Ian tiba-tiba berdering, ia membuka notifikasi dan muncul map yang terlebih dahulu memasukkan kode. Sebuah titik merah tak jauh dari lokasi sekolah mereka berkedip. Tanda merah itu terus berbunyi dan tertulis nama di sana.

"Black Bird?!" kata Ian dan Onyx bersamaan.

"Si brengsek ini! Apa yang mereka lakukan di sekitar sini?!"

"Mungkinkah mereka..." kata Onyx

Mereka berdua bertatapan.

Sedetik kemudian mereka berdiri dan berlarian melewati koridor sekolah. Mereka ngos-ngosan begitu sampai di depan ruang UKS.

"Haruskah kita menekan kode merah?" tanya Onyx.

"Kau lupa kalau sedang bersama kartu As di sini?" Ian menyeringai.

"Oh tunggu dulu! Kita harus pergi dari sini!"

Onyx tiba-tiba tersadar sesuatu dan segara menarik lengan lalu membawanya ke ruang kelas. Di sana sepi karena jam istirahat.

"Woy apa yang kau lakukan? Apa kau gila!" bisik Ian sembari menutup pintu. "Kenapa kita ke sini?

"Aku menaruh pistol di lokermu."

"Apa?!"

***

Buagh...

Elias terdiam menatap Dean yang kembali ditinju oleh pimpinan utama perusahaan, kakek Dean.

Seluruh rambutnya telah beruban namun masih sama kuatnya dengan Dean.

"Kau tahu betul aku tidak suka celah kekurangan setitikpun," katanya sembari menatap Dean intens.

Ia mendekat ke telinga Dean dan membisikkan sesuatu.

"Jika bara bajingan itu berhasil menyelundupkan manusia sampah lagi, aku benar-benar akan..."

"Pimpinan?" sela Elias tiba-tiba.

"Kau mengagetkanku saja, Elias."

Pimpinan berhenti berbisik dan menepuk-nepuk punggung Dean. Beliau tersenyum.

"Anda masih memiliki rapat hingga sore."

"Begitu ya? Baiklah. Seperti biasa, kau memang selalu punya kartu yang unik."

Pimpinan tersenyum gimik sembari menaruh kedua tangannya di punggung, lalu berjalan angkuh melewati keduanya. Dean merapikan jas dan dasinya lalu melenggang melewati Elias sesaat sebelum ia keluar ruangan. Sayangnya, Elias mengatakan sesuatu yang membuatnya berhenti melangkah.

"Gadis itu...keluarkan dia dari rumah."

Setelah mengatakan itu, ia keluar dari ruangan lebih dulu meninggalkan Dean yang mematung. Di ruangan Elias tiba-tiba seseorang menerobos masuk. Itu adalah Dean dan Cherry.

Ia tak terkejut kalau Dean akan langsung membawanya ke kantor. Ia tersenyum menang seolah memang itu tujuannya dari awal.

"Cium gadis ini, atau... aku akan mengambilnya darimu."

"Ambil saja," kata Dean tiba-tiba.

"Huh?"

"Kenapa? kau mau menggertakku, Profesor Elias? Ambil saja, simpan saja di lacimu. Tapi, jangan salahkan aku jika dia menguras credit card mu."

"E.li.as apakah itu namamu?" tanya Cherry sembari mengeja nama Elias dengan imut.

"Apa?"

Elias terkejut setengah mati melihat sikap Cherry yang sebenarnya.

"Dia itu sinting, paranoid dan juga gila uang. Kau pikir aku suka padanya? Huh! Yang benar saja!"

Elias melepas pelukannya pada Cherry dan menggeleng tak percaya. Ia tak menduga kalau Cherry benar-benar setengah gila.

Di sekitar area sekolah

Sano mengisi peluru lalu memutar revolvernya hingga bersuara agak keras. Matanya menajam. Dari kejauhan ia bisa melihat Ian dan Onyx tengah siaga di sisi pagar samping gerbang sekolah. Kanopi lebar membuat bayangan mereka tak terlihat. Ian membuka kemeja putihnya yang memang sedari tadi tak dikancingkan dan mengaitkannya di pinggang.

"Berikan dasi dan kacamatanya," kata Onyx.

Ian sudah mempersiapkannya dan memberikannya pada Onyx. Ia sangat ahli menyamar, dengan cekatan Onyx telah merubah penampilannya menjadi anak lugu dan polos.

Dari kejauhan sebuah mobil ferari terparkir mencurigakan. Dari ponsel khusus Ian ia memindai plat nomornya dan ternyata palsu.

"Penyerangan dari dalam, ya?"

Seseorang tengah menyesap rokok dengan santai dari dalam mobil tersebut sambil tersenyum mencurigakan.

"Aku tidak peduli bang*at itu pelajar atau guru, aku akan mencincang semuanya sampai tidak ada yang tersisa," lanjutnya.

"Sudah lama kita tidak beraksi di sekitar sekolah. Bukankah ini menyenangkan, Onyx?" tawa Ian pecah.

Onyx memicingkan mata tak percaya. Ia memakai kacamatanya lalu berlari meninggalkan Ian.

Hap!

Ia melompat dari pagar dengan seragam acak-acakan beserta kacamatanya yang ia sengaja jatuhkan, tepat diatas mobil mereka.

Brak!