webnovel

Sampah

Dean meliriknya dan menatap senyumnya yang lebar itu hingga membuatnya terdiam sejenak. Mendadak pipinya memerah malu. Ia bahkan bisa merasakan sesuatu yang kenyal menatap lengannya.

"Lepaskan," Dean melepaskan tangan Cherry yang bergelayutan.

Ting!

Lift terbuka. Mereka berdua sampai di garasi bawah. Keduanya masuk mobil. Dean akhirnya mengajak Cherry belanja dan beli ponsel.

"Aku mau gaun, baju tidur, baju pesta...."

"Apa? Baju pesat? Kau pikir kau Barbie?"

"Aku memang Barbie. Kau tidak lihat aku yang cantik begini?"

Dean memegang keningnya yang makin pening.

Cherry mendekat lalu tiba-tiba...

Srek

Cherry duduk di atas pangkuan Dean. Dean tersentak kaget.

"A...apa yang kau lakukan?!" Dean panik.

"Kau seperti tidak rela mengajakku berbelanja. Jadi aku akan membayarnya," kata Cherry dengan ekspresi yang biasa.

"Bagaimana bisa kau mengatakannya dengan raut wajah seperti itu?" batin Dean berteriak.

"Apa yang akan kau lakukan?"

"Apalagi memangnya?" Cherry merangkulnya. Diam-diam dia meraih kendali kursi dan membuatnya menjadi berbaring. Ia mengunci mobilnya dan menindih tubuh Dean.

Sembari menarik dasinya dan membukanya pelan.

Dean menelan ludah dengan susah payah.

"Hentikan sebelum aku..."

"Apa? Kau mau apa?" sela Cherry.

Cherry membuka dasinya yang ketat dan membuangnya ke belakang. Ia lalu memeluknya dan rebahan di atas dada bidang Dean.

"Menyingkir dari atasku," Dean geram. Ia semakin tak bisa bernapas. "Kau akan berakhir jika membuatku melewati batasanku."

"Memang itu tujuanku. Nah ayo cepat," bisik Cherry. "Ayo lewati batasanmu, Tuan Kaya Raya."

Glek. (suara saliva yang susah payah ditelan Dean)

***

"Astaga apa ini?"

Elias shock melihat barang belanjaan yang memenuhi bagasi mobil. Ia menoleh ke arah Dean.

"Gadis itu menghabiskan uangku." Dean melemparkan kunci mobil pada Elias.

Elias menangkapnya dengan mudah. "Apa ini?"

"Aku ingin mampir ke bar yang kemarin!" teriak Cherry.

"Kau lihat sendiri kan. Dia terus mengoceh ingin ke tempatnya Mary."

"Astaga," Elias memegang kepalanya.

"Kenapa tidak boleh? Aku sudah 20 tahun! Aku bilang aku sudah dewasa, kenapa aku tidak boleh main?!"

Dean dan Elias menutup telinga mereka. Elias menatap Cherry dari ujung kaki hingga ujung kepala. Menyangsikan pernyataanya.

"Setelah ini Elias akan mengantarmu," kata Dean.

"Apa? Si kacamata es itu? Tidak mau!"

"Kau menyerahkan urusan pacarmu padaku?" protes Elias.

"Sudah kubilang dia bukan pacarku kan?"

Cherry agak tenang dan berhenti merengek.

"Tadi kau kuajak main di mobil tidak mau. Ya sudah, aku bisa main sama Eli." Cherry seolah memiliki kelainan bipolar, yang tadinya merengek sekarang langsung menerima semuanya.

"Eli, ayo kita pergi." Cherry menghampiri Elias lalu memegang erat lengannya hingga bertubrukan dengan dada kenyalnya. Membuat Elias kaget dan hampir mimisan.

"E..eli?"

"Iya, namamu Eli kan?"

"Ah astaga..." Elias menghela napas.

Setelah itu Elias dan Cherry pergi dari sana. Sedangkan Dean naik mobil yang telah disupiri. Setelah memastikan mereka pergi, barulah Dean pergi.

"Ke tempatnya Mary," perintah Dean pada supir.

"Baik, Pak."

***

"Katanya ada VVIP di lounge terbuka lantai 2 yang ingin dilayani olehmu," kata salah satu pegawai lain pada Maya.

"Apa? Siapa?"

"Entahlah." pegawai itu mengedikkan bahunya.

"Apa pria-pria nakal tadi?" batin Maya. "Apa tidak bisa kau saja gantikan aku?" pintanya.

"Kau berani pada tamu VVIP? Kau akan kena marah Nyonya."

"Ah iya juga," Maya pun murung.

Akhirnya Maya membawa nampan yang berisi botol dan tiga gelas ke lantai dua.

Lounge itu terbuka dan hanya ada tirai pemisah yang mewah mirip seperti pergola luar rumah.

Saat membuka tirai itu betapa terkejutnya Maya. Memang ada tiga pria yang mabuk tadi, tapi ada satu orang lagi. Dia adalah...

"Jeffry," panik Maya.

"Halo, May." Jeffry tersenyum seolah mengolok.

Ia menatap Maya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Jeffry berdiri dan mendekatinya. Maya yang masih membawa nampan berusaha menjauh dan menaruh nampannya di meja. Pria perokok yang masih setengah sadar memandangi keduanya. Sedangkan dua lainnya sibuk mabuk dan minum alkohol.

"Sepertinya kau mengenalnya," kata pria perokok.

"Dia mantanku di SMA dan teman, ah maksudku calon pacarku di kampus," kata Jeffry sembari memeluk Maya.

Maya mendorongnya. Si pria perokok tertawa melihatnya.

"Haha. Kau jelas-jelas ditolak, Jeff."

Maya menatap dua pria itu bergantian. Ia mulai takut dan panik.

"Biar kuperkenalkan padamu, May. Inilah circle-ku. Nama pria itu Rey. Dia sangat kaya raya." Jeffry mendekat dan membisik di telinga Maya. "Kalau kau tidur sekali saja dengannya, mungkin kau akan mandi uang, hahaha."

Maya mundur beberapa langkah. Ia tidak percaya melihat Jeffry yang benar-benar seperti sampah. Ia tidak pernah tahu bahwa ternyata Jeffry memang senakal dan sebrengsek ini.

"Sejak kapan kau berteman dengan orang-orang seperti ini?"

"'Orang-orang seperti ini'? Ah aku jadi kecewa," sahut Rey.

Rey lalu memberi tanda pada Jeffry. Jeffry mengangguk lalu dengan cepat mendorong Maya sampai ia terjatuh tepat di depan Rey duduk. Posisinya seperti jongkok dengan bertumpu pada lutut dan telapak tangan. Sedangkan Rey sengaja melebarkan kakinya. Pemandangan yang terlihat tidak senonoh.

Maya terkejut bahwa inilah yang Jeffry inginkan. Ia hendak bangun namun Rey menekan bahunya lalu mendekatkan wajahnya pada Maya.

"Apa kau sangat ingin memuaskanku? Sepertinya kau sangat suka uang. Jika kau melakukannya aku akan memberimu berapapun yang kau mau."

"Hahaha." tawa Jeffry memenuhi lounge. Diikuti dua teman yang mabuk lainnya.

Maya memaksa berdiri, dengan wajah bersungut-sungut dan marah. Ia menghampiri pria bernama Rey lalu tanpa mereka tebak tiba-tiba...

Plak

Maya menampar Rey.

Semua orang di sana terkejut. Maya terbalik dan mendekati Jeffry. Diraihnya gelas alkohol di atas meja lalu ia siramkan ke wajahnya lalu Maya dengan wajah dingin menamparnya, tamparan ini lebih keras dari Rey.

"Jeffry...menyebut namamu saja membuatku ingin muntah. Dasar sampah, aku harap kau mati saja."

Degh

Jeffry tak mengira Maya akan mengumpatinya. Sedang Rey menatap Maya sembari memegang pipinya yang nyeri.

Teleponnya bergetar, Rey mengeceknya. Ada pesan singkat dari Christ. Yap, dia adalah anggota Black Bird.

"Beraninya kau, May. Kesabaranku sudah habis!"

Jeffry lalu mendorong Maya hingga jatuh di sofa.

"Minggir kalian semua!" Jeffry mengusir dua pria lainnya yang duduk di sofa untuk pindah ke sofa yang di sisi kanan.

Jeffry marah besar dan menindih Maya dengan kasar.

"Lepaskan aku!" rontanya.

Jeffry memegangi dua tangannya yang kecil dan menguncinya di atas kepala. Kaki Jeffry menindih selangkangan Maya hingga roknya sedikit naik ke atas. Ia memaksa membuka kemeja ketat Maya.

"Hen...hentikan!" Maya berteriak menangis.

"Ini balasannya jika berani menamparku!"

"Woi, Jeffry..." Dua temannya saling pandang dan takut. "Kita akan dalam masalah nih..."

Sedangkan Rey duduk dengan menyilangkan kedua kakinya sembari meminum minumannya, seolah menonton dan menikmatinya.

"Aku sudah lama memang ingin mencicipi tubuhmu. Tidak usah khawatir aku akan membuatmu merasakan sensasi yang luar biasa." Jeffry menatap tubuh Maya. "Tidak perlu menangis, May." ia menyentuh pipinya.

Jeffry mendekat dan berusaha mencium bibirnya, namun Maya terus mengelak.

Drap drap drap