webnovel

Ring Tinju

"Sial*an! Apa ini?"

Seorang pria berjas keluar dari pintu belakang.

"Woy bocah, apa kau mau bolos?" pria itu menarik kerah belakang seragamnya.

"Le..lepaskan aku! Aku harus segera pergi sebelum guru bang*at itu menangkapku! Lepaskan aku sia*an!"

"Beraninya kau..."

"Tunggu dulu," pria bertato keluar dari pintu depan. Ia menyuruh pengawalnya melepaskan Onyx.

"Bisa kau ulangi lagi?" katanya.

"A..apa?" Onyx menatapnya dengan gugup.

"ckck, berandal itu...sejak kapan dia jago akting?" gumam Ian dari jauh.

"Bukannya kau baru saja mengumpati gurumu? Tidak buruk juga. Tapi kenapa matamu itu?"

"Aku tidak bisa melihat kalau tidak pakai kacamata."

Pemimpin mereka mengambil kacamatanya dengan sukarela dan memberikannya pada Onyx. Melalui kacamata itu Onyx mengirim sinyal pada Sano dan Ian.

Ada 6 orang termasuk pria pemimpin mereka dengan tato di sepanjang lengan kirinya. Masing-masing membawa 2 pistol pendek, ada 3 senjata laras panjang di kursi penumpang. Salah satu diantara mereka memiliki kumis agak tebal dan menyelipkan pisau di sepatu. Pemimpin mereka berambut botak dengan sepatu mengkilap, terlihat dari gayanya ia menyukai merek sepatu kulit.

"Orang ini lagi, sial!" Sano menyipitkan mata.

"Kau pernah lihat orang ini?" tanya Ian.

"Aku akan pergi. Urus kalian berdua saja" Sano mengeluarkan rokoknya dan pergi dari area.

"Woy! Mana bisa kau pergi begitu saja?"

"Kenapa? kau takut menghadapi 6 orang itu?"

"Apa kau gila? Mereka bawa pistol panjang yang sangat kubenci itu!"

"Setelah kau mulai bertarung dengannya, kau akan paham dengan kecoak itu. Aku pergi dulu."

"Sano! Woy! Apa dia melarikan diri?"

Mereka masih sibuk bercengkerama dengan Onyx.

"Woy bocah, kau tahu siapa kami?" tanya pemimpin itu sembari memberikan susu yogurt pada Onyx, menganggapnya pelajar biasa.

"Memangnya si...siapa kalian. Apa kalian semacam mafia atau semacamnya?" tebak Onyx dengan lugunya.

"Bwahahaha. Tidak usah gugup begitu. Bagaimana kalau kita benar-benar mafia. Kau mau bergabung dengan kami?" pemimpin itu merangkul bahu Onyx, mereka duduk di dalam mobil.

"Tapi aku tidak bisa berkelahi? Aku cuma mau bolos dari sekolah yang penuh dengan orang sialan!"

"Wah anak ini! Apa dia memanfaatkan kesempatan untuk mengumpat? Woy apa kau mengumpatiku!" teriak Ian.

Mereka berkomunikasi lewat alat kecil di telinga, sehingga bisa mendengar satu sama lain.

"Kurasa ini akan mudah," kata Onyx kemudian.

"Apa? Kau bicara dengan siapa?" teriak Ian lagi.

"Apa yang kau katakan bocah?" tanya para preman itu.

"SEKARANG!" teriak Onyx.

***

"Apa lagi sekarang?!" Dean berkacak pinggang di depan Mary.

"Apa kau setakut itu aku menjualnya?"

"Kau tahu bukan itu maksudku. Tanpa kau suruh pun dia pasti menjual dirinya!"

"Lalu kau mau aku apakan dia, huh! Satu gadis saja sudah membuatku susah, apa yang terjadi kalau kau punya 100 perawan? Sudahlah! Dia akan bekerja di sini sebagai pramusaji, kau puas!"

"Apa kau ayahnya, huh. Dasar!" Mary menggeleng frustasi.

Dean meninggalkan ruangan, menuju lounge bar yang biasa ia tempati. Mary melenggang pergi.

Drffft...

Sebuah panggilan masuk dari Sano. Dean memasang muka seriusnya lagi, karena Sano jarang menghubunginya ia mulai waspada.

"Ada masalah," kata Sano dari seberang telepon.

"Katakan."

"Apa kau ingat pria bodoh bertato yang pernah menantangku di arena tinju beberapa tahun lalu?"

"Bagaimana aku lupa? Dia terlalu bodoh untuk ukuran gangster."

"Dia bergerak."

"Apa?"

"Kita yang beruntung ada orang sepertinya di Black Bird. Kurasa mereka sedang menyiapkan operasi. Aku tidak bisa membicarakan ini di telepon. Aku akan ke kantor sekarang."

"T..tunggu, aku tidak di kantor."

"Ha?"

"Pokoknya aku tidak sedang di kantor. Datanglah ke kantor satu jam lagi."

"Ini lebih serius, Dean!"

Dean diam berpikir sejenak.

"Mereka bahkan datang ke sekolah Ian dan Onyx. Kita harus segera membicarakan ini dengan Elias juga," nada bicara Sano meninggi.

Dean tersentak mengetahui Ian dan Onyx terlibat.

"Datanglah ke tempat Mary. Aku di ruangan biasa."

"Apa kau bolos kerja? Bilang saja di bar. Itu bukan hal yang memalukan."

Setelah agak kesal dengan Dean, Sano mengendarai mobilnya dengan gesit.

Di sekolah

Darah segar dari mulut para gangster itu muncrat hingga membuat seragam putih Onyx dan Ian berwarna merah. Mereka berdua di tengah-tengah dan dikepung lima orang. Pemimpin mereka ternyata lemah, anehnya ia sudah tumbang dengan wajah babak belur dan terlentang di tanah.

"Padahal aku sudah mengambil pistol mereka, bos mereka juga lemah, tapi kenapa malah para keroco ini yang jago sih," keluh Onyx, namun ia tersenyum menikmatinya.

"Bukan mereka yang jago, tapi kau yang terlalu lemah, hiyaaaaaatt," ejek Ian.

Ian mengepalkan tangannya dan menyerang mereka dengan satu pukulan. Onyx mendecih dan terpaksa bertarung lagi.

"Siaaaaaal!!" teriak bos mereka yang terkapar.

Flashback

Ring tinju

"Namaku Joger. Orang bilang aku bodoh. Tapi mereka yg mengatakan itu... mati di tanganku," sembari mengepalkan tangan percaya diri.

Sano meregangkan lehernya, kakinya lari ditempat untuk mengumpulkan tenaga, tangannya ia putar ke depan ke belakang. Matanya memerah, bukan amarah, melainkan ini terakhir kalinya ia bertarung untuk orang ia sayangi.

Sejak semalam kemarin, pandangannya kosong, tak sekalipun memperhatikan orang-orang. Kamar apartemennya mirip kapal pecah. Apapun yang terjadi di ring tinju, ia akan membunuh keparat itu. Meskipun setelah ini didiskualifikasi, tak ia pedulikan, karena tujuannya bukan menang pertandingan, melainkan membunuhnya.

"Aku suka sorot matamu, Bung. Setelah adikmu mati Kau jadi bosan hidup ya. Haha." Joger tertawa.

Sano menatapnya, dari jauh ia membisikkan. "Kau...MATI."

Buaghhh...

"Kau kalah dari pria yang adiknya kau bunuh?!! Kau gila??!!"

Buagh.. buagh..

"Ampun bos. A...aku tak mengira dia sekuat itu.. aargghh!"

Pria bernama Rey, memukuli habis-habisan Joger yang bertubuh kekar dua kali lipat darinya. Namun jelas Rey lebih kuat beratus kali lipat. Joger tak punya kuasa melawannya dan membiarkan darah mengucur dari seluruh tubuhnya.

"Aku sudah memberimu kesempatan menikmati gadis berharga itu, tapi kau membunuhnya! Apa kau sudah hilang akal huh! Huuhh!!!"

Buagh...buagh...buagh...

Mata Rey berapi-api.

"Kenapa kau sebegitu marah padanya?" Terdengar suara Christ masuk ke gudang kosong itu.

Ia mendapati jas Rey di kursi kayu dan Joger yang hampir mati tergeletak di lantai.

"Dia membunuh barang kita!! Aku bilang bawa hidup-hidup. Lihat! Kita jadi rugi besar. Bagaimana jika dia datang ke markas kita!!??"

Rey berkacak pinggang. Ia menendang kursi dan masih belum bisa meredakan amarahnya.

"Ah gadis bernama Sania itu ya..." Christ memegang dagunya. Ia memang menyayangkannya, tapi orang yang sudah mati tidak bisa hidup kembali.

Christ berjongkok dengan wajah datar. memeriksa nadi leher Joger.

"Dasar Sumo gila! Bunuh saja sampah ini sekalian!"

"Kalau begitu kita tinggal buat orang ini mati suri," kata Christ.

"Apa?" Rey terkejut mendengar idenya. Rey menatap raut wajah Christ yang menunjukkan poker face saat menatap Joger yang babak belur setengah mati.

Rey menelan ludah.

Setelah itu Joger koma berbulan-bulan.