webnovel

Richy

"Ma...Mamanya Maya?!" Ella menutup mulutnya kaget. "Tapi kenapa penampilannya se-glamour itu?"

Nico datang dan berlari menghampiri Maya, namun Tian dengan sigap menarik lengannya mundur.

"Kau mau membuatnya tambah malu dengan ikut campur urusan keluarganya?" kata Tian.

"Bukankah kau juga tidak bisa cuma diam saja?"

"Setidaknya aku tidak akan mengacau dan membuatnya jadi ricuh."

Nico membisu.

"Coba lihat pakaianmu, huh?" Mama memutar bola matanya sembari menyilangkan lengan depan dada dengan angkuh. "Apa kau bersenang-senang? Apa kau setiap hari bersolek seperti ini dan membiarkan mamamu berjuang di luar sana?!"

"Hentikan, Ma. Berhenti mengganggu hidupku. Aku sudah memberimu uang, kan?"

"Ouuhh begitu. Jadi kau mau kurang ajar denganku sekarang. Dasar durhaka!"

Mama mendorong Maya hingga ia terjatuh. Baju yang baru ia beli jadi kotor terkena jalan yang kotor.

"Maya!" Nico hendak mendekat.

"Kubilang jangan ikut campur kan?!" Tian melotot ke arah Nico.

"Kau mau membiarkannya terluka seperti itu!" Nico membalas tatapan Tian.

"Tolong berhenti, senior," kata Ella. "Bertengkar tidak akan membantunya."

"Maya tidak selemah itu. Dia pasti akan mengatasi keluarganya sendiri," ujar Tian kemudian.

Dari jauh mereka melihat Maya berdiri dan merapikan bajunya. Denagn tangguh dan menyakitkan Maya tetap memanggilnya dengan sebutan Mama.

"Kau tahu, Ma?" Maya berusaha tenang dan mengatur meski tangannya mengepal dan bergetar. "Kau tidak pantas dipanggil Mama. Dan aku...." Maya mengatur napasnya.

"Aku tidak sudi memanggilmu dengan sebutan itu. Aku sudah menuruti semua keinginanmu! Aku memberimu uang! Aku bekerja keras untukmu! Apa kau tahu bagaimana hidupku selama ini?! Apa kau tahu betapa menyedihkannya hidupku?!" teriak Maya.

"Dasar anak kurang ajar!" Mama mengangkat tangannya hendak menampar Maya, namun seseorang dengan sigap menangkap tangan itu lebih dulu.

Dia adalah pria yang memakai jas rapi. Setelan hitam dan bersepatu hitam. Tinggi dan tampan. Ia berdiri menghalangi Mama untuk menampar Maya.

"Hentikan," katanya dengan penuh penekanan. "Berhenti mengganggu Maya!" pria itu melempar tangan Mama dan melemparnya ke udara hingga ia terjatuh. Kacamatanya terlempar entah kemana.

"Cuma ibu tiri tapi bicara sok pada kami! Dia berbohong tentang menghilangkan uang. Tapi dia membawa lari uangnya untuk membeli saham hingga habis." Pria itu menyunggingkan senyum remeh. "Kalau kau tak bisa main saham, harusnya kau jaga uang harammu itu baik-baik, Tante," ia menekannya pada panggilan tante di akhir.

Mama mendadak mundur melihat pria itu.

"Dasar pembunuh! Pembunuh!"

Dua polisi datang dan menangkap Mama dengan tuduhan menggelapkan uang, mencuri, dan perjudian. Ia menjerit-jerit dan masih mengumpati pria itu dengan sebutan pembunuh. Polisi mengatakan pada pria itu untuk menjadi saksi di kantor polisi.

"Kami akan membawanya ke ranah hukum. Saya akan datang sebagai saksi."

"Baik, Pak. Kami permisi dulu."

Setelah polisi pergi, pria itu berbalik dan berbicara pada Maya. Ia memegang bahunya dan cemas pada keadaannya.

"Si...siapa pria tampan itu?" Ella tertegun.

"Dia..." Nico mengenalinya. Ia lalu berlari menghampiri Maya.

Tian dan Ella mengikutinya.

Tian tercengang melihat pria asing itu menyentuh Maya. Ia mendekatinya dengan kesal.

"Lepaskan tanganmu!" Tian memegang lengan besar pria itu dan meminta menjauh dari Maya. Namun pria itu menghempaskan tangan Tian dengan mudah.

"Jangan ikut campur!" ketusnya.

Tian terkejut.

"Oi Tian!" Nico meneriakinya. "Bukan begitu, Dia itu...." Nico frustasi sendiri sekaligus terkejut melihatnya. Tak menyangka akan menemuinya di sini.

Maya masih terdiam dan membisu karena terkejut dengan situasi tersebut. Ia mendongak dan menatap pria itu.

"Kakak?"

"Kenapa? Kau mau marah lagi?"

"Bagaimana kau tahu Mama kemari?"

"Ceritanya panjang. Aku akan mengantarkanmu pulang."

Maya mengangguk. Mereka berdua lalu pergi dari sana. Tak jauh dari gerbang, sebuah mobil hitam terparkir, itu adalah mobil kakaknya. Keduanya masuk, lalu melaju meninggalkan kampus.

"Apa? Kakak!" Ella menutup mulutnya tidak percaya.

Tian membeku. Ia menoleh ke Nico dan meraih kerahnya.

"Oi sialan! Kenapa kau tidak memberitahuku? Huh!"

"Aku bingung bagaimana bilangnya tadi. Kau yang menyuruhku tenang tapi kau yang melewati batas sendiri."

Tian frustasi, ia merasa ingin ditelan bumi sekarang juga.

"Ta...tapi saat di taman bermain...kenapa Maya berbohong dan mengatakan tidak punya kakak?" batin Tian.

***

"Kak Richy," panggil Maya. Ia duduk di tepi ranjang.

Sedang Richy tengah beres-beres rumah Maya, mengecek kulkasnya, mengecek wastafelnya, mengecek persediaan bahan makan di rak dapur, dan lainnya.

"Kenapa kau di sini?"

Namun Richy tak kunjung memberi jawaban dan masih sibuk memeriksa kelayakan apartemen Maya. Jas hitamnya ia taruh di sampingnya. Maya memegang jasnya.

"Sudah lama sekali aku tidak memegang baju Kakak," batin Maya sedih.

"Aku memasang pelacak ke ponsel wanita itu. Aku juga terkejut dia berani datang ke kampusmu. Setelah sidang nanti, kau tidak akan pernah bertemu lagi dengannya selamanya. Aku juga melaporkannya atas dasar kekerasan pada anak," Richy menjelaskan.

Maya menunduk dan menghela napas.

"Sekarang bagaimana? Aku tidak bisa datang ke kampus lagi." Maya sangat malu karena kejadian tadi.

"Orang-orang akan segera melupakannya."

"Tapi ada Senior di sana," Maya cemberut.

"Senior?" Richy yang tadinya di dapur, kembali menghampiri Maya. "Senior siapa?"

Namun Maya mengalihkan pandangannya tak berniat menjawab.

"Apa tadi itu pacarmu? Yang satunya Nico?"

"Tidak," sahut Maya malas. "Memangnya ada yang mau dengan gadis bermasalah denganku? Memangnya ada yang mau pacaran dengan gadis yang punya keluarga kacau, banyak hutang, dan miskin sepertiku? Apa aku bahkan pantas memikirkan tentang kencan sekarang?"

Richy menghela napas. Ia berkacak pinggang.

"Kita sudah lama tidak bertemu tapi ini yang kau bicarakan?" Richy duduk di samping Maya.

Maya naik ke ranjang dan tidur. Memaksa matanya terpejam sembari menutup seluruh badannya dengan selimut.

"Apa kau marah Kakak datang ke kampus dan membuat ribut?"

Tidak ada jawaban.

"Apa kau arah karena Kakak tidak bilang mau datang? Apa kau tidak suka aku muncul di hadapan teman-temanmu?"

Maya bangun dan duduk lalu melempar bantal ke wajah kakaknya.

Buk!

Richy seketika kaget dan tidak bisa menghindar.

"Dasar kakak gila! Apa kau tahu betapa khawatirnya aku kau muncul? Bagaimana jika nanti ada orang melukaimu lagi seperti dulu? Dasar gila!"

Maya mengambil bantal, selimut dan apapun yang tangannya raih dan dilempar ke arah Richy.

Richy kali ini dapat menghindar dengan mudah.

Ia naik ke kasur dan mendekati adiknya yang mengamuk.

"Apa kau menemui orang asing yang aneh?" Richy menatapnya.

"Tidak ada orang yang seperti itu." Maya mengalihkan memainkan roknya dan mengalihkan pandangan.

"Kenapa kau bohong?"

"Aku tidak bohong!"

"Kau bohong."

"Tidak!"

Richy menghela napas lalu melepaskan dasinya yang seolah mencekik lehernya.

"Kakak tahu kau bohong." Richy bersungguh-sungguh.

"Dasar pahlawan kesiangan. Kalau mau tenggelam, kenapa tidak sekalian keluar negeri sana! Aku sudah biasa sendirian! Aku bisa mengurus diriku sendiri!"

Richy mendekat lalu memeluk Maya.

"Maafkan aku, May. Aku tidak di sana saat kau membutuhkanku." Richy sudah mendengar semuanya, bahkan cerita saat dia diganggu oleh Jeffry. Maya harus bekerja siang malam dan harus rela cuti kuliah untuk bekerja mengganti uang mamanya.

Richy merasa sakit hati mendengar cerita dari Oska.

"Aku akan membunuh pria bernama Jeffry itu. Aku pasti akan menemukannya."