webnovel

Pemburu Mimpi

Andra dan Nico meninggalkan kafe dengan mobil Andra. Mereka menuju ke suatu tempat. Itu adalah rumah sakit jiwa di mana Nina dirawat.

Nina adalah kakak perempuan tiri Nico dan adik perempuan tiri Andra. Ia diadopsi setelah Andi, kembaran Andra hilang. Lalu selang waktu beberapa tahun Nico lahir ke dunia. Ada alasan tersembunyi mengapa ayah dan ibu harus mengadopsi Nina. Yang sampai saat ini mereka berdua tidak tahu apa alasan itu.

"Kau benar benar ingin mengunjunginya?" tanya Andra.

Nico berdehem.

Mereka berdua berjalan di lorong yang dipenuhi pasien sakit, berteriak teriak dan berlarian seperti anak kecil sembari diikuti suster. Andra dan Nico berwajah lesu. Mereka hanya diam sepanjang berjalan di lorong. Hingga sampai di sebuah ruangan putih. Ruangan bagi penderita skizofrenia. Nina adalah pasien skizofrenia yang cukup lama. Ia hampir tidak bisa membedakan mana kenyataan dan mana ilusi.

Andra menatap Nina dari luar. Ada sebuah kaca sempit di pintu. Ia mengintip dari balik situ. Begitu juga Nico.

Mereka menatap saudari mereka dengan tatapan sedih dan merasa bersalah. Sedang Nina, tengah menatap keluar jendela. Dengan baju pasien putih yang melekat, serta wajahnya yang cantik dan menenangkan. Namun ia tengah tidak baik baik saja.

Nina POV

Remang-remang lilin di sekitar mantra, soneta. Berpagut senyap, pualam gelap. Terseok seok sisa tapak, jejak seorang asing. Bersemangat, gerak halus angin mengibas poni tipisnya. Menelusuri celah rembulan, yang mengatup di sisi tebing. Terjal berkerikil dan curam yang seolah menyulam.

Aku berjalan, berkeliling, mengikuti aturan angin yang tak peduli telah menabrak pinus tinggi, cemara ataupun lengkungan Akasia yang hampir menyerempet tanah. Memanjang meraih langit gelap, ternyata tanganku hanyalah organ kecil, bahkan untuk menyentuh dedaunan. Dahan dan ranting begitu tinggi, hingga aku tak kesampaian. Sedang tempat itu hanya dipenuhi pohon pencakar langit. Kuharap aku tak hilang di Alaska atau Colorado, bahkan jika itu adalah Kota Musim Semi Abadi. Berjajar pegunungan di Antioquia, tau tengah kota metropolis. Banyak hal yang ingin kuhindari karena sudah lama sejak tersesat, lupa akan semuanya, tak mengingat apapun. Aku terdiam menatap tanah yang kupijaki, tak jelas, terlalu gelap, hanya akar-akar gambut basah yang nampak subur, tanpa penabur, membius pelan. Hipersomnia.

"Apakah aku lebih baik mati? Siapa yang akan datang ke pemakamanku? Apa orang-orang bahkan sudi menengokku di dalam peti yang dingin? Atau aku harus bertahan dengan tubuh babak belur dan kesakitan."

Katanya, mereka akan membawaku melihat Nebraska, yang penuh jerapah berleher panjang, juga langit biru lazuardi. Ah, rupanya hanya omong kosong. Mereka bahkan tak tahu, aku telah tersesat terlalu jauh. Untuk beberapa saat aku tertegun ketika terdengar pelan suara mengerat atau mengendap-endap, melewati semak dan rumput liar. Hari makin bersembunyi. Mendadak warna, bulan berubah, semakin dekat dan membesar, pastinya bukan Betelgeuse karena ia akan lebih besar dari itu. Di sepanjang jalanan setapak hanya ada tanah lembap, Alder, Cemara, Spruce, dan Anilina rambat. Sesuatu terasa mendekat, entah sedang mengintai atau seseorang yang kukenal. Menyeret sepatu, saling berantukan dengan ranting yang jatuh. Makin jernih dan keras. Aku menoleh, terkesiap.

Sebilah belati keperakan. Terpampang ujungnya di depan wajahku, runcing dan tajam seperti duri di mawar merah.

"Jangan bergerak!" suruh seseorang dengan suara berat dengan nada seperti di militer. Namun suaranya mirip hembusan buritan yang hampir tak terdengar. Bisikan yang mematikan, sepertinya aku bermimpi terlalu jauh.

Pria itu maju selangkah. Wajahnya tertutup bias rembulan diantara daun-daun panjang berduri, celah-celah batang tipis akasia, menyorot mata merahnya. Pakaiannya serba hitam, kaus hitam, sepatu hitam memakai sarung tangan. Matanya hampir tertutup poni rambutnya. Aku terkecoh, kehadirannya di tengah hilangnya diriku sendiri. Selangkah, lalu selangkah lagi, belati itu masih di hadapan bola mataku yang melebar, yang ujungnya mengkilap seolah disinari rembulan. Melengkapi cemas dan gelisahku. Ia membisu, begitu juga membisu.

Perlahan diangkat belati itu, ancang-ancang ke belakang. Berkelit dirantai yang terselip diantara ikat pinggangnya, nampak besi berkarat cokelatan. Wajahnya entah berekspresi seperti apa. Sinar kuning meneduhkan wajah, datar dan dingin. Tanpa teriakan aba-aba, belati itu terlempar dengan mudah, lurus memotong sehelai rambutku. Bungkam memakan bahasa, tiada cengkerama, hanya lolongan serigala atau Grizzly di sekitar lembah yang jauh. Atau Lynx di wilayah Siberia, dan gagak hitam kedinginan. Aku memejamkan mata, entah tertancap dimana belati perak itu sekarang.

"Kau membuat buruanku kabur," suaranya terdengar kecewa. Ia menghela napas panjang. Aku tak paham situasinya.

Seseorang pasti telah mencampur obat tidurku dengan sesuatu, semacam Phenobarbital. Lagipula aku sedang melayang bebas sekarang. Sesaat aku membuka, tetap begitu sajalah. Tirai gelap, lampu penerang dimatikan, desusan angin laut, asin kukecap. Entah itu hipersomnia atau insomnia, langau berjatuhan dari ilalang di depan rumah, meminta darah, meminta nyawa. Sudut-sudut tanpa pena. Debu dan kerikil. Masih terpatri di otakku, mereka yang memaksaku menenggak semua Thorazine itu. Aku tidak tersesat, mereka membunuhku.

Pria itu mendekat. Langkah kakinya masih bersuara serak di tengah senja. Belati itu terlempar dari telapak tangannya. Tatapannya kecut, entah bermakna bagaimana. Nifas mengepul, suhu meningkat tiap detiknya. Sayu di kelopak mataku. Ia mengeratkan jaket tebalnya. Aku diam.

"Apa kau tuli?" tanyanya sinis. "Kau baru saja menggagalkan perburuanku."

Tersadar. Aku masih baik-baik saja. Kurasa suhu dingin ini hampir saja membekukan tubuhku dan suasana gila ini. Seperti daerah Semenanjung Skandinavia, nampak Juniper di sepanjang jalan setapak. Waktu berpacu, tidak ada kata berhenti, poros yang melelahkan, melemahkan tiap nadi. Deru napas pria itu, masih bersamaku sekarang, entah dimana.

"Apa aku baik-baik saja?" tanyaku padanya.

Aku membungkuk, meneliti kaki, paha, telapak kaki, tangan, perut dan kepala. Masih belum cukupkah pukulan yang kudapatkan? Semacam potongan mimpi yang dibatasi kegilaan. Pria itu menahan tawanya. Ia maju beberapa langkah berdiri tepat di depanku. Ia menunjuk ke belakang. Aku mengikuti gerak lengannya.

Belati itu tertancap di batang tebal Spruce. Aku bernapas lega.

Dengungan bertubi menusuk gendang telinga diselingi jeritan. Mendadak pria asing itu membaur dengan sepoi dedaunan berduri, bergerak tanpa poros 360 derajat. Terngiang tawa, racauan, pilu di otakku. Aku terjatuh, limbung, menutup kedua telingaku yang tak berhenti mengoceh. Suara rantai bergerigi di pinggang pria itu. Menepis kesadaran, hitam. Dimakan lelap bias sinar jingga. Pelangi gelap tak berwarna di ujung cakrawala, memudar. Menelan keberadaanku di sekitar gobi subur.

Berdiri di waktu berbeda. Pinus dan Liana hilang mengawang. Pulas tanpa memori, lagi-lagi begini.

Aku tersentak, tubuhku menggeliat. Dengan cekatan aku menoleh.

Brak…

Kursi terlempar, meja terlempar, pisau terlempar. Lukisan Napoleon Bonaparte kesayanganku, retak tak beraturan. Gendang telinga seolah pecah mendengar racauan pria tua beruban dan tawa pilu wanita gila. Vas bunga, pecahan kaca, dan penangkal mimpi buruk, berdesakan di lantai. Lampu sinar oranye berkedip-kedip, sudut-sudut ruangan diterangi gelap, tanpa lilin, tanpa serotin. Aku berlari menghampiri mereka. Pria tua itu menarik narik rambutnya yang beruban, hingga rambut putihnya berjatuhan. Sesekali diambilnya kapak dan palu, almari dihancurkan, rak-rak buku digulingkan. Dibantai segalanya satu persatu, dibungkam bunyi nyaringnya. Dinding digempur, raungannya terdengar jelas, meski hanyut oleh gerimis lebat dan tornado. Ah semua orang mendadak hilang kewarasan. Aku bersimpuh di dekat wanita yang meringkuk di kaki meja. Telapak tangannya berdarah, dahinya mengucur aroma pekat kemerahan, bibirnya pucat bergetar, pandangannya kosong.

Kutahan sesak diantara rongga tenggorokan dan kerongkongan. Aku seolah tercekat oleh waktu. Tersedak beluga di kutub utara. Ini bahkan tak lebih baik dari tersesat di hutan Bolera atau jalanan bercabang di musim gugur. Bahkan belum memasuki musim panas namun rumah yang kutinggali telah kacau seperti kerang berjejal di pesisir Marina.

"Kau pikir aku akan melepaskanmu, Huh!"