webnovel

Mafia

Sano terkejut melihat Richy juga memiliki tato yang sama.

"Apa kau benar-benar pengkhianat?" Sano tidak percaya melihatnya. Ia menggeleng.

"Bukan itu maksudku!" Richy frustasi Sano yang salah paham lebih dulu. "Apa kau lupa aku pernah menyusup ke Black Bird?"

"Apa?"

"Aku..."

Belum sampai Richy menjelaskan, tiba-tiba terdengar suara sirine polisi di sekitar apartemen. Sano mengumpat kesal, ia lalu pergi dari sana melalui tangga darurat.

"Richy sialan!" umpatnya.

Sebenarnya Sano adalah satu-satunya yang masih belum percaya bahwa Richy adalah pengkhianat. Ia masih percaya bahwa rekan dan juga keluarganya itu tidak mungkin berkhianat. Namun melihat seorang Black Bird menyerangnya, ia tidak tahu lagi harus percaya lagi atau tidak.

Beberapa waktu yang lalu, saat masih di rumah sakit, Richy mempunyai ide untuk menitipkan Maya di apartemen Tian. Oska menyetujuinya. Mereka lalu masuk ke kamar dan berdiskusi.

"Maya, kau tinggal dulu di apartemen Tian," kata Richy.

"APA!" teriak Maya da Tian bersamaan.

"Oi, jangan langsung to the point gitu, lah," Oska tidak habis pikir.

"Sudah kubilang kan aku tidak suka pria lemah? Jaga Maya untuk sementara waktu." kata Richy pada Tian dengan tatapan sangar.

"Ta...tapi Kak..."

"Tidak ada tapi-tapian!"

"Begini, May. Sepertinya rumah kalian juga sudah tidak aman. Tian tidak dikenali siapapun, jadi akan aman jika kau bersamanya."

Sano memang datang ke rumah lama keluarga Forenzo, tapi tak ada siapapun.

Saat Oska dan Sano berkelahi di koridor, Tian mengintip di lubang kecil. Mereka berdua merasa ngeri dan takut.

"Apa mereka mafia? Siapa sebenarnya Oska itu?" Tian bertanya-tanya.

"Siapa lagi? Dia komplotan kakakku yang menyebalkan," Maya merasa biasa saja dan kembali duduk di sofa dengan santai.

Tian mengunci pintunya baik-baik dan berusaha tidak membuat suara. Ia lupa kalau kamarnya kedap suara. Ia lalu menghubungi polisi dan mengatakan ada orang mencurigakan di sekitar apartemen. Saat polisi datang dan sirine terdengar, Sano kabur dari sana.

***

Sementara itu di markas Black Bird.

"Saat ini kita tidak perlu bermain kotor. Biarkan mereka membunuh kawan mereka satu sama lain." Christ duduk sembari menyilangkan kedua kakinya sembari minum teh dengan elegan.

"Si pengkhianat Raya itu punya adik, dan si penyusup Richy juga punya adik. Menarik sekali," tukas Rey sembari bermain golf di dekat Christ. Bukan area golf sungguhan tapi golf dengan teknologi screen.

"Kita hanya perlu menjadi kompor saat mereka saling menghancurkan," Christ tersenyum licik.

"Jadi kapan kita akan membawanya? Aku sudah tidak sabar."

"Berhenti mengoceh."

Rey seketika berhenti bicara. Christ adalah pimpinan di sana.

***

Tian mengganti plester di leher Maya di apartemennya.

"Bagaimana bisa kau terluka di leher?"

"Ya begitulah." Maya enggan menjawab. "Apa ada bahan makanan di kulkasmu? Aku akan memasak," ia mengganti topik pembicaraan.

"Em. Kau ambil saja."

Setelah selesai mengganti plester, Maya ke dapur dan memasak. Ia memakai celemek lebih dulu. Tian duduk di sofa dan memperhatikannya. Saat Maya mengikat rambutnya ke belakang, Tian makin tidak bisa menahan senyumnya. Ia benar-benar senang melihatnya di pagi hari seperti ini. Wajahnya yang baby face dan kecil, membuatnya gila.

"Tidak salah kalau Kak Richy Forenzo menulis buku laknat itu. Jika itu referensinya Maya, aku percaya padanya 100 persen," Tian jadi makin bucin, tapi dia berusaha menjaga ekspresinya.

"Ada apa?" Maya sadar Tian menatapnya.

"Tidak. Lanjutkan saja," Tian sok dingin seperti biasa.

Mereka lalu sarapan berdua. Maya memasak sup tahu dan taoge, omelette telur, tempe goreng dan nasi hangat.

"Bahkan tempe goreng pun jadi sangat enak kalau Maya yang memasaknya," batin Tian yang memakan tempe sembari menikmati sensasi di mulut.

"Senior, kau kenapa sih?"

"Oh? Tidak kok."

Maya menggeleng pelan.

"Aku akan mencucinya nanti. Kau tidak perlu mencucinya."

Maya mengangguk.

"Maafkan aku, Kak Tian. Kau jadi tidak nyaman karena aku di sini. Kita harus gantian tidur di sofanya. Aku jadi tidak enak."

"Jangan, jangan!" Tian panik sendiri. "Aku tidak keberatan kok! Sungguh!"

"Tetap saja, aku merepotkanmu."

"Aku malah senang jika kau tinggal di sini terus, May," batin Tian sembari senyum-senyum. "Ya ampun kenapa aku jadi alay begini, sih?" ia menyadarkan dirinya sendiri yang terlalu bucin.

Siangnya, saat membuang sampah Tian melihat memang ada orang-orang yang mencurigakan yang berjaga di beberapa titik, seperti pohon, pagar tanaman bahkan bangku yang biasanya kosong, ada dua pria yang duduk di sana. Seolah-olah sedang mengawasi.

"Penyamaran mereka buruk sekali. Mereka seperti stalker." Tian lalu masuk cepat-cepat.

"Kau sepertinya memang diawasi, May."

"Biarkan saja. Aku hanya perlu tidak keluar kan?"

"Ap tidak lapor polisi saja?"

"Kau yang kemarin lapor, kan? Kakak sangat marah padaku."

"Baru kali ini aku merasakan seperti sedang shooting film action."

Ternyata semua stalker itu bukan dari Sky Lynx melainkan Black Bird. Sialnya, salah satu dari mereka menghubungi Rey karena sudah tahu kalau Maya tinggal bersama tetangganya.

"Dia ada di rumah tetangganya."

"Christ!" di telepon Rey memanggilnya. "Kita bawa sekarang saja, lah. Aku tidak sabar melihat bagaimana reaksi para pecundang itu."

"Terserah kau saja."

Rey bersemangat. Ia lalu memerintahkan para stalker yang berjaga untuk membawa Maya dan tetangganya sekalian nanti malam.

***

"Apa kakakmu benar-benar bisa menaruh pelacak di ponsel?" tanya Tian.

"Em."

"Kau tidak ingin menghubunginya?"

"Aku ingin tapi tidak melakukannya."

Maya mondar-mandir di depan Tian sembari menggigit kukunya. Ia akhirnya memutuskan keluar namun Tian mencegahnya.

"Aku tidak bisa terus di sini, aku harus keluar."

"Jangan, May!" Tian panik. "Di luar benar-benar bahaya. Ada banyak penguntit. Aku melihatnya sendiri beneran!"

"Tapi Kak Richy...."

Ting tong!

Tian dan Maya saling berpandangan. Mereka berdua cemas. Tian lalu memberikan tanda agar tetap di belakangnya. Sedang dirinya berjalan pelan ke depan pintu. Ia mengintip di lubang kecil yang cembung.

Namun Tian kaget dan mundur seketika. Maya mendekatinya.

"I..itu siapa?"

Tian menggeleng.

"Siapa?" desak Maya yang ikut cemas dan takut.

"Itu bukan kakakmu ataupun Oska." Tian menatap Maya takut. "Dia...orang asing."

"Apa yang harus kita lakukan?"

Brak! Brak!

Orang-orang itu membuka paksa pintu dengan mendobraknya. Tian dan Maya segera kembali dan mengambil ponsel. Maya menghubungi kakaknya, namun tidak diangkat.

"Kakak tidak mengangkatnya!" paniknya.

"Bagaimana ini? Apa ini benar terjadi? Apa kita akan mati?" Tian panik. Seumur hidup baru kali ini ia berhadapan dengan situasi yang tidak masuk akal begini.

Brakk!

Pintu terbuka. Tiga orang pria berbadan besar berdiri di ambang pintu. Maya dan Tian ketakutan, namun Tian berusaha gentle dan melindunginya meskipun dirinya tak bisa bertarung.

"Si...siapa kalian?!" teriak Tian.

"Bawa gadis itu," perintah bos yang ada di tengah.

Dua orang lainnya mengangguk dan hendak membawa Maya namun Tian berdiri melindunginya.

Bugh!

"Jangan menghalangi kami, sialan!"

Maya berteriak saat melihat mereka memukul Tian. Tian terjatuh dan bibirnya berdarah.

"Bagaimana dengan pria ini?"

"Bawa semuanya."

Salah satu dari mereka mendekati Maya lalu memukul belakang lehernya. Seketika Maya pingsan.

"Maya!" Tian berusaha berdiri dan membalas pukulan mereka, namun lagi-lagi ia yang malah kena pukul sampai pingsan.

Pengawal itu mengambil ponsel Maya dan Tian lalu memisahkan baterainya dengan ponsel, kemudian membuangnya ke tempat sampah di sudut kamar. Mereka lalu membawa Maya dan Tian yang pingsan keluar apartemen. Salah satu dari mereka kembali dari arah tangga. Dia memberi laporan bahwa urusan CCTV beres. Mereka berempat lalu membawa sandra ke mobil dan pergi dari sana.