webnovel

Lyan

"Hal yang paling kubenci adalah, seseorang yang bodoh tapi tak menyadari kebodohannya. Persis seperti dirimu." Viola menekan setiap kata yang terucap dari mulutnya.

"Kau menyulut apimu sendiri Viola. Kau akan menyesal jika suatu saat nanti aku datang untuk menghabisimu."

"Ya baiklah aku tidak melarangmu."

"Tentu saja. Kau bukan temanku! Kenapa juga harus melarangku. Kau itu bukan siapa-siapa. Hanya sampah yang tak sengaja muncul karena aib!"

"Sampah? Jika aku sampah, kau belatungnya." Viola mendecih. "Ya ampun ternyata aku hanya membuang harga diriku, cuma untuk bercakap dengan wanita yang bahkan lebih rendah dari belatung sampah."

Kepalan tangan Lyan bergetar hebat. Lidah pedas viola bahkan tak berubah. Masih panas dan lancang. Kekalutannya di malam ini nampak menjatuhkan eksistensinya. Seakan tak diberi kesempatan bicara. Lyan menyipitkan mata.

Cahaya bulan remang-remang menyinari sudut-sudut sempit gang. Jalanan di sana lumayan lebar. Hanya ayunan di Taman Kanak-kanak yang tampak terseret oleh angin. Menambah kesan menyeramkan di tengah-tengah pembicaraan. Juga Pohon Cemara di sisi tiap jalan.

Lyan menatap Viola dendam. Kulitnya mendadak merinding. Sesaat bulan tertutup awan. Sorot mata Viola nampak memantul, memerah darah. Lyan berdiri ketakutan. Sesaat kemudian, ia berlalu dari sana. Seraya merapikan rambut dan rok, dirinya berjalan anggun melewati Viola. Membiarkan rivalnya mengetahui siapa yang sebenarnya lebih menyedihkan.

"Huh, menyebalkan," Viola menggumam. Ia menghela napas panjang.

Tubuhnya kaku, cukup tegang dan sudah lama juga perjumpaan ini. Viola menggerakkan ototnya yang keram. Sebenarnya tak ada niat membenci satu sama lain. Hanya saja sesuatu yang berbeda, sesuatu yang cukup menyakitkan di masa lampau. Seolah memotong hidup dengan perlahan. Pikiran gadis itu, sempit dan licik. Ia sedang tak menunggu lidahnya bermurah rasa. Sepatu yang Lyan jadikan alas kaki. Topi yang melindunginya dari panas terik. Orang tua baru yang menyayanginya. Rumah mewah, mobil mewah. Tetapi itu semua tak ada harganya dengan perasaan sengsaranya dahulu. Kesepian, kesendirian. Seolah dunia menelannya dan menggantinya dengan sosok yang baru. Tak mengenali Viola, bahkan tak sudi menyapanya.

Teringat akan masa sekolah menengah pertamanya dahulu. Lyan yang dibully habis-habisan oleh kakak kelas karena dirinya datang dari panti asuhan. Itu semua tak dilihat Viola dari sudut pandang yang sama. Sebaliknya, semakin lama mereka saling mengenal dengan baik. Menghabiskan waktu bersama. Belajar bersama. Bermain bersama. Makan bersama. Hari-hari yang menyedihkan menjadi menyenangkan. Setiap Viola mendapat pukulan dari ibunya, Lyan merawatnya dengan baik. Memberinya plester. Menyemangatinya. Mereka tumbuh bersama. Pergi ke sekolah bersama.

Namun sekarang tidak lagi. Semuanya telah berubah semenjak kejadian itu.

Viola mengusap matanya yang mendadak membengkak. Perasaannya tak selemah itu, namun kenapa ia menangis? Pedih sekali. Seolah dialah yang menyedihkan selama ini. Kesepian memakannya kala Lyan pergi. Semakin sunyi bilik tempat tidurnya. Apakah hanya ia yang mengingat? Lalu siapa sekarang yang berbeda? Siapa yang melukai satu sama lain? Luka yang tak berdarah namun meninggalkan bekas. Masa yang sebaiknya dilupakan. Semuanya tetap tak berjalan baik. Bahkan hingga rasa lelah yang terpuruk. Seperti rasa bernapas setiap harinya. Apapun yang terjadi itu bukan dirinya lagi yang dulu.

Viola memastikan sekitarnya. Masih sama. Lampu-lampu yang menyala di tepi jalan. Buritan lembut yang memaksa rambutnya mengibas pelan. Menyentuh kulitnya lembut. Ia menerawang angkasa, gelap ditutup malam. Tidak ada yang berubah sejak kedatangan Lyan sedetik tadi. Hanya jarum jam yang tengah berubah arah, berjalan lambat. Menyamai porosnya bumi. Memang benar, tidak ada persahabatan yang sempurna. Bermusuhan adalah cara untuk mengetahui kekurangan masing-masing. Jika persahabatan dalam rentang waktu yang lama tanpa adanya permusuhan. Mereka tak akan memahami sifat satu sama lain. Tak mengetahui kekurangan satu sama lain. Yang ada hanyalah, rasa tersinggung yang tertahan dan rasa rela yang dipaksakan.

Awalnya ia tak percaya kata-kata bodoh semacam itu. Tetapi segalanya menjadi terjawab. Lyan terlahir berbeda dari dirinya. Awalnya ia merasa sama. Lyan anak panti asuhan. Sedangkan dirinya anak haram. Semuanya tak lebih dari kesalahan orang dewasa. Viola tersenyum getir, tanpa sengaja kenangan itu memasuki otaknya. Sembari melangkah lemah, menyeret kakinya yang gatal. Tersemat singkat ingatan itu lagi. Viola memeluk dirinya sendiri. Teringat Aram. Masihkah ada orang asing yang baik pada orang lain, meski tak saling kenal? Viola menggeleng. Memasuki lamunan yang tiada berujung habisnya.

Mendadak lamunannya dibuyarkan sesuatu. Dipecah oleh suasana. Suara terseok-seok dari dalam semak. Viola mengamatinya, ada sesuatu yang membuat semak di sana bergerak-gerak. Lubang di celah-celah semak terpancar cahaya putih. Awalnya ia mengira pantulan dari rembulan. Namun cahaya terang benderang itu makin mencuat keluar. Kenapa ada semak yang mengeluarkan cahaya? Bingungnya. Juga diiringi suara-suara aneh seperti jeritan, raungan. Viola mengedipkan mata beberapa kali. Penglihatan dan pendengarannya acak. Halusinasinya kumat di saat yang tidak tepat. Namun bersamaan itu. Cahaya itu semakin besar dan meninggi. Viola melangkah perlahan menuju tempat aneh di sana. Pelan, pelan sekali.

Disibaknya semak yang menyilaukan. Ia melihat sesuatu yang mengherankan akal. Apa keadaan mentalnya semakin parah? Sepertinya ia perlu minum obat. Viola menyaksikan seorang pria yang terduduk lemah. Nampak kesakitan. Seluruh tubuhnya memancarkan cahaya. Putih ke segala penjuru arah. Malam gelap nan sepi, membuat pria aneh itu nampak seperti cahaya yang paling terang di bumi.

"Kau...." tenggorokan Viola terkunci.

Masih tak percaya. Matanya membulat. Ia mengenali sosok pria itu. Meskipun pria itu menyembunyikan wajahnya diantara kaki panjangnya. Viola terjatuh, tertatih. Limbung dari kesadarannya. Ia bergumam pelan.

"Alfa…"

***