webnovel

Ingatan dan Hubungan

"Dean! Dean sialan! Deaaaannn!"

Tak lama kemudian suara Cherry tenggelam. Ia sudah berada dalam kamar. Dikunci dari luar dan dijaga dua pengawal. Dean akhirnya bisa menghela napas lega.

"Itu bayarannya karena sudah membuat kekacauan di taman bermain." Mendadak muncul rasa nyeri di kepalanya. Dean memegangnya dan meringis menahan sakit.

Sejak insiden taman bermain, ia mulai sering mimpi yang berulang yang tidak ia tahu artinya. Juga pria bernama Andra yang sering muncul. Kilasan seperti ingatan masa lalu. Dean hampir jatuh karena nyeri di kepalanya yang amat sangat.

Di bar.

"Sebaiknya kita tidak terlibat satu sama lain lebih dari ini, Maya Forenzo."

Degh.

Maya terkejut Dean memanggil namanya lengkap. Artinya dia sudah tahu nama belakangnya.

"Dan jangan datang kemari lagi, kau dipecat," imbuhnya.

"Anda memecat saya lagi?"

"Aku paham alasan mengapa kau tidak mau bilang kalau mengenaliku di taman bermain. Kalau kau tidak keluar dari sini, aku akan memberitahu semua orang yang mengenalmu bahwa kau pernah bekerja di bar," Dean mendekat dan berbisik di telinga Maya. "Dan juga insiden di lounge."

"Apa ini ancaman?" Maya menggertakkan giginya kesal. Ia menyipitkan mata tidak percaya mendengar kelicikan Dean.

"Kau bisa menganggapnya begitu."

"Kau benar-benar akan dibayar oleh pria ini dua kali lipat. Dia tidak pernah berbohong soal uang," tambah Mary.

"Apa karena Jeffry?"

"Ya, itu juga termasuk," jawab Mary.

Dean mengeluarkan sebuah amplop cokelat berisi uang tebal. Ia menyerahkannya pada Maya.

"15.834.000," kata Dean. "Kau bisa menghitungnya jika tidak percaya."

Maya menerimanya dan mengintip isinya sedikit.

"Ny. Mary, terima kasih untuk pekerjaannya. Dan juga Tuan Dean..." Maya beralih menatapnya, kini dengan tatapan yang lebih ramah. "Aku tidak akan berterima kasih meskipun anda membuat gaji saya meningkat, karena ini bukan keinginan saya."

"Cih, ya ya." Dean lalu berlalu dari sana dan pergi masuk ke ruangan Mary. "Padahal aku sudah menyelamatkannya kemarin," gumam Dean.

Maya hanya berdehem pelan mendengar gumaman Dean yang terdengar di telinganya.

"Maaf ya Maya. Kau harus terlibat dengan manusia es itu," Mary menghela napas.

"Tidak apa-apa, Nyonya. Terima kasih sudah mengizinkanku bekerja di sini. Aku ganti baju dulu."

"Oh ya nanti kau taruh saja bajunya di loker. Aku harus bicara pada manusia es itu di ruanganku. Kau hati-hati ya pulangnya."

Maya mengangguk. Setelah itu Mary berlalu pergi. Dalam hati Maya cekikikan mendapatkan uang sebanyak itu dalam bentuk cash.

"Ini gila! Dia pasti sangat kaya." batin Maya sembari memasukkan uang itu ke dalam tas kecilnya. "Aku bisa tidur tenang hari ini. Hihi."

Tanpa Maya tahu, dari jauh seorang pria yang tengah minum alkohol memperhatikannya dengan serius. Ia lalu mengeluarkan ponsel dan memberi laporan pada seseorang.

Sementara di ruangan Mary, Dean nampak berwajah serius dan tertekan.

"Apa yang akan kau lakukan sekarang?"

"Gadis itu... dia punya nama marga yang sama dengan pria itu, pria pembunuh Raya."

"Sudah lama sekali aku tidak mendengar namanya disebut." Mary ingat nama Raya sangat krusial di Sky Lynx. "Saat pertama kali melihatnya, aku juga terkejut. Tapi Dean, itu sudah lama. Bisa saja cuma namanya yang sama."

Mary sebenarnya ingin Dean melupakan kejadian itu.

"Bukan cuma itu saja. Dia juga berkata tidak punya saudara. Dia pasti berbohong."

"Kau tahu dari mana? Dia tidak menulisnya di formulir pekerjaan. Mungkin dia memang tidak punya saudara."

"Saat aku naik lounge malam itu, ada seorang pria yang membawa Maya lari."

"Apa? Benarkah?" Mary kaget.

"Apa kau masih belum pasang CCTV?"

"Ha? Kau mau aku bangkrut? Ada puluhan pasangan yang bercinta di setiap sudut bar ini setiap harinya."

Dean memahaminya, ia melihat lagi formulir kerja Maya. Ia meremasnya dengan kesal.

"Siapa sebenarnya gadis bernama Maya itu?"

Di luar bar, Maya sangat ingin menghubungi kakaknya. Ia memandangi kontak bernama 'Kakak', namun dia tidak mau membuatnya khawatir. Tapi situasinya jadi menegangkan dan pria bernama Dean itu kini mengetahui nama belakangnya. Dia seperti memiliki mata yang mengancam, Maya sebenarnya takut.

"Siapa sebenarnya pria bernama Dean itu?"

Pria yang membuntuti Maya ternyata adalah pria suruhan Oska. Karena khawatir Maya kembali ke bar, ia meminta orang untuk mengawasinya selama bekerja, namun dia lumayan terkejut mendapat fakta bahwa dia dipecat.

"Dipecat? Kenapa?"

"Ada seorang pria yang menawarkan untuk mengganti gajinya dua kali lipat."

"Apa?" Oska berpikir keras, "Jangan bilang kalau pria itu..."

"Seperti dugaan anda. Dia adalah Dean Gabriel."

Oska mengepalkan tangannya.

"Sial! Apalagi yang orang itu rencanakan."

***

"Hati-hati di jalan, ya," ibu kos mengantar Maya sampai ke depan gerbang.

"Sampai jumpa." Maya melambai. Setelah itu ia berjalan keluar sembari membawa koper dan tas selempang kecil.

"Akhirnya aku bisa kembali lagi ke apartemen." Maya tersenyum lega.

Semalaman Maya menghitung gajinya dan menjumlah semua tagihan yang ada. Urusan utang ibunya sudah selesai, tagihan kos, tagihan apartemen, dan tagihan untuk Nico, meskipun tabungannya sekarang cuma sisa sedikit, setidaknya dia bisa kembali ke kampus dan mencari beasiswa untuk semester baru. Ia juga sudah menghubungi Nando. Meskipun tampak tak tahu diri, namun Nando dengan baik hati menerima Maya lagi di shift yang sama dengan Oska dan Nagita. Nando juga lega, Maya tidak pergi sampai satu bulan.

"Semuanya normal. Aku berhasil membuat semuanya normal, haha." Maya tertawa di jalan sembari riang gembira. "Untuk beberapa bulan masalah keuangan teratasi."

Ia mengingat dirinya sendiri yang menangis saat pertama kali ibunya menghubunginya namun tentang uang arisan yang hilang. Ia merasa dunia telah runtuh. Namun sekarang semuanya membaik.

"Uang memang tidak bisa membeli kebahagiaan, namun itu hanya untuk orang kaya. Orang miskin sepertiku mah, uang adalah sumber kebahagiaan," kata Maya. Ia bosan dengan kata-kata bahwa uang tak bisa membeli kebahagiaan. Ia terlalu idealis jadi orang miskin jika punya pemikiran seperti itu.

Maya naik bis dan berhenti di depan apartemen. Ia berjalan sembari menarik kopernya senang. Dari atas, Oska melihatnya dan segera turun membantunya.

"Kak Oska!" Maya melihatnya berjalan ke arahnya dari jauh.

"Biar aku saja yang bawa," Oska meraih kopernya. Ia tersenyum ramah seperti biasa.

"Bagaimana kau tahu aku pindah hari ini?"

Oska gelagapan. Tentu saja dia tahu karena ia mengawasi Maya. Namun ia tentu tidak bisa mengatakannya.

"Feeling," jawab Oska singkat.

"Apa-apaan itu," Maya tertawa mendengar jawabannya yang nampak konyol seperti lelucon. Mereka berdua melempar senyum.

Sampai di atas, Maya melirik kamar Tian, Oska menyadarinya.

"Dia pergi ke kampus."

"Oh begitu ya."

"Kenapa?"

Maya ingat kemarin saat mereka bertemu di depan, Tian bilang ingin bicara satu menit saja. Namun karena insiden Viola, Tian tidak jadi mengatakannya.

"Kemarin dia mau mengatakan apa, ya?" gumamnya.

"Apa?"

"Tidak apa-apa kok." Maya meraih kopernya. "Terima kasih sudah membantuku, Kak. Aku masuk dulu."

"Kalau butuh bantuan, panggil aku."

Maya mengangguk.

Oska berbalik dan hendak kembali ke kamar, namun Maya memegang ujung lengan bajunya dan membuat pria tinggi itu berhenti.

"Anu Kak Oska..." Maya ragu.

Oska menatapnya menunggu jawaban.

"Apa kau sudah makan siang?"

Mereka berdua akhirnya makan siang di kedai fast food dekat apartemen.

"Ja jaaaang! Aku yang traktir hari ini!" Maya excited. Ia melihat ada banyak makanan di meja.

Oska terkejut dan melihat semua makanan itu.

"May, ini terlalu banyak." Oska berbisik. "Lagipula ini kan junk food, jangan makan terlalu banyak."

"Kan tidak setiap hari," sanggahnya.

"Kenapa tiba-tiba mentraktirku?"