webnovel

Full Time

"Jadi kau akan cuti di semester dua nanti?"

"Iya, sampai semester ini berakhir."

"Apa itu artinya bulan depan?"

Maya mengangguk.

"Baru kali ini aku menemui maba (mahasiswa baru) yang kuat dan hebat sepertimu. Biasanya mereka akan senang-senang di semester awal, foya-foya, pacaran dan hanya kuliah party kuliah party. Saat kulihat kau juga ambil part time di kafe, kupikir kau akan jadi orang yang keren nanti."

"Kak Olla…" Maya merasa tersentuh.

"Aku juga minta maaf atas sikapnya Rimba, dia memang suka jujur seperti itu orangnya. Tapi dia bukan orang yang julid kok."

Maya tersenyum. "Aku tahu kok, Kak. Tentang cutiku, tolong jangan beritahu Kak Rimba dan Kak Tian sampai bulan depan ya. Aku minta tolong."

"Baiklah.."

Setelah itu Maya keluar dari ruangan. Ia tersenyum lega karena sudah mengatakannya pada ketua. Mendadak ia papasan dengan Jeffry dekat ruangan club. Maya tak acuh dan hanya berjalan melewatinya sampai Jeffry memanggilnya dan menghampirinya.

"Kau sungguh tidak mau bicara denganku lagi?"

Maya mengalihkan pandangannya.

"Aku minta maaf, May."

"Apa?" Maya tersenyum miris. "Kau pura-pura kencan dengan Ella untuk balas dendam, memanfaatkannya hingga membuat kami tidak lagi berteman, tapi kau minta maaf padaku?"

Jeffry terdiam.

"Kau memang sudah gila. Aku muak melihatmu." Maya lalu berbalik hendak berjalan ke arah yang sebaliknya dari tujuannya, namun betapa kagetnya ia melihat Tian berdiri di depan pintu club dan tengah menyaksikannya.

Maya tertegun.

"Kau mau kemana? Aku belum selesai bicara." Jeffry memegang lengan Maya mencegahnya pergi.

"Lepaskan!" Maya berontak. "Apa begini sikapmu pada Ella? Setelah kau memperlakukanku dengan buruk dan gadis-gadis lain di luar sana?" kata Maya dengan penuh penekanan.

Tian yang melihatnya berlari menghampiri mereka lalu memegang tangan Jeffry agar melepaskan tangan Maya.

"Lepaskan tangannya," kata Tian dengan penuh penekanan.

Mereka berdua saling bertatapan sengit. Maya melihat dua pria tinggi itu dengan mendongak hingga lehernya sakit. Sial, dia memang gadis pendek di sini. Ia lalu mengibaskan tangannya sendiri dan membuat genggaman Jeffry terlepas sekaligus genggaman tangan Tian juga terlepas.

"Apa yang kalian lakukan sih?" sebal Maya.

"Apa dia pacarmu?" tanya Jeffry.

"Itu…" Tian hendak menjawab namun Maya menyela.

"Tidak."

Tian dan Jeffry menoleh bersamaan. Entah kenapa Tian merasa jengkel mendengarnya, ia sendiri tidak tahu kenapa.

"Aku bukan pacar siapa-siapa. Aku tidak punya pacar tapi bukan berarti aku mau denganmu. Kau puas?!" Maya melotot ke arah Jeffry lalu melenggang pergi dari sana. Meninggalkan Jeffry dan Tian.

Di jam makan siang, Maya tidak ke kantin. Ia duduk di bangku taman yang sepi. Ia mengeluarkan roti tawar dari tasnya dan memakannya diam-diam. Ia juga membawa air mineral gelasan. Setelah rotinya habis, perutnya masih keroncongan. Ia mengingat lagi hutang mamanya yang sangat banyak, yang mulai sekarang berada di bahunya dan menjadi beban. Maya memakan roti itu sembari menangis.

"Kenapa hidupku seperti ini?" roti itu tersangkut di tenggorokannya, Maya menepuk-nepuk dadanya sembari mengusap air matanya. "Dari mana aku bisa dapat uang sebanyak itu? Aku cuma mahasiswa, Bu. Kenapa kau melakukan ini padaku?!"

Maya berharap ia adalah orang kaya yang tidak perlu cemas karena uang. Ia berniat pinjam ke Nico, namun tidak mungkin ia pinjam sebanyak itu kan? Bank juga tidak akan meminjamkannya jika bukan untuk biaya pendidikan. Angsurannya juga masih banyak, tidak ada yang bisa ia gadaikan. Laptopnya sudah ia jual kemarin dan ia harus selalu memakai komputer perpustakaan setiap mengerjakan tugas mandiri, kecuali kalau berkelompok ia lumayan terbantu. Maya hampir menyerah dengan pendidikannya. Ia harus cari kerja sebelum akhir bulan, sebelum ia akhirnya benar-benar cuti kuliah.

"Aku harap kehidupan kuliah benar-benar indah seperti di ftv," batin Maya.

Sorenya Maya langsung bekerja di Cafe Punch. Ia tidak pernah sarapan dan hanya makan nasi murah di kantin. Kecuali jika Nico mengajaknya makan gratis, tapi tentu saja itu membuatnya tidak nyaman. Sedang hari ini ia hanya makan roti sedikit saja. Ia sudah terbiasa dan ditambah stres berat tentang hutang mamanya, wajahnya jadi sangat pucat.

"Lembur?" Nando melirik jam di pergelangan tangannya yang masih menunjukkan pukul 2 siang. Ia lalu menatap Maya.

Mereka bicara di ruang staf.

"Aku akan bekerja penuh bulan ini. Aku bisa mulai dari siang sampai malam, jadi bukan part time lagi, seperti lembur."

Nando menghela napas, ia tampaknya tahu alasannya.

"Kau memaksakan diri?"

"Tidak, Bos."

"Iya, kau memang melakukannya." Nando semakin yakin saat Maya kembali memanggilnya Bos. "Kuliah siangmu, kau mau bolos?"

"Lagipula aku akan cuti bulan depan. Jadi tidak masalah. Aku juga masih bisa mengerjakan tugas online. Maaf aku banyak permintaan, Bos."

Nando diam sesaat mempertimbangkan permintaan pegawainya itu.

"Aku tidak akan tanya tentang detail masalahmu, tapi kau terlihat sangat terdesak oleh kondisi finasial mu yang tiba-tiba. Kau pasti sudah mempertimbangkan ini dengan hati-hati bukan, jadi aku akan menghargai keputusanmu."

"Terima kasih banyak."

"Kau bahkan mengatakan ini di tanggal satu awal bulan. Baiklah, kau bisa mulai besok. Mulai sekarang jam kerjamu dari siang sampai malam, okey?"

"Siap, Bos."

Sejak hari ini, Maya berangkat bekerja lebih awal. Oska dan Nagita menyapanya, mereka heran dengan Maya yang sudah berada di sana saat mereka datang jam 7 malam.

"Kau sudah di sini?" tanya Nagita.

"Iya Kak Gita. Aku bekerja full time sekarang."

Oska mendengarnya dari meja barista. Sembari mengenakan seragam celemek ia menguping pembicaraan keduanya.

"Wah benarkah? Kau full time sekarang? Lalu kuliahmu bagaimana?"

"Ah itu…" Maya melirik ke kiri. "Gampang itu mah, haha."

"Eh? Kenapa kau bisa sesantai ini?"

Gita tidak paham, namun dari jauh Oska melihat gelagat Maya yang aneh.

***

"Mama lihat dompetku?" tanya Nico.

Mamanya yang tengah minum teh di ruang tengah tidak menjawab dan sibuk menghirup wangi teh. Ia sangat menyukai teh. Nico menuruni anak tangga dan berteriak memanggil mamanya.

"Mama."

"Ada apa sih, pagi-pagi sudah ribut," mama jengkel.

"Dompetku hilang, Ma!" paniknya.

"Apa ada banyak uang di dalamnya?"

"Bukan itu masalahnya. Ada yang lebih penting lagi! Aduh di mana sih!" Nico lalu naik lagi dan membuka laci, merogoh jaketnya yang tergantung, di bawah selimut dan lemari pakaiannya yang mewah, namun dompet itu tidak ada di manapun.

Nina tengah minum di dapur. Pelayan perempuan menghampirinya dan memberinya sebuah dompet. Itu adalah dompet milik Nico.

"Dompet Tuan Muda Nico tertinggal di saku celananya. Mungkin ia lupa, hampir saja aku memasukkannya ke mesin cuci," kata maid itu.

Nina menerimanya, setelah pelayan itu pergi. Ia yang mendengar suara Nico yang panik mencari dompetnya di ruang tengah hingga bertanya pada Mama, membuatnya penasaran isi dompet itu, yang katanya isinya lebih penting dari uang. Dengan senyum bak joker, Nina membuka dompet itu. Betapa terkejutnya ia mendapati ada sebuah foto yang terpampang di bagian depannya. Itu adalah foto Nico bersama seorang gadis yang imut. Mereka berpose lucu dengan mengerucutkan bibir sambil memberi sign peace dengan jari.

"Siapa gadis ini?"