webnovel

Fakta dan Imajinasi

"Jika kau lemah bagaimana kau melindungi orang yang kau sayangi? Ini bukan gayamu. Jadi, berdirilah sekarang. Jangan biarkan jubah putihmu terjangkit debu dan kerikil yang kau ciptakan sendiri. Aku yang akan membawa Viola kembali. Aku yang akan membawanya pulang." tegas pria itu penuh kepercayaan pada dirinya sendiri.

Roy berdiri. Membersihkan sisa harga dirinya sebagai seorang pria. Sebagai seorang dokter jiwa. Ia bukan pecundang yang menangis sesenggukan. Ini masalah kecil, masalah kecil yang akan segera ia selesaikan dengan tangannya sendiri. Masih ada banyak hal.

Roy menghela napas panjang. Dengan penuh wibawa, ia berdiri menghadap pria asing itu dengan penuh derajat sebagai seorang yang akan melindungi Viola. Ia meminta penjelasan atas ucapannya tadi. Sebenarnya ia sendiri tak yakin akan keberadaan pria itu.

"Siapa kau?" tanya Roy . "Dan apa maksud kata-katamu itu?"

"Sudah kubilang. Aku seseorang yang akan membawanya pulang. Aku berjanji."

"Jangan-jangan kau....." dokter membulatkan mata. "....bocah indigo itu? Kau teman Viola?"

Tak percaya dengan apa yang baru dihadapkannya. Ini lumayan mustahil. Pria itu tak seharusnya ada di sini? Benarkah hal yang seperti ini bisa terjadi? Dokter menatapnya dengan penuh tanda tanya. Begitu juga pria asing itu.

"Ta…tapi bukankah kau cuma teman ilusi…."

"Aku bukan ilusi. Aku sahabatnya Viola, sejak dulu…sebelum dia mengenalmu. Sebelum anda mengadopsinya."

"A…apa?" Roy membisu.

Mereka saling menatap satu sama lain.

***

Aku berdiri di jalanan ini lagi

Setelah beberapa kali berdiam diri

Tetaplah tak menemukan jalan memutar

Saat aku merasa semua bebanku hilang

Aku berfikir

Bukan berarti kebahagiaan ada di depan mata

Aku mendongak menatap langit luas

Tak kudapati penjelasan, yang sedikitpun mapan

Aku tidak mau merasa bersalah

Apa yang kudengar dari orang lain

Bukan apa yang akan kuterima nanti

Apa aku harus merasa bijaksana?

Atau ingin melakukan beberapa hal

Seolah air laut, mungkin tak terasa asin lagi

Atau mengikuti jejak-jejak di pasir pantai

Yang sebentar terhapus oleh ombak liar

Aku masih berdiri di jalanan ini lagi

Melaluinya, lalu mengingatnya

~~

Kakak....

Kakak....

Viola meringkuk di sudut bilik. Ia memegang lengannya sendiri. Namun, tak ada orang lain di sekelilingnya. Tiba-tiba, seseorang mengelus puncak rambutnya yang kotor, berantakan, tak beraturan. Entah delusinya atau apapun itu. Kakinya kesemutan. Lelah berjalan. Obat lagi. Obat lagi. Hanya itu yang bisa membuatnya hidup. Kakak tak perlu lagi melindunginya, tak perlu membuatkannya sarapan setiap pagi. Seolah kesepian merebak dari pangkal hingga ujung. Mati sebelum waktunya. Mati tak tahu tempatnya.

"Aku yang akan memegang lenganmu, jika tidak ada orang lain di sekitarmu."

Kakak berkata halus. Seperti kain wol hangat yang melingkar di tubuh Viola. Sembari tersenyum menatap adik tersayangnya. Wajahnya putih bukan pucat. Terang benderang bak malaikat. Viola membalas sapanya. Membalas senyumannya. Perasaan gelisahnya kian memudar.

"Aku senang kakak di sini," kata Viola.

"Jangan khawatir. Katakan apapun yang ingin kau katakan. Kau tidak boleh memendam segalanya sendirian. Berjanjilah padaku satu hal itu,"

Viola mengangguk haru.

Jam berdenting. Fajar dimakan senja. Senja dimakan fajar. Begitulah seterusnya. Burung berkicau, mencari makan, lalu pulang ke sarang. Persis seperti manusia. Viola memasukkan buku-buku ke dalam bag-nya. Rutinitas hari-hari biasa. Seragam abu-abu melekat ramping di tubuhnya. Ia melihat pantulan dirinya di cermin. Sembari menyisir halus rambut coklat panjangnya. Sesaat ia terpaku terhadap bayangannya sendiri. Ia mengomentari bahwa dirinya cantik. Sama seperti kakaknya yang tampan. Itu adalah sifat turunan. Ya, menurun dari kakaknya.

Sekarang, ia tidak mau terpaku lagi pada bayangan gelap di dalam cermin lagi. Sebentar lagi dirinya akan baik-baik saja. Viola meyakininya.

"Aku akan segera sembuh. Aku janji, Kak," gumamnya pada diri sendiri.

Tak berselang lama, kakak memanggilnya dari arah ruang kerjanya. Bergegas Viola menuju ke sana. Viola merasa hari ini akan menjadi hari yang baik. Ia menemui kakaknya dengan senyum sumringah.

"Duduklah di sampingku," ujar kakak seraya melambai pada Viola yang baru masuk ke ruangannya. Viola menurut.

"Kenapa kakak memakai kacamata jelek itu lagi? Sepertinya tidak ada yang serius?" ejek Viola yang nampak tak suka melihat kacamata dokter yang dipakai kakaknya.

Air muka kakak serius. Tak digubrisnya ejekan viola pada kacamata dokter kebesarannya. Ia malah membenahi letak kacamata itu layaknya seorang profesor. Viola mendecih, makin tak suka dengan sikap membosankan dokter di hadapannya.

"Sebelum ke sekolah aku akan mengadakan konseling khusus denganmu. Bukan antar dokter dan pasien. Tetapi antar kakak dan adik. Jadi, kau bisa curhat dengan ringan, tanpa beban. Apapun yang terjadi padamu akhir-akhir ini atau bagaimana kehidupan labilmu di sekolah, asmara, pria atau apapun itu. Terserah, aku akan jadi pendengar yang baik."

"Bicaramu itu benar-benar membuatku bosan." Viola melipatkan tangan di depan dada. Sembari bibirnya menirukan celoteh kakaknya.

"Tapi....ya sudahlah. Karena aku dalam keadaan good mood pagi ini. Aku akan sedikit curhat. Tapi kau tidak boleh menertawaiku."

Kakak berdehem. "Baiklah, kecuali jika lucunya di luar batas. Aku benar-benar akan tertawa," oloknya.

"Kalau begitu aku akan pergi sekarang. Kau memang dokter paling payah di dunia!"

"Jika kau pergi sekarang. Aku akan memberimu pilihan. Kau berdiri sekarang dan berangkat ke sekolah, atau aku yang berdiri sekarang dan mengambil suntikan anestesi di laciku? Silahkan pilih salah satunya."

"Lihatlah dirimu! kau sedang mengancam pasien sekarang!" Viola cemberut. Memanyunkan bibir mungilnya.

"Ya sudahlah. Kita mulai konselingnya sekarang juga," kata Viola setengah hati.

"Sudah kubilang ini bukan konseling. Tapi sesi curhat. Ya sudah cepat ceritakan semua uneg-unegmu."

"Banyak hal yang kupikirkan di sepanjang usiaku. Obat yang selalu menopang hidupku. Obsesif kompulsif, delusi halusinasi, aku tak bisa menghindari. Aku sangat sadar, jika aku mempunyai kelainan jiwa. Terkadang aku merasa sangat sangat sehat dan tak perlu menjalani perawatan lagi. Dan sampai sekarang aku merasa bahwa aku baik-baik saja. Dan begitu seterusnya. Dan....the end." Viola mengengeh.

"Itu kurang detail. Lalu bagaimana dengan hubungan asmara?"

"Eh, asmara apa? Tidak ada yang seperti itu."

"Astaga. Ternyata adik kecilku sudah besar ya. Lihat tuh, pipimu seperti telur rebus," kakak menarik kedua pipi Viola hingga menggembung sembari tertawa gemas.

"Berhenti memegang pipiku. Dasar dokter payah!" Rengeknya.

"Jadi, apa kau sedang menyukai seorang pria?"

"Aku memang menyukainya. Tapi aku tidak boleh memikirkannya terlalu jauh. Itu mustahil"

"Mustahil?"