webnovel

Escape

"Lalu bagaimana dengan Andra?" Gabriel mengganti topik pembicaraan.

"Anak bodoh itu," Abraham mengeluh. "Dia masih keukeuh untuk mempertahankan hubungannya dengan adik tirinya. Kurasa ini karma."

"Putri Sanjaya..." Gabriel menyayangkan kematian istrinya yang sia-sia. "Istrinya bunuh diri dan Sanjaya..."

"Aku sendiri yang memenjarakannya," sahut Abraham. "Aku tidak bisa melihat pria tua bangka itu menyiksa keluarganya. Dia hendak mengubur dan membakar keluarganya hidup-hidup. Dia sudah dibutakan oleh obat-obatan terlarang."

Abraham menghela napas panjang.

"Kalau begitu kenapa kau tidak menyetujui hubungan mereka?"

Abraham meletakkan pisaunya dan terdiam sejenak.

"Aku tidak ingin keduanya terluka. Nina akan selalu mengingat masa lalunya yang mengerikan jika bersama Andra. Aku tidak mencegah hubungan keduanya, Riel. Aku hanya mencegah gadis itu merasakan pahit untuk kedua kalinya."

"Tetap saja. Kau harusnya memberi restu saja."

Abraham masih memikirkannya. Gabriel meminum tehnya sembari melirik wajah murung rekannya dengan datar.

***

"Nina...." Andra memegang pipi Nina, lalu mendekat dan mengecup bibirnya.

Mereka berdua di dalam mobil, di garasi perusahaan.

"Apa kita boleh melakukan ini?" Nina khawatir.

"Aku akan melakukan apapun..."

"Tapi..."

"Aku akan melakukan apapun, Nina. Sampai Ayah memberi restu kita."

Nina berkaca-kaca. Andra mendekat dan mengecup keningnya dan memeluknya.

***

Di kantor, Dean memegang kaki kirinya yang nyeri. Elias masuk dan memergokinya memegang kaki.

"Kakimu sakit? Kenapa tidak bilang? Aku bisa memeriksamu."

"Lalu apa? Kau mau menyuruhku istirahat di rumah?" sela Dean, tanpa menatap Elias dan masih pura-pura memeriksa dokumen-dokumen.

"Meja itu tempatku. Kau tidak seharusnya di sana."

Dean mendadak mematung dan menutup kembali dokumennya. Lalu menatap Elias.

"Apa yang ingin kau katakan sebenarnya?"

"Sudah kubilang kan, kursi itu milikku."

Di meja tertulis papan kaca CEO atas nama Dean Gabriel.

"Kudengar kau tidak tertarik memimpin perusahaan. Bukankah kau akan mengambil rumah sakit?"

"Jadi?"

"Apa?"

"Jadi kenapa kalau aku serakah? Lagipula aku anak tunggal di sini," ketusnya.

Mereka berdua saling menatap dingin dan tajam.

Drffrtt drfttt

Ponsel Dean berdering di atas meja. Dean dan Elias sama-sama melirik ponsel itu. Dean mengabaikannya namun terus-terusan berdering.

"Angkat sana," kata Elias sembari mengangkat dagunya. "Mungkin itu dari pacar barumu," oloknya. Setelah mengatakan itu ia keluar.

Dean menghela napas. Ia mengangkat teleponnya, tertulis nama Sano di sana. Namun saat dia angkat.

"Deaaaaannnnn!" itu adalah teriakan tidak jelas Cherry.

***

Maya bekerja hanya untuk satu bulan. Entah mengapa alasannya mereka membutuhkan karyawan magang 1 bulan, padahal tidak terlihat ada acara khusus selama satu minggu Maya bekerja. Malah banyak insiden yang ada. Selain itu ia juga mendapat gaji satu bulan yang sama dengan 4 bulan ditambah bonus karena telah menyelamatkan Cherry dan Dean.

"Pulang nanti aku harus menjelaskannya pada semua orang. Aku akan melunasi setengah hutang ibu, lalu kembali ke apartemen. Semau orang di cafe punch pasti tidak nyaman, huft."

Meski begitu Maya tidak bisa berhenti begitu saja walaupun banyak tantangan bekerja di bar. Seperti digoda tamu yang mabuk dan hobi grepe-grepe. Jika itu terjadi Maya harus segera menyelamatkan diri.

Ia merindukan kampus, club, raket, dan juga cafe, serta saat memasak mie instan dengan telur di apartemen. Namun saat mengingat ibunya menangis karena menghilangkan uang arisan, ia menjadi sedih.

"Kenapa aku tidak bisa hidup nyaman seperti yang lain?" ia juga masih ingat masih punya hutang dengan Nico dan banyak menerima kebaikan dari Kak Andra.

Ia juga sesekali mendapat pesan dari Viola. Viola tidak pernah memanggilnya kakak melainkan dengan nama langsung karena Maya kecil.

"Haruskah aku mampir ke apartemen dan kafe sebentar?" Maya nampak berpikir. Ia menghela napas.

Karena harus bekerja malam, ia memutuskan mampir ke apartemen dan kafe saat pagi hari. Namun tidak sengaja ia bertemu Nico di dekat apartemennya. Maya ingin lari namun Nico memegang lengannya dan mencegahnya pergi.

"Aku mencarimu kemana-mana. Aku ke apartemenmu tapi kosong. Kemana kau sebenarnya? Kukira kemarin adalah pelukan terakhir. Aku takut, May, aku takut kau pergi dari hidupku?!"

"Kalau ada perempuan yang seksi sesuai dengan seleramu sama setumpuk uang kau pilih mana?"

"Apa sih yang kau bicarakan?"

"Pilih saja cepat."

"Apa itu penting sekarang?"

"Iya itu penting bagiku. Apa kau di sini untuk melunasi semua hutangku, tidak, kan?"

"Kenapa kau menempatkanku di pilihan yang sulit? Bagaimana bisa kau membuatku memilih perempuan atau uang? Sebagai perempuan kau tidak seharusnya menyamakan perempuan dengan uang."

Maya mengembalikan cincin dari Nico padanya.

"Mulai sekarang aku akan mengganti uang yang kupinjam darimu. Inilah hubungan kita yang sekarang," Maya berkaca-kaca.

"May...Maya...kau..." Nico berkaca-kaca, "kau kenapa sih May? Apa karena hutangmu padaku? Atau karena..."

"Iya. Karena hutang. Aku tidak nyaman terus-terusan hutang pada temanku sendiri."

"Teman?"

"Nico...." Maya mendongak sesekali agar air matanya tidak jatuh. "Kau adalah temanku yang paling berharga. Tolong...tolong hargai keputusanku."

"Apanya yang perlu aku hargai?!" Nico marah. "Kau yang sedang minta izin untuk pergi?! Kenapa May? Kenapa kau menjauh dariku?!"

Maya membisu.

"Aku...tidak tahan lagi. Aku...aku...." Nico mengumpulkan keberaniannya. "Aku menyukaimu, May. Aku ingin menjadi orang yang bisa kau andalkan. Aku ingin..." Nico menahan air matanya, matanya memerah.

"Aku ingin kau menatapku."

"Nico..." bibir Maya bergetar.

Air matanya kini luruh bersamaan dengan kenyataan bahwa sahabatnya ternyata menyukainya. Ia mengira bahwa Nico hanya menggodanya karena ia miskin. Tidak ia sangka Nico benar-benar ada perasaan untuknya.

Nico mendekat, namun Maya tanpa sadar melangkah mundur. Nico tersentak, wajahnya muram dan dipenuhi kesedihan.

"Jangan jauhi aku, May. Aku mohon....Aku tidak memaksamu menerimaku. Cukup jangan pergi. Jangan pergi jauh, May."

Maya menunduk, menangis dalam diam.

Brak!

Maya dan Nico terkejut mendengar suara seperti benda jatuh, itu adalah kresek dari minimarket yang dibawa seseorang. Siapa lagi kalau bukan Tian. Ia terkejut melihat Maya.

"Ma...Maya?"

Maya sendiri tidak menyangka akan bertemu dengan dua pria ini. Padahal dia hanya pergi satu minggu. Ia makin frustasi dengan situasi gila ini.

Tian mendekat dan berusaha mencerna situasi yang terjadi. Maya mengusap matanya, sedang Nico berusaha menetralkan emosinya.

Ketiga manusia itu mematung di taman dekat apartemen. Tanpa mereka sadari, Oska menatap situasi aneh itu dari atas lantai kamarnya. Wajahnya datar seperti biasa.

***

Maya berjalan gusar sembari membawa sebuah kotak cantik dari Nico. Itu adalah kadi anting dari Andra yang sempat tertinggal di mobil. Maya merasa tidak pantas menerima itu. Ia berhenti berjalan dan berdiri di tengah trotoar yang sudah sepi, hampir malam.

Kotak anting itu nampak cantik terkena sinar-sinar lampu, memantulkan warna yang mewah dan mahal. Maya makin sedih, dirinya merasa tidak lebih berharga dari kotak anting itu. Ia memegang jarinya dimana cincin yang ia berikan pada Nico berada.