webnovel

Dua Keluarga

Di ring tinju Sano terkapar dengan merentangkan tangan. Napasnya kebut-kebutan. Dadanya naik turun. Dari kursi penonton seorang pria tinggi berjas rapi menaiki ring. Ia menghampiri Sano dengan wajah biasa. Kedua tangannya di belakang tubuhnya sembari menatap Sano yang tak punya gairah hidup lagi.

"Sudah berakhir," napas Sano tersengal.

"Aku... sudah membalasnya." air matanya mengalir padahal mimik wajahnya datar. Ia sudah kehilangan rasa ingin hidup.

Tiba-tiba seorang pria berjas bertubuh tegap dan tinggi naik ke atas ring. Ia melewati pagar karet lalu masuk ke dalam dan mendekati Sano. Dengan raut wajah datar pria itu berjongkok dan menatapnya.

"Sano... itu namamu, kan?"

Sano menyipitkan matanya. Dengan sisa tenaga ia berusaha duduk, menopang badannya dengan kanan kiri.

"Siapa kau?"

"Aku mengelola perusahaan. Uangku banyak. Koneksiku kuat. Dean... itu namaku."

"A...apa?"

"Aku tertarik pada pertandinganmu. Sepertinya kau cukup kuat."

"Apa yang kau katakan, orang asing? Mengolokku?" Sano tertawa hambar.

"Aku tidak pernah mengolok kelebihan seseorang."

Sano kini menyadari bahwa ada getaran berbeda dari pria bernama Dean itu tidak sedang meremehkannya.

"Apa yang kau inginkan?"

Dean mengangkat sudut bibirnya lalu berdiri. Ia merapikan jasnya.

Begitu juga Sano, ia mengumpulkan tenaganya dan berusaha berdiri. Ia lalu melempar sarung tinjunya.

Dean mendekat dan menatapnya.

"Aku akan memberimu tawaran yang tidak bisa kau tolak."

"Tawaran yang tidak bisa aku tolak?" Sano bertanya-tanya.

Dean mendekat lalu membisikkan sesuatu di telinga Sano, namun sesaat setelah itu membuat wajahnya yang pucat termenung. Seolah ombak yang besar menerjangnya.

Sano melirik Dean yang tersenyum kecil.

Entah apa yang diucapkan tapi ia mengepalkan tangan mendengarnya. Sesaat kemudian wajahnya berubah datar dengan mata menyala. Lalu tersenyum smirk.

"Kau harus menjaga kata-katamu, Orang Asing."

Flashback end

"Tuan," panggil Mary.

"Apa kau mempermainkanku! Ada gadis pencuri di sana dan preman yang membawa pistol! Aku benar-benar kecewa dengan tempat ini!"

"Tuan Jeffry! T..tunggu Tuan!" Mary mengikuti Jeffry. (bab 92)

Maya melamun mengingat kejadian beberapa hari yang lalu. Awal minggu bekerja sudah melewati hal yang masuk tidak akal. Bagaimana bisa Jeffry ada di sana? Pria yang datang ke kamar gadis di bawah umur itu juga tampak menyeramkan. Sedangkan gadis itu seperti kabur dari rumah dan nekat jual diri di tempatnya Ms. Marry.

Maya membisu, ia tahu kalau Jeffry itu brengsek, namun ia tidak menyangka kalau dia adalah pria VVIP di bar tempat ia bekerja dan bahkan terlibat masalah. Ia benar-benar menyesal pernah pacaran dengan Jeffry.

"Ah sial," keluhnya.

Maya lalu kembali ke belakang dengan melewati lorong lantai bawah. Di lantai atas sangat ramai. Jedag-jedug musik DJ membuatnya pusing. Lounge juga penuh dengan pria dan wanita yang mabuk. Ia menghela napas.

"Bagaimana bisa semua orang di sini menghamburkan uang untuk minuman keras yang tidak enak, ckck," Maya menggeleng, "kalau dibelikan mie instan pasti dapat puluhan kardus, ah enaknya," ia membayangkannya sampai hampir ngiler.

Tidak sengaja, Mary lewat di lorong dengan baju yang berkelap-kelip seperti lampu yang berputar di tengah. Ia sangat suka baju bercorak macan yang mencolok. Maya mendekatinya.

"Nyonya...." Maya berhati-hati memanggilnya.

"Ada apa?" Mary berhenti.

"Itu... pelanggan VVIP yang kemarin, saya tidak sengaja dengar..."

Mary menyipitkan matanya, ia menoleh ke kanan dan kiri lalu menarik lengan Maya. Mereka bicara di lorong yang agak sepi.

"Kau, jangan sebut-sebut lagi masalah itu. kalau ada anggota Sky Lynx dia pasti akan melaporkannya ke Dean. Tempat bisnis ku akan rusuh lagi, kau paham?!" Mary sedikit marah namun ia berusaha memelankan suaranya.

"Anu...maaf Nyonya. Aku cuma ingin tahu sejak kapan Jeffry jadi pelanggan VIP di sini."

"Kau memanggilnya Jeffry tadi?"

"Ah itu..."

"Kau kenal dia? Kau kenal pelanggan VVIP kami?" kini Mary yang ganti penasaran.

"Tidak, tidak." Maya berusaha menyangkal. Ia menggeleng dan menggerakkan tangannya dan membuat tanda tidak. "Sky... apa tadi? Apa itu nama orang?"

"Kau tidak perlu tahu itu." Mary menghela napas. "Pokoknya kau harus berhati-hati dan pura-pura tidak tahu. Lagipula kau kan cuma magang 1 bulan di sini."

"Hehe, baik Nyonya."

Maya mengangguk. Setelah itu Mary berlalu meninggalkannya.

"Sky...Lnyx? Dean?" Maya memiringkan kepalanya. "Dunia malam benar-benar menyeramkan."

***

"Aku memang tidak pernah salah memilih partner bisnis, haha" gelak tawa Tuan Abraham terdengar di sebuah ruang makan VIP di sebuah restoran jepang.

"Setelah melihat tingginya inflasi, kau harus mencari brand baru untuk mengcover dan membuat cadangan bukan?" tambah Tuan Gabriel. "Perusahaan Spycron pasti akan rugi besar setelah ini."

Mereka berdua menikmati teh Ocha khas jepang. Di meja yang panjang nan besar itu terdapat banyak makanan mahal seperti sushi, lobster bahkan burung yang besarnya dua kepalan tangan pria dewasa. Mereka berdua membahas bisnis di masa mendatang.

"Mereka salah karena menargetkan kitab sejak awal," kata Abraham. "Kau masih sama sejak kita pertama berbisnis dahulu, Gabriel."

"Sudah berapa lama, ya? 10 tahun?"

"Tidak tidak, 15 tahun. Sejak putraku hilang," bahu Abraham turun mengingat saat itu.

"Astaga, maafkan aku, Bram." Gabriel merasa bersalah mengungkit itu lagi.

Saat itu memang tahun yang bertepatan saat Gabriel dan Abraham mulai menjadi partner solid, di tahun yang sama saat Andi hilang.

"Aku yakin putramu sekarang sudah berada di tempat yang tenang."

Abraham menghela napas. Ia mengambil gelasnya dan meminum tehnya dengan bersedih hati.

Tanpa ia sadari, Gabriel meliriknya dengan tatapan dingin yang sulit diartikan.

"Oh ya bagaimana dengan putramu yang itu?"

"Yang mana, Bram. Putraku ada banyak," candanya.

Abraham tersenyum.

"Ah iya, aku masih tidak percaya kau memiliki banyak anak angkat. Ada Elias, Onyx, Ian, Sano, Zen, dan satu lagi, ah lupa." Abraham menyerngit mengingatnya.

"Dean, Dean namanya," Gabriel menatapnya dengan tajam dan datar.

Abraham menyadari tatapan rekannya itu yang mendadak aneh.

"Kau baik-baik saja? Kau tampak pucat."

"Tidak. Hanya saja aku selalu mengingatkanmu pada Dean, haha."

"Ah begitukah? Haha, mungkin karena aku sudah tua. Aku saja kadang lupa pada Nico, putra bungsuku. Dia sangat bebas dan tak suka dikekang."

"Dean juga begitu. Sejak dulu, dia sangat liar dan bebas. Semaunya saja, entah mirip siapa dia." Gabriel meminum tehnya sembari melirik Abraham yang masih tertawa pelan.

"Dia kudidik seperti anjing mafia yang handal, Bram," batin Gabriel.

"Apa kakinya baik-baik saja?"

"Tentu saja. Aku menghabiskan triliunan agar dia bisa berjalan. Sekarang dia malah ahli bela diri, haha."

"Apa? Benarkah?" Keduanya saling tersenyum lebar menceritakan anak-anak mereka yang sama-sama pembangkangnya.

"Apa kau akan mewariskannya pada putra kandungmu?"

"Tidak. Elias tidak suka memimpin perusahaan. Dia pasti lebih memilih mewarisi rumah sakit."

"Ah itu ya, dia memang cocok jadi dokter. Auranya juga luar biasa. Tahun lalu saat dia datang ke rumah memeriksaku. Dia benar-benar...."

"Monster yang dingin, kan?" sela Gabriel.

Abraham tertawa.

"Aku sendiri tidak tahu bagaimana anak-anakku akan memilih jalan mereka."

"Tapi bukankah Dean juga cukup bisa diandalkan?"

"Lalu bagaimana dengan Andra?" Gabriel mengganti topik pembicaraan.

"Anak bodoh itu," Abraham mengeluh. "Dia masih keukeuh untuk mempertahankan hubungannya dengan adik tirinya. Kurasa ini karma."