webnovel

Bukan Khayalan

"Jika aku tidak bersembunyi lagi. Apakah kau mau setiap hari menggenggam tanganku?"

Aram tersenyum. "Kenapa kau bertanya? Aku kan memang sudah menggenggam tanganmu sejak di halte tadi." ia tertawa renyah. Viola terperangah menatapnya.

Mereka berpisah di perempatan jalan. Aram melambaikan tangannya. Disambut lambaian hangat dari Viola. Seperti perasaan yang asing, dan rasa nyaman yang tersirat di palung hati. Sebenarnya ia ingin terus tersenyum seperti ini. Tetapi mustahil.

"Apakah aku diperbolehkan untuk terus merasa seperti ini? Rasanya indah seperti benar-benar ada seseorang yang membutuhkanku. Meski hanya seorang saja. Seolah rindu mendekapku di suatu tempat. Aku tenggelam dalam kenangan yang sebentar lagi tiada. Tetapi aku tidak mau menghapusnya. Ini terlalu indah. Seandainya, seandainya segala yang buruk bisa bergulir menjadi hal seperti ini. Ah aku mengkhayal lagi," batinnya.

Dari kejauhan, Viola menatap punggung Aram yang makin mengecil. Sesekali pria itu menoleh dan tersenyum padanya. Viola merapatkan bibirnya menahan rona yang hampir pecah. Ada apa dengannya? Pria itu terus membuatnya melayang-layang. Viola tak dapat menghapusnya dari pikiran.

"Ini seperti perasaan yang pertama kali kurasakan. Sangat mengesankan. Terima kasih Aram."

Viola bergumam pelan sembari menatap bayangan pria itu yang memantul di jalan. Membias seperti pelangi. Lagi-lagi senyuman merekah seperti mawar di bibirnya. Hari yang berbeda.

Senja dimakan gelap. Siang berganti malam. Viola merebahkan dirinya di atas ranjang. Sekadar mengatur napas dan melegakan pikiran yang kelelahan. Mata coklatnya menatap langit-langit. Apakah akan tersesat dan hilang lagi jika ia mengatupkan kedua matanya? Terbesit keinginan untuk menjelajahi lebih jauh. Jika bertahan mungkin akan mendapat jawaban. Tetapi segala sesuatu tak mudah dikontrol. Viola memandangi tembok tinggi yang memisahkan dirinya dan langit cakrawala. Seandainya kamarnya tanpa atap. Ia bisa melukis peri di atas langit. Bunga-bunga bermekaran indah. Tulip, Azalea, dan sebuah Daffodil. Beterbangan seolah permadani ajaib kepunyaan Aladin. Burung-burung yang ditunggangi para peri. Cahaya dan ketenangan. Kabut merah muda menawan. Viola tersenyum sembari meraih mereka.

Sebuah kabut? Viola tersentak. Ia teringat sesuatu.

Kotak obat yang retak. Dikeluarkan dari dalam sakunya. Kira-kira kemana perginya dokter jiwa itu? Seolah kabut gelap memakannya. Viola masih tak percaya. Tidak mungkin hanya mimpi. Viola resah, menggersah. Dokter itu memang apatis. Tetapi ia sudah mengenalnya sejak lama. Sejak ia menggila seperti psikopat. Tanpa pengakuan yang ganjal. Viola angkuh mengingatnya. Kacamatanya yang lebar. Gaya rambutnya jelek. Jubah putih panjang selutut. Membuat gerah mengingatnya. Bahkan lajang seumur hidup mungkin sudah menjadi cita-citanya. Viola kembali mengumpat. Kemudian menghembuskan napas panjang.

Bandul berdentang. Menyibak nyali teka-teki. Menumbuk misteri. Berjumpa cawan pilu. Pupus pisau menghunus. Kupu-kupu hangus. Menghasut iris mata, meminta raga. Menukik di setiap bola mata. Membelok di ingatan. Gemuruh jerit membesar, menggema di lorong-lorong. Bergerigi, berjeruji, semacam besi. Paradoks manusia tua. Residu berbau bisa. Menyuntikkan racun ke dalam hati mereka. Mengekang kesalahan terdalam. Haram suatu kelahiran. Berpayung hitam di bawah hujatan air. Murni dari mata kesepian. Wanita itu menolak. Para orang dewasa, yang tak tahu apapun. Mereka hidup tanpa mengetahui apapun. Pengakuan. Keberadaan. Keluarga. Cinta. Tabu berurai debu. Cerutu berhembus abu. Arang mengibas kayu. Tabir bernostalgia. Tangga-tangga kayu. Bersuara tiap dipijaki. Gemuruh tawa atau dosa. Sahabat berpalung muka. Siapa ibu? Siapa ayah? Mereka hanya ilusi. Boneka yang bergerak tanpa baterai. Memukul, mengiris, membuang. Hanya itu yang bisa mereka lakukan tanpa baterai.

Viola menutup mata. Rekaman film masa lalu, seolah memutar sendiri tanpa izin. Ia menutup pengakuan. Pekat tak bertulang. Putih belulang. Acap kali singgah. Wanita itu bersimbah darah. Menusuk perutnya dengan pisau. Membendung putus asa. Hari esok adalah karma baginya. Makin membuncit tiap amarah di hari-hari sepinya. Menatap cermin. Menatap pantulan dirinya sendiri. Viola mematung. Menatap wanita itu yang mengabu dengan sebuah memori. Kursi, meja, bingkai, dan foto. Menghitam, menusuk perlahan. Kerangka tak bertuan. Wanita itu semakin menjerit. Melengking seperti kelelahan. Seperti mendidih kesedihan.

Setiap hari wajah cerahnya mengusut. Kusam kecokelatan tua. Keriput di sekitar matanya. Sedang perut buncit yang entah asal-usulnya. Tak bisa selamanya muda. Siapa pelakunya? Orang dewasa tak berotak. Wanita tua itu masih tak tahu keberadaan Viola yang berdiri di sisi ranjang. Memutar variabel berideologi payah. Bak film tanpa sutradara. Sebelum dia muncul di dunia. Wanita jalang itulah penyebabnya. Yang menusuk dirinya dengan pisau. Belati yang tertancap di jantung. Mengiris pergelangan tangannya. Mencuat darah bercecar. Keji seperti memakan daging.

Viola menatap dirinya. Seperti wanita itu. Pantulannya di dalam cermin. Tertawa mengoloknya. Atau menangis pedih. Bahu kanannya yang bersimbah darah terpantul dicermin. Namun, ketika Viola menatap kedua bahunya. Tak ada darah, tak ada tinta merah. Hanya ilusi. Hanya dirinya yang berkeringat. Wanita itu meronta di sudut bilik. Jari-jarinya dipenuhi kemerah-merahan. Darah terpecik dari kegelapan. Ratapan tua menggaung di seluruh ruangan. Viola menutup kedua telinganya. Ketakutan dan kehabisan akal sehat. Sekitarnya semakin buram. Kamar tidurnya berubah tempat. Tak tahu keberadaannya sekarang. Warna berubah abu-abu gelap. Mata yang kontras akan aura. Viola tergelincir, jatuh terduduk di lantai. Tatapan kosong tak berarti. Segalanya hitam putih semacam klise. Tanpa siapapun. Tanpa kenangan bahagia. Pilu berkhayal rasa. Semakin lama semakin dalam.

"Dia bukan siapa-siapa. Dia hanya wanita jalang yang tak sengaja tertimbun roh tak berdosa di dalam perutnya. Dia hanya sampah dan aib yang tercemar."

Alter ego membuncah. Bibir Viola tercekat. Mengering akan ludahnya sendiri. Dirinya yang lain meracau tanpa ia pahami. Ia bersandar di kaki ranjang. Membisu.

Sementara bayangan wanita itu, hangus. Terhapus di lain ruang dan waktu. Memori film itu mendadak selesai. Namun belum tamat.

***

Viola POV, Flashback

Aku bersujud di hadapannya. Di hadapan kedua kakinya yang berlumur tinta merah. Tanpa alas merebak tanah. Aku merapatkan kedua telapak tangan yang kedinginan. Disertai angin ribut di luar gubuk reot. Bersimpuh beruarai sesuap nasi yang terelakan. Meminta harapan, sangat. Sesenggukan gadis kecil bodoh tak berotak. Berujung belati, terhunus ke ulu hati.

"Maafkan aku, Ibu."

Sujudkuhanyalah naungan amarah di kakinya. Bening-bening senja membulir di pelupuk mata. Bibir gemetar menahan ego.

Ibu tak peduli. Sorot matanya memerah tajam. Jeritannya melengking. Menerpa nestapa, gamang. Meja abu-abu, almari abu-abu, dinding abu-abu. Sudut-sudut berubah kelabu. Belati di tangan ibu bergetar, ia menatap nanar. Menghabisi harapan, berlomba suara dengan bunyi jatuhnya hujan di atas kepala. Aku masih menengadah, meminta pengampunan, meraih kakinya yang penuh luka. Belati itu seolah bergerak sendiri di tangannya. Siapa yang akan ia habisi selanjutnya? Ibu menghentakkan kakinya, membiarkanku terguling dilantai basah. Ditemani gemuruh diantara kilat menyambar. Tak sudi dipanggil Ibu katanya.

"Memangnya siapa kau bersujud di kakiku! Aku bukan ibumu! Siapa yang melahirkanmu! Siapa, huh!"