webnovel

Birthday, Not Party

"Bagaimana, May? Kau bisa ikut kan? Aku memilih hari minggu."

"Itu…" Maya ragu sejenak, namun tidak enak juga jika sudah diajak tapi menolak. "Baiklah. Aku akan datang. Terima kasih sudah mengajakku, Kak."

Setelah mengakhiri panggilan, Maya keluar dan mengunci pintu. Ia bersiap berangkat. Tidak sengaja ia keluar kamar bersamaan dengan Tian. Tian merasa tidak enak tentang kemarin. Mereka berdua merasa canggung satu sama lain.

Tian mendekat ke Maya.

"Mau berangkat bareng?"

"Ehm, boleh."

Mereka berdua lalu turun bersama dan naik lift. Keduanya hanya diam seribu kata hingga sampai bawah pintu utama apartemen. Tiba-tiba Maya berhenti dan menoleh ke arah seniornya.

"Senior," panggilnya.

"Em?" Tian ikut berhenti.

"Itu…"

"Kemarin, kau tidak apa-apa?" sela Tian. Ia tahu Maya tidak nyaman dengan kecanggungan ini. Ia bahkan melihat ia memainkan jari-jari kecilnya. Entah kenapa ia ingin menyentuh telapak tangannya yang kecil dan lucu itu.

"Aku?" Maya bingung.

"Kuharap kau dan Jeffry segera selesai."

"Selesai….apanya?"

"Dia brengsek. Untuk apa dia terus berada di sekitarmu? Dia pasti ingin melukaimu lagi."

Maya menunduk.

"Maaf kalau aku ikut campur."

"Bukan itu kok."

"Dan juga maaf tentang Rimba. Aku tahu kau mendengar percakapan kami kemarin di club."

"Terima kasih sudah membelaku, tapi itu tidak perlu." Maya mendongak menatapnya.

Tian tertegun. "Kenapa?"

"Apanya yang kenapa? Aku tidak suka dikasihani. Aku sudah hidup seperti itu selama ini. Diremehkan karena kecil dan pendek. Diajak berteman karena dikasihani. Jadi sudah cukup kau mengasihaniku selama ini. Aku cukup bersyukur kau orang yang baik."

"Apa?" Tian menyerngitkan dahi tidak percaya mendengar itu dari Maya. "Kasihan katamu?"

Maya mendongak dan melihat raut wajah Tian seperti mau marah.

"Kenapa? Apa aku salah?"

"Iya! Kau salah! Kenapa kau seenaknya menjudge kebaikan orang lain? Kau tahu kalau aku cuma kasihan dari mana? Apa aku mengatakannya?"

"Senior…"

"Kau selalu saja memanggilku senior senior…. tapi kau memanggil pria lain yang lebih tua dengan panggilan kakak. Aku sebal tahu!" Tian menghela napas sebal dan sesekali menggaruk tengkuknya.

"Ya maaf kalau aku membuatmu sebal," polosnya.

"Aishh bukan itu maksudku. Kenapa kau tidak paham sih? Aku bukan tipe orang yang kasihan pada orang lain. Apa kau gembel yang tidak punya rumah?"

"Ha?" Maya bingung.

"Apa kau sakit keras?"

Maya berkedip dan tidak paham pertanyaan seniornya.

"Untuk apa aku kasihan padamu!"

"Senior, aku…."

"Sudah hentikan. Jadi selama ini kau anggap aku hanya kasihan? Wah benar-benar aku jadi mau marah sekarang."

Tian lalu berjalan mendahului Maya. Maya berlari mengejarnya, ia menghentikannya dengan memegang ujung baju belakang Tian. Tian tersentak, mendadak ia ingat majalah itu lagi, yang membahas tentang loli.

"Jika dia menarik baju bagian belakangmu dengan jari kecilnya. Itu benar-benar kemajuan. Sepertinya dia membutuhkanmu dan sedang berusaha memberi penjelasan agar tidak ada salah paham."

"Dasar majalah sialan!" batin Tian. Ia lalu balik badan.

"Kenapa?" kasarnya.

"Maaf aku tidak bermaksud menyakitimu, Kak. Aku hanya sedang stres akhir-akhir ini, sampai berkata seperti itu. Sungguh aku tidak berniat berkata begitu," mata Maya berbinar sedih.

Tian menghela napas berat.

"Stres kenapa? Karena tugas kuliah? Pekerjaan? Atau kompetisi badminton?"

"Ya ketiga-tiganya juga termasuk sih." Maya membuang muka.

"Kau boleh mengandalkanku kalau sedang butuh bantuan. Paham?" Tian menunduk sembari menatapnya. Ia memegang puncak kepala Maya.

Maya tertegun dan melebarkan matanya.

"Tapi…kenapa aku harus mengandalkanmu, Kak?" Maya mengengeh tidak paham.

Tian sadar lalu menarik tangannya dari kepala Maya. Ia membuat gadis itu malu.

"Yah kita kan senior junior. Lagipula kita juga tetanggaan. Apa kau lupa huh?" Tian berjalan cepat mendahuluinya, ia sangat malu.

"Kak Tian tunggu aku. Cepat jelaskan kenapa? Apa cuma itu?" Maya mengejarnya. Tian berusaha menghindar dan berjalan lebih cepat lagi. Mereka berdua saling bercanda.

***

"Paket!"

Maya keluar begitu mendengar seseorang mengetuk pintu rumahnya. Ia membukanya dan mendapati kurir memberinya sebuah paket besar.

"Apa ini?" Maya kaget. "Aku tidak merasa memesan barang."

"Tapi ini memang untuk anda, Mbak."

"Mencurigakan."

"Waduh. Ini memang benar atas nama Maya Camellia kan?"

"Tapi saya tidak pesan apapun, Ma," Maya ngeyel. Ia harus berhati-hati pada paket berbahaya.

"Ini ada suratnya, Mbak. Silakan dibaca." kurir itu juga nampak kesal.

Maya membuka surat itu. Dan betapa terkejutnya itu adalah hadiah dari Kak Nina. Maya dengan segera menerimanya dari kurir.

"Apa itu dari orang yang anda kenal?"

"Iya, Mas. Waduh waduh maaf ya, hehe."

Kurir itu menggeleng lalu setelah menandatangani resi, ia pergi dari sana. Maya masuk dan membuka paket yang besarnya sama seperti setengah badannya. Atau mungkin dia yang terlalu kecil. Ia terkejut, itu adalah paket gaun beserta tas selempang, high heels dan make up lengkap. Di dalam gaun berwarna cokelat manis itu ada sebuah surat yang nampak sangat mewah, tertulis.

"Kuharap kau memakainya. Kumohon jangan merasa tidak enak. Aku bersyukur kau jadi teman adikku ketika aku sakit selama ini. Hadiah ini adalah murni karena aku menyukaimu sebagai kakak Nico. Salam hangat, dari Nina."

Maya menghela napas berat.

"Bagaimana aku bisa menerima semua ini."

Malam harinya, Maya memakai bajunya dan merias diri. Ia berdiri di depan cermin dan melihat betapa cantiknya ia bersamaan dengan betapa menyedihkannya dirinya.

"Apa aku berhutang lagi? Pada keluarga Abraham?" Maya menunduk.

Tok tok tok. Seseorang mengetuk pintunya. Ia meraih jaket dan menutupi gaunnya lalu keluar. Ia mendapati ternyata itu adalah Nico yang memakai setelan jas rapi. Dia sangat tampan, Maya tidak pernah menyadari betapa tampannya temannya itu. Ia menatapnya dari ujung kaki hingga ujung kepala.

"Wah, ini benar kau Nico? Haha, kau jadi tampan begini,"Maya malah lawak. Sementara Nico pipinya memerah tomat.

"Kenapa kau pakai jaket?"

"Karena…aku malu."

Nico melihat wajah Maya yang memerah imut. Ia makin terpana.

"Buka saja. Kau terlihat cantik."

Maya mendongak. Mereka berdua bertatapan.